Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Di sekolah sederhana itu, nama Alan mulai sering disebut-sebut. Guru-guru memperhatikan bahwa anak laki-laki berusia 10 tahun itu selalu punya cara unik untuk menjawab soal, menyelesaikan masalah, bahkan memberi ide di luar dugaan. Alan bukan sekadar cerdas dalam akademik, ia juga cepat tanggap, kreatif, dan bisa memimpin teman-temannya.
Suatu pagi, di ruang guru, kepala sekolah berbicara pada Bu Ratna, wali kelas Alan.
“Bagaimana kalau tahun ini kita kirim Alan untuk lomba sains tingkat kota? Saya perhatikan anak itu punya potensi besar. Dia cepat menyerap pelajaran, bahkan membuat eksperimen kecil dari barang sederhana.”
Bu Ratna tersenyum bangga. “Iya, Pak. Alan memang berbeda. Dia punya cara pandang yang matang, meski masih anak-anak. Bahkan kalau temannya berselisih, Alan bisa jadi penengah.”
__
Ketika pengumuman disampaikan di kelas, Alan sempat terdiam.
“Alan,” kata Bu Ratna sambil tersenyum, “Kamu, terpilih mewakili sekolah untuk lomba sains kreatif. Kamu mau, kan?”
Seisi kelas bertepuk tangan riuh. Rafa, teman dekatnya yang duduk di sebelah berteriak, “Ayo Alan! Kamu pasti bisa!”
Alan menunduk sebentar, lalu menatap Bu Ratna.
“Tapi Bu… kalau saya ikut lomba, saya harus pulang agak sore untuk latihan. Saya tidak sempat bantu mama saya jualan di pasar.?”
Semua guru yang mendengar terharu. Anak seusia Alan, alih-alih sombong, justru memikirkan ibunya.
“Kamu tidak usah khawatir, Nak,” jawab Bu Ratna lembut. “Justru ini kesempatanmu. Ibu dan adikmu pasti bangga. Kau bisa tetap bantu mereka, tapi jangan lepaskan kesempatan ini.”
Malamnya, Alan menceritakan kabar itu pada Rania dan adiknya, Chesna.
“Ma, aku ditunjuk mewakili sekolah lomba sains. Katanya di kota. Tapi aku takut… kalau aku terlalu sibuk, aku nggak bisa bantu Mama jualan.”
Rania tertegun, lalu memeluk Alan erat.
“Anakku, kau tidak perlu takut. Kau lah kebanggaan Mama. Kalau Kamu bisa berdiri di depan orang banyak, menunjukkan kepandaianmu, itu juga bentuk bantuanmu. Kau sedang membuka jalan masa depan.”
Chesna ikut menyelutuk sambil menggenggam tangan kembarannya. “Kak Alan jangan takut. Aku kan bisa gantiin Kak Alan bantu Mama. Lagian aku juga bisa promosiin dagangan, ingat?”
Alan tertawa kecil, matanya berbinar. “Kalian benar. Aku akan coba sebaik mungkin.”
__
Hari-hari latihan lomba menjadi tantangan baru bagi Alan. Dengan bahan-bahan sederhana yang sering ia temukan di pasar atau di rumah kontrakan mereka, ia merancang eksperimen kecil seperti lampu sederhana dari air garam, dan juga kincir angin mini dari bambu bekas. Teman-temannya terheran-heran.
“Alan, kok bisa kepikiran begitu?” tanya salah seorang teman.
Alan hanya tersenyum polos. “Kalau setiap hari hidupmu terbatas, kamu jadi sering mikir cara lain buat bikin sesuatu jalan.”
Hari lomba pun tiba. Alan berangkat dengan seragam rapi dan kotak kecil berisi hasil kreasinya. Dari kejauhan, Rania dan Rani melambaikan tangan, meski hanya bisa mengantarnya sampai gerbang sekolah karena tak punya ongkos untuk ikut ke kota.
Alan menoleh sebentar, senyumnya penuh keyakinan.
“Ma, Chesna… doakan aku ya. Aku nggak akan sia-siakan ini.”
Dan di sanalah, anak lelaki 10 tahun itu berdiri di antara peserta lain dari sekolah-sekolah besar. Meski sederhana, matanya memancarkan kecerdasan dan keberanian, warisan dari perjalanan berat bersama ibunya.
__
Pagi itu, Rania baru saja selesai mengantarkan pesanan kue buatan tangannya ke sebuah toko kecil di pusat kota. Ia sengaja mengambil jalan memutar agar tidak berpapasan dengan terlalu banyak orang. Alan sedang mengikuti lomba untuk beberapa hari ke depan, sementara Chesna masih di sekolah. Rania terlihat sangat bersemangat memacu kedua kakinya.
Namun takdir sering kali mempermainkan. Dari kejauhan, langkahnya terhenti. Sosok pria dengan setelan jas rapi baru saja keluar dari mobil tepat depan sebuah gedung perkantoran mewah di seberang jalan. Wajah itu dingin, sorot matanya tajam, rahangnya mengeras saat berbicara dengan seseorang di telepon. Miko.
Rania seketika membeku. Nafasnya tercekat, seolah waktu berhenti. Semua kenangan pahit, dendam, kebencian, rasa bersalah, menerpa sekali gus. Ia buru-buru menunduk, memeluk erat tas di dadanya, berbalik hendak pergi.
Tapi langkahnya justru membuat suara tumit sepatunya memantul jelas di trotoar basah. Miko menghentikan percakapan teleponnya, menoleh sekilas. Hanya sepersekian detik, tapi cukup. Mata mereka hampir bertemu.
