Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.
"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?
"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...
Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.
Kini sosok itu ada di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Membantu Baby Rey
Tiba di rumah sakit, Stasia menggandeng tangan kecil Ares yang sejak tadi tak berhenti bercerita tentang betapa penasarannya ingin melihat bayi Andreas.
“Dady!” seru Ares tiba-tiba, lalu melepaskan tangannya dari Stasia dan berlari ke arah Andreas yang baru keluar dari lorong.
“Jagoan? Kamu di sini?” Andreas terperanjat, lalu langsung menunduk dan memeluk erat bocah kecil itu. Senyumnya merekah, ada kebahagiaan yang begitu sederhana namun terasa dalam.
“Kata mama, dady mau kasih Ares adik. Jadi Ares ikut mama jenguk adik yang sakit,” celoteh Ares polos, membuat Andreas terharu sekaligus tersenyum getir.
“Pagi, kak,” sapa Stasia begitu tiba di dekat mereka.
“Pagi, Si. Aku kira kamu masih istirahat di apartemen. Baru kemarin sampai dari perjalanan panjang.”
“Kami sudah cukup istirahat, kak. Lagi pula… aku mau lihat jagoan kecil kakak,” ucap Stasia lembut sambil mengusap rambut Ares.
“Iya, Ares mau lihat adik Ares!” sahut bocah itu dengan semangat.
Andreas terkekeh tipis, lalu menjawab, “Kakak mau ke kantin, beli kopi sebentar.”
“Biar aku saja yang beli. Kakak bawa Ares dulu ke ruangan bayi. Dia pasti tidak sabar,” ujar Stasia cepat.
Andreas sempat ingin menolak, tapi akhirnya mengangguk. “Baiklah, kami tunggu di lantai 4. Sampai sana langsung saja ke ruang NICU.”
Tak lama, setelah membeli kopi, Stasia melangkah menuju lift. Dengan hati-hati ia membawa satu cup kopi hangat di tangannya. Saat berdiri di dalam lift, sebelum pintu tertutup rapat, entah kenapa ia merasa ada tatapan asing yang mengawasinya sejak tadi di lobi. Perasaan itu membuat bulu kuduknya sempat meremang. Namun ia buru-buru menggelengkan kepala. Hanya perasaan saja…
Begitu pintu lift terbuka di lantai 4, ia menghela napas lega, lalu segera keluar.
“Kak,” panggilnya sambil menyerahkan kopi kepada Andreas.
“Mama, Ares sudah lihat adik bayi. Dia kecil banget, Ma!” seru Ares dengan mata berbinar.
Stasia terkekeh, lalu menunduk meraih pipi Ares. “Ares juga dulu kecil waktu bayi. Semua bayi memang begitu. Tapi nanti kalau adik tumbuh sehat, dia akan besar juga seperti Ares.”
“Kalau adik sudah besar, dia bisa main bola sama Ares, kan?” tanya bocah itu penuh harap.
“Pasti. Adik bayi akan senang sekali punya kakak seperti Ares,” jawab Andreas sambil mengusap kepala Ares lembut.
Mereka lalu berdiri di depan kaca ruang NICU. Bayi-bayi mungil berjajar di dalam inkubator.
“Yang nomor tiga,” Andreas menunjuk ke salah satu bayi.
Stasia mendekat, matanya melembut. Bayi itu mungil, kulitnya pucat kemerahan, begitu rapuh. Hatinya terenyuh, apalagi mengingat bayi itu harus tumbuh tanpa belaian seorang ibu.
“Sekecil itu… sudah harus kehilangan ibunya,” lirih Stasia, nyaris tak terdengar.
Andreas terdiam sejenak, lalu berkata lirih, “Tuhan mengambil Indri begitu cepat. Dengan begitu, dia tidak perlu merasakan rasa sakit lagi. Kanker yang dideritanya saja sudah berat, apalagi dokter melarangnya hamil. Tapi Indri bersikeras… sampai akhirnya diluar kuasa kami, ternyata Tuhan menitipkan hidup baru di rahimnya, dan dia bersikeras ingin menjaganya sampai akhir. Dan begitulah… dia mempertahankan bayi kami, meski taruhannya adalah nyawanya sendiri.”
Stasia menoleh, menatap wajah Andreas yang menahan getir. “Meski aku hanya sempat mengenalnya lewat video call… aku bisa merasakan, Kak Indri memang wanita hebat.”
Andreas menahan senyum. Matanya tetap menatap bayinya, namun suara hatinya terdengar jelas. “Itulah alasan aku menikahinya. Aku tahu kondisinya, aku tahu penyakitnya… tapi dia begitu kuat, begitu tulus. Aku tidak pernah menyesal pernah bersamanya.”
Stasia tersenyum tipis, meski matanya basah. “Kakak juga hebat, mau menemani dan memilih tetap di sisinya. Aku yakin, bayi kalian ini akan tumbuh menjadi anak hebat, sama seperti orang tuanya.”
Andreas menoleh, matanya sedikit berair, lalu berusaha tersenyum. “Terima kasih, Si.”
“Sudah ada nama?” tanya Stasia pelan.
Andreas menghela napas, lalu menatap kembali bayinya dengan lembut. “Sudah. Selama di kandungan, Indri selalu memanggilnya Rey. Reyfaldo Whitmore.”
Stasia terdiam sejenak, lalu tersenyum haru. “Nama yang indah… hadiah terakhir dari Kak Indri.”
***
Setelah satu jam berlalu, Stasia pamit pulang. Ia sadar tidak mungkin membiarkan Ares terlalu lama di rumah sakit.
