NovelToon NovelToon
Manuver Cinta

Manuver Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Balas Dendam / CEO / Dark Romance
Popularitas:393
Nilai: 5
Nama Author: _Luvv

Pernikahan tanpa Cinta?

Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?

Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 3

Marissa pulang dengan langkah cepat dan wajah penuh luka. Kemarahan dan kekecewaan bercampur menjadi satu. Nafasnya memburu, dadanya sesak menahan emosi yang hampir meledak.

Marissa langsung menyusuri lorong rumah mencari keberadaan ayahnya. Semua ruangan ia buka, sampai akhirnya langkahnya terhenti di depan ruang kerja ayahnya. Pintu terbuka sedikit, dan dari celah itu ia melihat sang ayah sedang duduk di balik meja kerjanya, dikelilingi tumpukan berkas yang tak pernah ia pahami.

"Gimana pertemuannya, sayang?" tanya Anton dengan senyum lembut ketika melihat putrinya berdiri di ambang pintu.

Marissa tidak menjawab. Ia melangkah masuk dengan tatapan tajam dan suara yang bergetar menahan amarah.

"Jelaskan ke Marissa... kenapa Papa menjual Marissa?"

Anton tertegun. "Maksud kamu apa, sayang?" tanyanya bingung sambil bangkit dari kursi dan menghampiri putrinya.

Marissa menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. "Kenapa Papa tega menjual Marissa ke pria kejam seperti dia?! Papa tahu dia mempermalukan Marissa malam ini?!"

Wajah Anton seketika berubah pucat. "Papa nggak jual kamu, Marissa..." bisiknya, terdengar lebih seperti pembelaan daripada penjelasan.

Marissa tertawa pendek, getir.

"Lalu kenapa Papa nggak pernah bilang kalau perusahaan kita hampir bangkrut? Kenapa semua harus Marissa dengar dari orang lain?!" suara Marissa meninggi. Matanya merah, hatinya hancur.

Anton menunduk. Bahunya melemah, seolah tak lagi sanggup menyangkal.

"Maafkan Papa, sayang..." ucapnya pelan, penuh sesal.

"Papa nggak punya pilihan lain. Papa di ujung jurang. Kalau Papa sampai jatuh, bukan cuma perusahaan yang hancur... tapi juga keluarga kita."

"Pa, kita bisa cari jalan lain. Kita bisa hadapi sama-sama, asal Papa jujur." Marissa mencoba tetap tenang, walau pikirannya berkecamuk.

Anton menggeleng pelan. "Tidak ada yang mau menolong kita, Marissa. Tidak ada satu pun." suaranya bergetar. Ia menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca.

"Dan... kasus Papa bukan hal kecil. Papa ditipu. Terjerat. Kalau Papa jatuh bangkrut dan masuk penjara... lalu biaya pengobatan mama kamu siapa yang tanggung?"

Kalimat itu seperti petir yang menyambar dada Marissa.

Kakinya mendadak lemas, membuatnya terjatuh berlutut di lantai yang terasa dingin menusuk. Ia memeluk dirinya erat, tubuhnya menggigil tak terkendali. Tak pernah sekali pun terlintas di pikirannya… bahwa keluarganya kini berada di jurang terdalam. Selama ini ia hanya tenggelam dalam dunianya sendiri, sibuk mengejar kesenangan tanpa pernah benar-benar peduli.

"Sayang..." Anton berlutut, mencoba menggenggam tangan putrinya. "Papa tahu ini berat buat kamu. Tapi tolong... bantu Papa kali ini. Papa mohon."

Marissa menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca, penuh dilema. Kepalanya terasa penuh, pikirannya berputar. Ini bukan sekadar soal pernikahan lagi. Ini tentang keluarganya... tentang ibu yang tengah sakit... tentang kehancuran yang sudah di depan mata.

Dan Marissa, berdiri di tengahnya dipaksa memilih antara pengorbanan... atau kehilangan.

___

"Lo gila?" suara James nyaris meledak di ruang kerja pribadi Lingga. Ia memutar kursi yang semula menghadap jendela dan menatap sahabatnya dengan tatapan tak percaya.

"Apa maksud lo bilang lo tertarik sama Diandra?!"

Lingga tidak langsung menjawab. Ia hanya menyandarkan tubuh ke kursi eksekutifnya dengan wajahnya tenang seperti biasa.

"Ada yang salah dengan itu?" tanyanya santai, seolah yang dibicarakan hanyalah ucapan biasa.

James mengusap wajahnya frustasi. "Lo tau dia anak siapa, kan? Diandra Elene Maris dia anak dari Harris Aditama, anak dari rival lo sendiri. Dan sekarang lo bilang lo... tertarik?"

Lingga mengambil cangkir kopinya  perlahan, lalu meminumnya. "Justru karena itu."

"Karena apa? Karena dia anak musuh lo?!" James tak bisa menahan nada tinggi suaranya.

Lingga tersenyum tipis, namun penuh arti.

"Diandra bukan cuma anak dari Harris Aditama. Dia perempuan yang cantik, cerdas, dan berbeda dari perempuan lain yang pernah saya temui." jawabnya.

