NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

PERNIKAHAN PAKSA DENGAN AYAH SAHABATKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Tamat
Popularitas:751
Nilai: 5
Nama Author: funghalim88@yahoo.co.id

Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.

Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.

Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 3 LAMARAN YANG MEMBAKAR JEMBATAN

Amara berdiri di depan cermin kamar, menatap wajahnya sendiri yang tampak lebih tua dari usianya. Lingkar hitam di bawah mata seakan menjadi saksi malam-malam tanpa tidur. Map hitam masih ada di atas meja, kini ditemani kartu nama Bagas Atmadja. Dua benda itu seperti dua mata setan yang terus mengawasinya.

Ibu mengetuk pintu. “Ra, turun sebentar. Ada tamu.”

“Siapa, Bu?”

“Pak Bagas.”

Amara terdiam. Perutnya mengeras. Ia menarik napas panjang sebelum membuka pintu.

Di ruang tamu, Bagas duduk tenang dengan setelan abu-abu. Wajahnya sama seperti semalam: dingin, penuh kontrol. Papa duduk di sampingnya, tampak kikuk, sementara Ibu menunduk menahan gelisah.

“Selamat pagi, Amara,” sapa Bagas. “Aku tidak ingin membuang waktumu. Aku ingin memperjelas niatku di hadapan keluargamu.”

Amara menelan ludah. “Apa maksudnya, Pak?”

Bagas menatap langsung, suaranya tegas tapi tidak meninggi. “Aku ingin menikahimu. Bukan sebagai permainan, bukan sekadar perjanjian. Aku butuh istri, dan kau yang kupilih.”

Kata-kata itu jatuh seperti palu. Ruang tamu mendadak sesak.

Papa menatap Amara, matanya penuh harap. “Ra, dengar dulu. Pak Bagas serius. Kalau ini terjadi, semua utang lunas, kita bisa mulai dari awal.”

Ibu menggenggam tangan Amara, dingin dan bergetar. “Nak, ini hidupmu. Ibu tidak bisa memutuskan untukmu. Tapi kau tahu keadaan kita…”

Amara berdiri terpaku. “Kenapa saya, Pak? Banyak perempuan lain yang lebih pantas.”

“Karena kau berbeda,” jawab Bagas. “Kau tidak mengejarku untuk harta atau nama. Kau bekerja dengan tanganmu sendiri. Aku menghargai itu.”

Ia mencondongkan tubuh, suaranya lebih rendah. “Dan aku butuh seorang pendamping yang bisa meredam gosip media sekaligus menjaga kestabilan keluargaku. Kau pilihan yang tepat.”

Amara menatap mata lelaki itu. Di sana tidak ada keraguan. Bagas benar-benar serius.

Sore itu, kabar sudah sampai ke telinga Selvia.

Ia datang ke rumah Amara dengan wajah merah padam. Begitu masuk, ia langsung menampar meja ruang tamu. “Ra, apa benar kau akan menikah dengan Papa?!”

Amara terkejut. “Selvia—”

“Jawab aku!” Selvia menatapnya dengan mata berair. “Aku percaya kau sahabatku. Tapi kau malah menusuk dari belakang!”

“Tidak! Aku belum memutuskan apa pun. Aku… aku tidak punya pilihan.”

“Tidak punya pilihan?!” Selvia hampir berteriak. “Kau bisa menolak! Kenapa harus setuju pada hal gila ini? Kau tahu apa artinya bagiku? Kau akan jadi ibu tiriku, Ra! Kau akan menghancurkan segalanya antara kita.”

Air mata Amara jatuh. “Aku tidak ingin ini terjadi. Tapi keluargaku—”

“Cukup!” Selvia berbalik, suaranya pecah. “Mulai sekarang, anggap aku bukan lagi sahabatmu. Kau musuhku.”

Ia pergi dengan langkah cepat, meninggalkan Amara yang terkulai di sofa.

Malam itu, Bagas mengirim pesan singkat.

Besok jam sepuluh pagi, aku akan mengundang keluargamu ke rumah. Aku ingin membicarakan pernikahan ini secara resmi.

Amara menatap layar ponselnya lama sekali. Rasanya dunia berputar lebih cepat daripada semestinya.

Keesokan paginya, rumah megah keluarga Atmadja berdiri angkuh di hadapan Amara dan orang tuanya. Gerbang besi terbuka, memperlihatkan taman luas dengan air mancur. Amara merasa langkahnya berat.

Di ruang tamu besar yang penuh lukisan, Bagas sudah menunggu. Kali ini ia tidak sendiri. Ada beberapa anggota keluarga besar Atmadja, termasuk Meylani, istri kedua Bagas. Wanita itu menatap Amara dengan tatapan tajam penuh sinis.

“Jadi ini calon istrimu, Mas?” suara Meylani dingin. “Seorang gadis miskin yang kau pungut begitu saja?”

Bagas menoleh singkat. “Jaga bicaramu, Meylani. Aku sudah memutuskan.”

Papa Amara menunduk malu, sementara Ibu meremas tangan anaknya.

Amara ingin membuka mulut, tapi suaranya tercekat.

Bagas berdiri. “Saya ingin memperkenalkan Amara Kirana sebagai calon istri saya. Pernikahan akan diadakan secepatnya setelah persiapan selesai.”

Keluarga Atmadja yang lain saling berbisik, sebagian terkejut, sebagian mencibir. Meylani tersenyum sinis.

“Kalau begitu, selamat. Mari kita lihat berapa lama gadis ini bisa bertahan jadi istrimu.”

Amara menunduk, wajahnya panas. Ia merasa seluruh dunia menertawainya. Tapi saat menoleh ke arah Bagas, lelaki itu tetap berdiri tegak, wajahnya tak berubah.

