Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 3
Hujan turun makin deras, membasahi tanah dan menyamarkan jejak. Udara di hutan berubah menjadi dingin dan penuh ketegangan. Tiga arah, tiga senjata, dan satu keputusan yang bisa mengubah segalanya. Suara dedaunan yang terinjak menjadi satu-satunya musik latar, menyertai detik-detik yang seperti membeku.
Matteo berdiri tegap di depan Dewi, tubuhnya basah kuyup. Senjata yang tersembunyi di balik jaketnya perlahan ditarik keluar, tapi ia tak langsung menodong. Tatapannya menyapu wajah dua pria utusan Rafael.
Clara bergerak mendekat dari sisi lain, pistolnya bergetar ringan di genggaman. Matanya merah, bukan karena hujan, tapi karena pilihan yang sedang ia buat.
“Aku bilang, mundur,” katanya sekali lagi, lebih tegas.
Salah satu pria bersenjata, yang tampak lebih muda, menoleh ke rekannya. “Kita tidak dapat perintah untuk membunuh… hanya bawa dia kembali.”
Yang satunya menggeleng keras. “Tuan Rafael tak akan ampun kalau kita pulang dengan tangan kosong.”
“Kalau begitu, kau bisa mati di sini juga,” sahut Matteo dingin.
Pria itu menegang. Tapi sebelum dia bisa menembak, terdengar suara keras. letusan pistol. Tidak berasal dari salah satu dari mereka, tapi dari belakang pohon, arah yang tak mereka perhitungkan.
Peluru menancap di tanah hanya beberapa sentimeter dari kaki pria bersenjata.
Semua menoleh serempak.
Dari balik bayangan, muncullah sosok tinggi berpakaian gelap. Rafael.
Basah kuyup, wajahnya nyaris tak bisa dibaca. Ia berjalan perlahan, tenang, seakan badai di sekitarnya tak menyentuh dirinya sedikit pun. Di tangannya, pistol yang masih mengepulkan asap.
“Turunkan senjatamu,” katanya pada anak buahnya.
Keduanya langsung mematuhi tanpa bicara.
Matteo mengangkat pistolnya, tapi Rafael hanya menoleh sekilas. “Kau tidak cukup cepat untuk menembak ku, adik.”
Matteo menggertakkan gigi. “Kau selalu tahu, ya? Selalu mengawasi? Kau senang melihat orang mengkhianatimu satu per satu?”
Rafael mengangkat bahu sedikit. “Lebih baik tahu daripada dibutakan harapan palsu.”
Clara menatap Rafael lama. “Lalu kenapa kau biarkan semua ini terjadi?”
Rafael menatapnya. Dan untuk pertama kalinya, ada emosi di wajahnya. Luka. Kekecewaan. “Karena aku ingin tahu… siapa yang masih bisa ku percaya.”
Dewi berdiri diam di antara mereka. Napasnya berat. “Jadi aku cuma pion, ya? Umpan untuk melihat siapa yang mengkhianatimu?”
“Bukan,” jawab Rafael pelan.
“Kau adalah cermin. Mereka tak mengkhianati ku karena kau… mereka menunjukkan siapa mereka sebenarnya… karena ingin menyelamatkanmu.”
Dewi nyaris tak percaya. “Lalu kenapa kau tidak hentikan semua ini sejak awal?”
“Karena aku ingin tahu... apakah aku masih punya sisi manusia,” katanya, pelan. “Dan ternyata, jawabannya ada padamu.”
Matteo tertawa pahit. “Kau bicara seolah punya hati, Rafael. Tapi semua orang di rumah itu mati pelan-pelan karena kau.”
Rafael menatapnya tajam. “Dan kau pikir kau lebih baik? Kau menggunakannya juga, Matteo. Sama sepertiku.”
Clara maju selangkah. “Kalau begitu, biarkan dia pergi. Biarkan Dewi pergi malam ini. Anggap saja... ini akhir dari semua permainanmu.”
Sunyi sesaat. Rafael menunduk, menarik napas dalam-dalam. Lalu ia menodongkan pistolnya ke langit, dan menembak satu kali lagi.
“Tembakan peringatan terakhir,” katanya.
Rafael menatap ketiganya dengan sorot mata yang sukar dibaca, lalu berkata dengan suara serak namun jelas di tengah gemuruh hujan,
“Lari lah… jika kalian bisa. Aku ingin tahu, seberapa jauh kalian bisa berlari dariku.”
Clara menatap Matteo sejenak, lalu menyentuh lengan Dewi dengan gemetar. Matteo menggertakkan gigi, lalu menarik Dewi untuk berbalik.
Dan mereka mulai berlari.
Tanpa kata. Tanpa rencana. Hanya naluri dan harapan samar untuk lolos dari seorang pria yang sudah kehilangan semua batas logika.
Deru napas mereka bercampur dengan suara hujan dan tanah becek yang terinjak. Tapi tak sampai lima detik kemudian.
