Hanina Zhang, merupakan putri seorang ulama terkemuka di Xi’an, yang ingin pulang dengan selamat ke keluarganya setelah perjalanan dari Beijing.
Dalam perjalananya takdir mempertemukannya dengan Wang Lei, seorang kriminal dan kaki tangan dua raja mafia.
Hanina tak menyangka sosok pria itu tiba tiba ada disamping tempat duduknya. Tubuhnya gemetar, tak terbiasa dekat dengan pria yang bukan mahramnya. Saat Bus itu berhenti di rest area, Hanina turun, dan tak menyangka akan tertinggal bus tanpa apapun yang di bawa.
Di tengah kebingungannya beberapa orang mengganggunya. Ia pun berlari mencari perlindungan, dan beruntungnya menemui Wang Lei yang berdiri sedang menyesap rokok, ia pun berlindung di balik punggungnya.
Sejak saat itu, takdir mereka terikat: dua jiwa dengan latar belakang yang berbeda, terjebak dalam situasi yang tak pernah mereka bayangkan. Bagaimana perjalanan hidup Dewi Hijab dan iblis jalanan ini selanjutnya?
Jangan skip! Buruan atuh di baca...
Fb/Ig : Pearlysea
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pearlysea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab_2 Zhengzhou
Wang Lei—POV. Zhengzhou (Provinsi Henan)
Baru saja melangkah turun dari bus ponselku langsung berdering nyaring. Panggilan dari Asisten Bos. Segera kuangkat dan kulaporkan bahwa paketnya sudah mendarat dengan aman, tanpa ada yang mencurigai. Semoga saja memang begitu.
Setelah panggilan berakhir, aku berjalan menuju kedai kecil untuk memesan kopi panas dan sebungkus rokok. Dari kejauhan, mataku sempat menangkap sosok seorang gadis berkerudung hitam yang sedang di ceramahi seorang pria tua karena menjatuhkan keranjang buahnya.
Gadis itu tampak sangat gugup; tangannya bergerak cepat mengembalikan buah-buah yang bergulir ke dalam keranjang.
Aku mengenali sosoknya. Gadis yang tadi tertidur di sebelahku di bus. Dia yang kepalanya tanpa sengaja bersandar di bahuku. Aku menahan napas saat mataku tertuju pada wajahnya yang kini merah menahan tangis. Tapi tentu saja itu bukan urusanku.
Aku kembali menyesap kopi hingga tandas, lalu membayar dan meninggalkan kedai, berjalan lebih dalam ke rest area.
Dalam hitungan menit, suasana mendadak sepi. Orang-orang seperti hantu, menghilang begitu saja. Aku melangkah tegas menembus kesunyian, menuju area khusus parkir kendaraan roda dua, di sana hanya ada motorku yang keren dan gagah seperti pemiliknya.
Tapi sebelum menyalakan mesin, merokok dulu rasanya lebih afdhol sebagai bekal stamina perjalanan.
Tanpa banyak mikir, aku merogoh saku jaket, mengambil sebungkus rokok, menarik sebatang dan mengapitnya di antara bibir, lalu menyalakan korek zippo perak kesayanganku. Api kecil menari di ujung rokok menyulut asap pertama yang langsung menghangatkan paru-paruku dengan nikotin.
Ini memang bukan kebiasaan baik, tapi untuk orang sepertiku? Ah! Tidak berlaku! Aku hanya akan perduli pada kesenanganku sendiri.
Sedang asyik menyesap asap, mataku menangkap bayangan seseorang berlari ke arahku. Aku menyipitkan mata; cahaya lampu remang cukup untuk melihat dengan jelas siapa dia.
Sial. Itu gadis berhijab yang tadi bersamaku di bus. Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia masih di sini? Dia semakin mendekat, wajahnya terlihat sangat gelisah, lalu tanpa permisi tiba-tiba bersembunyi di balik punggungku.
Tangannya meremas lengan jaket kulitku dengan gemetar. Aku bisa merasakan napas dan detak jantungnya yang berpacu cepat.
"Qǐng bāng wǒ… (Tolong aku)," bisiknya, suaranya lembut dan bergetar, napasnya menyentuh tengkuk leher, membuat bulu kuduku meremang.
Sedetik kemudian, tiga pria nampak berjalan cepat ke arahku, aku mengenali siapa mereka.
Mereka adalah Kaki tangan Tian Hui, anak buah mafia lokal di kawasan Distrik Zhongyuan. Bajingan-bajingan ini memang suka membuntuti target yang terlihat lemah, seperti gadis di belakangku ini. Untuk apa lagi kalau bukan untuk bahan pelampiasan. Bangsat memang!
Tapi ya, aku tentu sama brengseknya seperti preman jalanan yang hidupnya terhubung pada kriminalitas yang ringan hingga berat. Tapi setidaknya aku masih punya sedikit moral untuk tidak melakukan hal-hal cabul seperti yang mereka lakukan. Kurang ajar!
Aku menghembuskan asap rokok perlahan, menatap mereka satu per satu dengan mata setajam silet. Tiga pasang mata balas menatapku degan ragu, tapi juga menilai. Mereka pasti tak menduga gadis ini mencari perlindungan pada orang asing yang sama brengseknya.