Dalam hati Amara, badai semakin besar. Ia baru saja kehilangan sahabat, dan kini ia dilempar ke dalam lingkaran keluarga yang penuh racun.

Apakah ini awal dari penyelamatan… atau awal dari kehancuran?

Amara menunduk, wajahnya panas, telinganya berdenging karena sindiran Meylani. Baginya, setiap tatapan orang-orang di ruang tamu itu seperti belati. Ada yang menatap meremehkan, ada yang tertawa kecil, ada yang berbisik sambil melirik ke arahnya.

Namun Bagas tidak goyah. Dengan suara dalam, ia menutup semua bisikan. “Keputusan sudah kuambil. Tidak ada diskusi.”

Papa Amara mengangkat kepala, matanya berbinar seolah hidupnya kembali diberi harapan. “Terima kasih, Pak Bagas. Kami berhutang budi…”

“Tidak perlu berbasa-basi,” potong Bagas tegas. “Yang perlu hanya komitmen. Pernikahan akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Aku tidak ingin tarik ulur.”

Ibu Amara menelan ludah, menggenggam tangan Amara lebih erat. Gadis itu hanya bisa menatap map hitam di pangkuannya, seolah jawaban hidupnya terkunci di sana.

Setelah acara singkat itu, keluarga Amara dipersilakan pulang. Sopir mengantar mereka sampai depan rumah sederhana yang terasa semakin sempit dibanding istana Atmadja.

Begitu masuk, Papa langsung menepuk bahu Amara. “Nak, ini kesempatan. Kamu harus terima. Bayangkan, semua utang lunas. Kita bisa hidup tenang lagi.”

“Tenang?” suara Amara pecah. “Bagaimana aku bisa tenang kalau harus mengorbankan hidupku? Bagaimana dengan Selvia? Dia sudah membenciku!”

Papa terdiam. Ibu memeluk Amara, air matanya jatuh. “Nak, Ibu tahu ini berat. Tapi kita terjepit. Kalau kamu tolak, besok rumah ini bisa disita.”

Amara menutup wajah dengan kedua tangan. Semua pilihan sama buruknya.

Keesokan harinya, kampus gempar. Kabar rencana pernikahan Bagas Atmadja dengan seorang mahasiswa menyebar cepat seperti api di ladang kering. Amara berjalan di koridor dengan kepala tertunduk, telinganya dipenuhi bisik-bisik.

“Itu dia, calon istri Pak Bagas?”

“Serius? Ayahnya Selvia?”

“Berarti dia jadi ibu tiri sahabatnya sendiri? Gila…”

Amara menggigit bibir, menahan perih. Ia ingin menjerit bahwa semua ini bukan pilihannya.

Saat keluar dari kelas, Davin sudah menunggunya di depan pintu. “Kita perlu bicara.”

Mereka berjalan ke taman belakang kampus. Davin menatapnya dengan sorot khawatir. “Amara, aku dengar kabar itu. Jangan bilang kau benar-benar setuju?”

Amara menunduk. “Aku… belum menandatangani apa pun.”

“Kalau begitu jangan pernah lakukan!” Davin meraih tangannya, hangat tapi memaksa. “Aku bisa bantu. Aku punya tabungan, punya koneksi. Kita bisa cari jalan lain. Kau tidak perlu menyerahkan hidupmu.”

Amara menarik tangannya, suaranya bergetar. “Davin, kamu tidak mengerti. Ini bukan hanya soal uang. Ini soal keselamatan keluargaku. Mereka sudah ditekan setiap hari. Kalau aku bisa hentikan itu, apa aku harus diam?”

Davin menatapnya lama. “Kalau begitu, kau akan jadi korban selamanya. Kau pikir Bagas benar-benar akan mencintaimu? Dia hanya butuh nama, butuh perisai. Kau bukan istri, kau pion.”

Kata-kata itu menusuk. Amara tidak menjawab, hanya menatap tanah.

Malamnya, sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah. Bagas turun, ditemani asistennya. Ia masuk dengan wibawa yang membuat ruang tamu sederhana itu terasa semakin sempit.

“Amara,” katanya langsung, “aku butuh jawaban. Besok media akan menyorot. Aku tidak ingin menunggu lebih lama.”

Papa langsung berdiri. “Pak Bagas, kami sepakat. Amara siap. Betul, Ra?”

Amara terpaku, jantungnya memukul keras. Ia menatap wajah Ibu yang penuh air mata, Papa yang penuh harap, lalu tatapan dingin Bagas yang menunggu tanpa ragu.

“Jika kau terima,” lanjut Bagas, “besok pagi semua utang keluargamu lunas. Aku pastikan tidak ada lagi yang berani mengganggu kalian. Tapi jika kau menolak, aku tidak akan menekan. Aku hanya akan mundur, dan keluargamu akan menghadapi konsekuensinya sendiri.”

Hening panjang menyelimuti ruang tamu. Jam dinding berdetak keras, seolah menghitung mundur.

Amara akhirnya menarik napas panjang, suaranya lirih namun tegas, “Baik. Saya… menerima.”

Ibu menutup mulut dengan tangis. Papa menjatuhkan badan ke kursi, lega sekaligus terharu.

Bagas berdiri, mengulurkan tangan. “Mulai malam ini, kau adalah calon istriku. Persiapkan dirimu. Dalam dua minggu, kita menikah.”

Amara menatap tangan itu. Dunia di sekelilingnya berputar, dan ia tahu, sejak saat itu, jembatan masa lalunya terbakar. Tidak ada jalan kembali.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!