"Dia bukan tipikal perempuan yang sibuk mengejar nama belakang saya atau jumlah nol di rekening saya."

James menatapnya tajam, masih tak percaya.

"Sejak kapan lo percaya sama cinta, Ngga? Sejak kapan lo tiba-tiba bisa bilang tertarik sama cewek? Lo sendiri yang pernah bilang, kalau cinta cuma ilusi bodoh yang bikin hidup tambah ribet."

Lingga terdiam. Tatapannya mengarah ke luar jendela, memandangi langit kota Jakarta yang mulai berubah jingga.

"Saya tidak sedang jatuh cinta," katanya akhirnya.

"Saya hanya penasaran. Dan rasa penasaran itu... cukup untuk bikin saya melakukannya."

James menggeleng, melangkah ke depan meja.

"Lo yakin ini bukan cuma permainan, Ngga? Bukan cuma pelampiasan lo karena dendam masa lalu sama keluarganya?"

Lingga mengangkat alis, tatapannya kini kembali ke James.

"Apa bedanya?" katanya pelan namun penuh arti.

"Setiap langkah selalu memiliki alasan. Entah itu karena dendam, strategi... atau rasa ingin tahu."

"Dan Diandra..." lanjutnya, sambil menyesap kopi dari gelasnya, "Dia bukan sekadar pion di papan catur. Tapi mungkin... kunci paling tak terduga dalam permainan ini."

James menghela napas panjang, berat, dan penuh keraguan. Ia menatap sahabatnya yang duduk santai di balik meja eksekutif dengan ekspresi sulit dibaca.

Ia mengenal Lingga sudah lama. Pria itu tak pernah bergerak tanpa perhitungan. Tapi kali ini semuanya terasa berbeda. Dan mungkin terlalu berisiko.

"Jujur sama gue, Ngga," ucap James akhirnya, suaranya terdengar lebih seperti permohonan daripada tuntutan. "Apa sebenarnya rencana lo?"

Lingga tak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat bahu ringan, seolah semuanya bukan hal besar.

"Tidak ada rencana spesial." jawabnya santai, terlalu santai untuk topik sebesar ini.

James mencibir. "Jangan omong kosong, Ngga. Setiap tindakan lo selalu ada alasan."

Hening sejenak.

"Kalau lo dekati Diandra cuma buat balas dendam ke keluarganya, itu bukan lo," ujar James, nadanya lebih tajam. "Gue tahu lo keras, dingin, kadang manipulatif. Tapi lo nggak pernah main kotor pakai perasaan orang."

Lingga menatap James dengan ekspresi datar. Mata hitamnya tajam, dalam, dingin, dan gelap.

"Apa kamu yakin kalau saya tidak berubah?" tanyanya datar. "Setelah semua yang terjadi selama ini?"

James terdiam. Di antara mereka berdua, Lingga adalah pemikir yang kejam tapi selalu rasional. Namun sekarang, ada sesuatu yang mengganggu... sesuatu yang bahkan tidak bisa dijelaskan dengan logika.

"Menikahi Diandra? Lo serius? Lo bahkan nggak percaya sama cinta."

Lingga tersenyum tipis. Senyum yang tidak memberi rasa nyaman.

"Siapa bilang ini tentang cinta?" jawabnya pelan. "Terkadang... rasa penasaran jauh lebih berbahaya daripada cinta."

James mengusap wajahnya dengan kedua tangan, napasnya berat. Kepalanya dipenuhi kekhawatiran yang tak bisa ia redam.

"Gue harap lo tahu apa yang lo lakuin, Ngga," ucapnya, suara rendah namun penuh tekanan. "Karena kalau enggak... bukan cuma Diandra yang bakal terluka. Tapi lo juga."

Lingga tidak langsung merespons. Ia hanya terdiam, menatap kosong ke luar jendela, menembus langit Jakarta yang perlahan berubah gelap.

Di balik sorot matanya yang tajam dan dingin, tersimpan sesuatu yang lebih dalam.

Karena dalam benaknya... ini bukan sekadar permainan. Ini bukan hanya soal balas dendam, atau penasaran. Ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.

Dan ketika James bersiap membuka suara lagi, Lingga akhirnya bicara.

“Kamu kenal saya,” ucapnya pelan, lalu menatap James penuh.

“Dan kamu pasti tahu… saya tidak akan pernah melangkah tanpa tujuan.”

Senyum tipis terlukis di bibirnya, nyaris tak terlihat. Tapi bagi James, itu bukan senyum ramah. Itu tanda bahaya.

James menghela napas, lalu menatap Lingga tanpa berkedip. “Kalau tujuan lo cuma buat balas dendam…” suaranya menurun, nyaris seperti peringatan, “jangan seret Diandra ke dalamnya.”

Tanpa menunggu balasan, James berbalik dan melangkah keluar, meninggalkan ruangan dengan pintu yang tertutup pelan.

1
Erika Solis
Duh, sakit banget hatiku. Terharu banget sama author!
Isolde
🙌 Suka banget sama buku ini, kayaknya bakal aku baca lagi deh.
Madison UwU
Gak sabar lanjut baca!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!