“Kak, aku pamit dulu, ya,” ucap Stasia sambil meraih tangan Ares.
“Kalian mau ke mana setelah ini?” tanya Andreas.
“Mau jenguk Bunda kak Andreas. Pasti Bunda sudah kangen dengan cucunya.”
Andreas tersenyum tipis. “Kamu benar. Dari kemarin beliau terus telepon, tanyain Ares. Begitu lihat langsung, pasti Bunda senang sekali.”
Stasia terkekeh. “Bunda kak Andreas memang selalu begitu. Waktu kita di Paris saja, tidak pernah absen videocall dengan Ares.”
Andreas mengangguk, lalu bertanya, “Kalian naik taksi lagi?”
“Iya, lebih nyaman begitu.”
“Biar ku minta supir jemput kalian.”
“Tidak perlu, kak. Supirmu lebih baik tetap di sini, kalau kakak perlu sesuatu dia bisa langsung bantu.”
Andreas menghela napas kecil. “Baiklah. Hati-hati di jalan, ya.”
“Baik, kak.”
Ares pun mencium tangan Andreas sebelum mereka berdua pergi meninggalkan ruang tunggu NICU.
Beberapa menit setelahnya, seorang suster datang mendekati Andreas.
“Pak Andreas, maaf, apa donor ASI sudah didapatkan lagi? Sudah waktunya bayi Anda mendapat asupan, tapi stok kami habis.”
Andreas spontan memijat pelipisnya. Asistennya belum juga memberi kabar soal donor ASI baru.
Tak lama, suster lain datang terburu-buru.
“Pak, bayi Anda terus menangis, stok ASI sudah benar-benar tidak ada.”
“Tunggu sebentar, saya coba hubungi asisten saya,” jawab Andreas cepat sambil berjalan sedikit menjauh.
Di saat bersamaan, Wulan tiba di lantai itu, didampingi Mama Rini yang mendorong kursi rodanya. Meski sempat menolah menggunakan kursi roda, Wulan akhirnya mengalah agar tida berdebat dengan Mama Rini untuk menggunakan kursi roda agar tidak terlalu lelah.
Begitu sampai di lorong depan NICU, Wulan melihat beberapa suster panik keluar-masuk. Raut wajahnya heran.
“Ada apa, Suster?” tanyanya pelan.
Seorang suster berhenti sejenak. “Ada bayi yang kehabisan stok ASI, Bu. Ayahnya sedang mengusahakan mencari donor baru.”
Wulan mengerutkan kening. “Apa ibunya tidak bisa menyusui?”
Suster itu menunduk singkat. “Ibunya meninggal sehari setelah melahirkan.”
“Ya Tuhan…” Wulan tertegun, matanya langsung dapat melihat ketegangan di dalam ruang NICU. Ia melihat seorang suster berusaha menenangkan bayi mungil yang menangis keras di inkubator.
“Itu bayinya?” tanyanya lirih.
“Benar, Bu. Kami khawatir tangisannya mengganggu bayi yang lain.”
“Kalau begitu… bolehkah saya masuk? Saya ingin menenangkannya.”
Suster tampak ragu sesaat, tapi kemudian mengangguk.
Sebelum masuk, Wulan menoleh ke Mama Rini. “Ma, tolong lihat bayiku di ruang perawatan, apakah sudah dimandikan.”
“Iya, Nak. Biar Mama yang urus,” jawab Mama Rini lembut, lalu beranjak pergi ke ruang perawatan bayi.
Dengan bantuan suster, Wulan masuk ke ruang NICU masih duduk di kursi roda. Begitu sampai di dekat bayi itu, hatinya seakan diremas. Ia pun segera meraih si mungil dari inkubator, menggendongnya dengan penuh kelembutan.
“Kasihan sekali… dia pasti lapar. Lihat gerakan bibirnya,” gumam Wulan.
Suster di sebelahnya menghela napas. “ASI donor habis, Bu. Dan bayi ini tidak bisa menerima susu formula. Bahkan beberapa donor sebelumnya pun tidak cocok. Sekali dapat yang cocok, ibunya ternyata tak bisa melanjutkan karena harus menyusui anaknya sendiri.”
Wulan menunduk menatap bayi itu, hatinya perih. Kalau ini putraku sendiri… bagaimana rasanya kehilangan ibunya sejak lahir?
“Apakah ayahnya masih di luar?” tanyanya.
“Iya, Bu. Sedang menelpon asistennya.”
Wulan menarik napas dalam, lalu menatap suster dengan tegas namun lembut.
“Kalau begitu, tawarkan pada ayah bayi ini. Jika berkenan, saya bersedia memberikan ASI saya. Kebetulan stok ASI saya melimpah, sudah saya simpan di ruang VIP 3. Silakan ambil, bila beliau setuju.”
Suster itu menatapnya dengan mata berbinar, seolah mendapat secercah harapan. “Baik, Bu. Saya akan segera menyampaikan.”
Tak lama, seorang suster kembali dengan membawa botol berisi ASI. “Ayah bayi sudah setuju, Bu. Ini sudah kami hangatkan dari stok di kamar Anda.”
“Syukurlah,” Wulan mengusap lembut kepala bayi itu. “Semoga ini bisa menolongnya.”
Namun Wulan tidak langsung keluar. Ia memilih tetap tinggal, memastikan bayi mungil itu mau menerima ASI dengan tenang. Tangis yang tadinya pecah perlahan mereda.
Air mata Wulan jatuh tanpa sadar. Betapa perihnya hidup bayi sekecil ini…