“Rania…” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
Panik melanda Rania. Ia mempercepat langkah, menyelip di antara orang-orang yang baru keluar dari halte bus. Tapi tiba-tiba terdengar suara benturan keras. Sebuah sepeda motor menabrak gerobak sayur di ujung jalan. Orang-orang menjerit, berlarian menolong pedagang yang terjatuh. Suasana mendadak ricuh.
Kesempatan itu digunakan Rania. Ia melangkah cepat ke arah gang sempit di samping gedung, lalu bersembunyi di balik dinding kusam yang dipenuhi coretan tak beraturan.. Nafasnya terengah, tubuhnya bergetar hebat.
Dari seberang jalan, Miko berusaha menembus kerumunan. Sorot matanya menyisir orang-orang. Ia tahu ia melihatnya. Bukan ilusi. Wajah pucat dengan mata yang dulu penuh amarah itu… ia tidak mungkin lupa.
Seorang stafnya mendekat. “Pak, rapat sudah menunggu.”
Miko mengangkat tangan, memberi isyarat agar orang itu diam. Tatapannya menajam, terarah pada gang kecil di sisi gedung.
“Aku tahu kau di sini, Rania…” gumamnya, dingin dan menekan.
Namun saat ia hendak melangkah ke arah gang, suara seseorang memanggilnya keras dari belakang, klien penting yang baru datang. Dengan terpaksa, Miko menahan langkahnya.
Rania menutup mulutnya rapat-rapat di balik tembok, matanya berkaca-kaca. Tubuhnya gemetar. Ia tahu, Miko tidak akan berhenti sampai benar-benar memastikan.
Dan di jalanan ramai itu, dua jiwa yang pernah terlibat oleh masa lalu yang kelam kembali dipertemukan, meski tak sepenuhnya saling berhadapan.
“Setelah 11 tahun, perempuan menjijikan itu tiba-tiba terlihat. Berani sekali dia muncul di kota ini.” Alan merasakan kemarahannya di dadanya.
++
Setelah bertemu klien, Miko kembali ke kantornya. Gedung perkantoran itu tampak tenang dari luar, namun di dalam ruang kerjanya yang luas dan tertutup kaca, Miko berdiri tegak di depan jendela. Tangannya menyelip di saku celana, rahangnya mengeras, sementara matanya kosong menatap ke arah jalanan yang sibuk di bawah sana.
Sejak kembali dari luar tadi, pikirannya tak bisa tenang. Ia telah menghadiri rapat singkat dengan klien, namun bahkan kalimat-kalimat mereka tak benar-benar masuk ke telinganya. Yang terus muncul hanyalah wajah itu—wajah pucat dengan sorot mata yang dulu dipenuhi ambisi, kebencian, sekaligus ketakutan.
“Rania…” desisnya pelan. Nama itu saja sudah membuat dadanya terasa sesak oleh amarah lama yang seolah belum pernah padam. Miko tidak percaya dengan isi pikirannya sendiri.
Apakah ini soal perasaan? Tidak mungkin. Memang, bertemu dengan wajah Rania, sekilas Miko merasa melihat Vania, wanita yang sebenarnya ia inginkan, yang kini hidup bahagia bersama pria lain. Ya, wajah Vania dan Rania memang sangat mirip.
Ia berjalan pelan ke meja kerjanya, membuka sebuah laci, dan mengambil sebatang rokok. Namun, seperti biasanya, batang itu hanya ia putar-putar di antara jari. Ia jarang benar-benar menyalakannya. Baginya, itu hanyalah cara meredam kegelisahan.
“Ardi benar, pernah melihatmu di kota kecil itu. Lalu kenapa kau muncul di kota ini? Apa ada lagi hal busuk yang kau rencanakan? Apa kau sangat meremehkan ucapanku waktu itu?” gumamnya.
Tangannya mengepal. Ingatan masa lalu menyeruak tawa licik Rania saat menghalangi Vania bertemu dengan Gama, malam kebakaran yang nyaris merenggut nyawa gadis yang ia cintai, dan semua luka yang tak pernah sembuh.
Seharusnya, ia merasa puas bila benar Rania kini hidup terlunta. Tapi anehnya, bayangan tadi tak mau hilang dari pikirannya. Bukan hanya wajah Rania, melainkan caranya menunduk, langkah tergesa yang nyaris seperti pelarian… ada sesuatu yang mengusik.
Ketukan pelan di pintu memecah lamunannya. Ardi, asisten kepercayaannya, masuk membawa setumpuk berkas.
“Pak, laporan dari proyek sudah saya siapkan. Apakah—”
“Taruh di meja,” potong Miko dingin, suaranya rendah namun penuh tekanan.
Ardi menuruti tanpa banyak bicara, tapi sempat melirik heran. Biasanya Tuan Miko fokus dan tak tergoyahkan, sementara hari ini terlihat ada kegelisahan yang sulit ditutupi.
Begitu Ardi keluar, Miko kembali menatap kaca jendela. Malam mulai turun, lampu-lampu kota menyala satu per satu. Namun pikirannya tetap terikat pada satu hal.
“Aku tidak mungkin salah. Itu memang dia,” bisiknya lagi, lebih mantap kali ini.
Dan di balik kemantapan itu, ada sesuatu yang tak bisa ia pahami—dorongan untuk menemukan Rania kembali, entah demi melampiaskan amarah… atau demi menjawab rasa terusik yang tak ia mengerti.
Ia masih muda, berdiri di depan rumah yang dilalap api. Teriakan menggema, orang-orang berlarian panik. Dan di dalam kobaran itu Vania, gadis yang ia cintai, terjebak nyaris tak bernyawa.
__