"Oi" salah satu dari mereka bersuara, langkahnya berhenti dua meter dariku. "Jangan ikut campur, kawan. Serahkan saja perempuan itu, dan kau bisa melanjutkan perjalananmu dengan tenang."
Aku mengangkat sebelah alis, menahan tawa. Sial, mereka pikir aku orang yang suka menuruti ancaman?
Dengan gerakan santai, aku menghempaskan puntung rokok ke tanah dan menginjaknya.
"Sayangnya," gumamku pelan, tanganku meraih gagang pisau lipat di pinggang, "aku memang suka ikut campur."
Aku bisa merasakan gadis itu mencengkeram jaketku lebih erat. Dia mungkin ketakutan setengah mati, tapi keberaniannya untuk mendekatiku barusan membuatku penasaran.
Angin malam yang dingin menyapu rest area yang lengang. Satu dari mereka menoleh kiri-kanan, seolah mencari saksi. Tak ada. Tempat ini seperti panggung yang disiapkan hanya untuk kami.
"Kau cari mati, bocah!" geram pria yang paling besar, dan mereka bertiga langsung bergerak serempak menerjangku.
Aku menarik napas dalam, kemudian segalanya berjalan cepat. Aku maju, menghantamkan lututku pada dagu pria pertama, tangan kiriku menangkis pukulan kedua, sementara tangan kananku melesakkan pisau lipat ke paha orang ketiga. Suara teriakan tertahan memenuhi udara.
Salah satu dari mereka merangkak, mencoba kabur, tapi segera kumenendang tulang rusuknya hingga ia jatuh berguling. Dalam hitungan detik, ketiganya sudah terkapar mengerang kesakitan. Kemudian aku mengusap darah di pisau dengan sapu tangan yang selalu kuselipkan di saku.
Mereka bangkit memohon ampun, langkah terhuyung-huyung. Nafsu untuk menghabisi mereka masih bergolak. Namun aku mengeratkan rahang, menahan diri. Tidak ada gunanya menambah masalah jika mereka sudah kapok.
"Pergi sebelum aku berubah pikiran,"desisku rendah, cukup keras untuk mereka dengar.
Tanpa menunggu diulang, ketiganya limbung berlari menjauh, menyisakan hanya suara langkah tergesa dan erangan pelan yang cepat meredam di kejauhan.
Aku menarik napas panjang, merasakan dentuman adrenalin di kepala. Mataku menuruni pandangan ke gadis di belakangku.
"Kamu terluka?" tanyaku, tak berusaha untuk terkesan ramah.
"Xièxiè…( Terima kasih)" hanya itu yang terdengar, suaranya lirih, seperti bisikan.
Aku memutuskan berbalik badan, menatap sosok gadis itu hingga kami saling berhadapan.
Gadis itu, berhijab hitam. Cantik seperti dewi kayangan yang bersinar, matanya besar, hidungnya mancung dan kecil, bibirnya? Astaga meski tipis tapi ranum dan merona. Aku di buat tak berkedip beberapa saat. Aku baru menyadari ternyata dia seindah itu. Mengingatkanku pada seseorang.
Sudah pasti ku tahu, dia seorang muslimah, mungkin dari etnis uighur atau suku Hui yang terkenal dengan kecantikan wanitanya.
Gadis itu menunduk, memainkan jemarinya.
"Apa yang terjadi? Kenapa masih di sini?" tanyaku, suaraku datar seperti biasa.
"Aku ketinggalan bus. Barang barangku ada disana, aku turun dan hanya membawa beberapa yuan untuk membeli air minum. Bisakah kau membantuku lagi? Tolong..."
Aku memandangnya tajam, menilai setiap gerakan kecil yang dia buat. Matanya berkaca-kaca, tapi dia berusaha menahan diri untuk tak menangis.
"Dasar ceroboh..." desisku, gadis itu semakin menunduk.
"Bagaimana bisa kau pergi sendirian tanpa ada yang menemani? tanpa uang dan ponsel?" aku bicara dengan suara ketus, tentu saja kesal. Aku bukan orang yang suka rela direpotkan seperti ini.
Merogoh saku jeansku. Menarik ponsel dan memberikanya. Namun gadis itu menggeleng lemah.
"Kenapa? Hubungi keluargamu, biar mereka menjemputmu di sini!"
"Aku bahkan tidak hafal nomor ponselku sendiri." jawabnya, suaranya lebih lirih dan terkesan putus asa.
Astaga... aku sendiri mendengus, memijat dahi yang mendadak pening.
"Tapi mungkin kamu bisa bantu aku mengejar bus itu dengan motormu? Tolonglah." katanya lagi, membuatku terkekeh rendah mendengar ide konyol itu.
"Itu tidak mungkin, Senorita. Bus itu sudah melaju puluan kilometer dan masuk tol. Mana mungkin motorku bisa mengejarnya."
"Kalau begitu, bantu aku cari kantor polisi."
"Kantor polisi?" Wajahku menegang seketika. Tidak mungkin. Aku baru saja keluar penjara 3 bulan lalu. Menolong gadis ini dengan menyerahkannya ke polisi, sama saja dengan menambah perkara hidup. Mereka pasti akan menuduhku yang tidak -tidak.
Sialan, kenapa aku bisa terjebak di situasi seperti ini.