DOR! DOR!
Dua letusan pistol memecah malam.
Jeritan Clara menyusul, disusul erangan dalam dari Matteo. Keduanya terjatuh hampir bersamaan, tubuh mereka menghantam tanah yang basah dan berlumpur. Darah mulai merembes dari kaki mereka. Clara tertembak di betis, Matteo di paha kanan. Keduanya menggeliat kesakitan.
Dewi berhenti di tengah langkah, menoleh dengan napas terengah. “Clara! Matteo!”
Rafael berjalan mendekat perlahan, suara sepatunya yang menghantam lumpur nyaris terdengar seperti detak jam kematian. Tatapan matanya seperti tidak membawa dosa sedikit pun.
Dan kemudian..
Ia tertawa. Terbahak-bahak.
Kepalanya mendongak ke langit, suara tawanya menggelegar lebih dari suara petir yang menyambar di kejauhan.
“Aku bahkan tak berniat membunuh kalian malam ini,” katanya di antara tawa yang mulai mereda. “Tapi lucu sekali… kalian benar-benar berpikir bisa kabur dariku?”
Clara menggertakkan gigi sambil menahan nyeri, air matanya bercampur dengan hujan. Matteo mencoba menyeret tubuhnya, melindungi Dewi dengan sisa tenaganya.
Rafael mendekat lagi, kini berdiri hanya beberapa meter dari mereka. Ia membungkuk sedikit, menyentuh pistol yang masih hangat di tangannya.
“Beginilah akhirnya… permainan pengejaran yang kalian banggakan.”
Dewi berdiri tegak. Tangannya gemetar, tapi ia tidak bergerak mundur. Mata mereka bertemu.
“Bunuh aku, kalau itu tujuanmu,” katanya pelan.
Rafael menggeleng, tersenyum samar. “Tidak. Kau… tetap harus hidup. Supaya bisa melihat semua ini. Merasakan semuanya. Karena luka yang hidup… lebih menyakitkan daripada kematian.”
Ia menoleh pada anak buahnya. “Bawa mereka. Tapi jangan biarkan mereka mati… belum saatnya.”
...
Suara pintu besi berderit keras saat terbuka, menggema di lorong bawah tanah yang lembap dan pengap. Dua anak buah Rafael menyeret tubuh Clara dan Matteo yang masih berdarah, lalu melempar mereka ke dalam sebuah sel besi yang gelap di ujung lorong. Cahaya lampu redup membuat bayangan di dinding bergerak-gerak menyeramkan.
Di seberang sel mereka, ada ruangan kaca tebal yang di dalamnya tampak lima ekor harimau besar berjalan mondar-mandir, sesekali menggeram rendah. Mata mereka menyala tajam, mencerminkan kelaparan dan keganasan. Harimau-harimau itu menatap langsung ke arah sel tempat Clara dan Matteo berada, seolah-olah menanti aba-aba.
“Selamat datang di kandang para penghianat,” ujar salah satu anak buah Rafael dingin sebelum menutup dan mengunci pintu sel itu dengan keras. Mereka pergi tanpa bicara lagi, meninggalkan ketiganya dalam gelap dan dingin yang mencekam.
Clara terisak pelan sambil memegangi betisnya yang masih berdarah. “Ya Tuhan… harimau itu… mereka benar-benar ada… bukan cuma ancaman gila Rafael…”
Matteo duduk dengan susah payah, wajahnya pucat. “Dia benar-benar sudah kehilangan akal… menaruh kita di sini… di depan kandang binatang buas…”
Dari balik jeruji, suara napas berat terdengar. Dewi duduk di lantai sel sebelah mereka, tubuhnya bersandar lemas ke dinding, wajahnya penuh luka dan kelelahan.
“Dewi…” Clara memanggil lirih. “Kau… kau baik-baik saja?”
Dewi mengangkat kepala perlahan, matanya basah. “Aku tidak tahu… apa itu namanya baik-baik saja… setelah melihat apa yang dia lakukan pada kalian.”
Matteo menarik napas dalam-dalam, menahan rasa sakit. “Kau masih di sini… berarti dia belum selesai dengan kita semua.”
Dari kandang kaca, salah satu harimau mengaum keras, mencakar kaca seperti ingin menerobos keluar. Dewi memeluk lututnya, tubuhnya menggigil.
“Harimau itu… mereka seperti tahu… mereka menatap kita seakan menunggu kita masuk ke kandang mereka.”
Clara menatap binatang-binatang itu dengan getir. “Rafael merawat mereka sejak kecil. Katanya… mereka satu-satunya makhluk yang bisa dia percaya.”
Dewi menoleh pelan, wajahnya penuh ngeri. “Apa maksudnya? Dia pelihara harimau… untuk makan manusia?”
“Untuk menghukum,” jawab Clara lirih.
“Siapa pun yang menghalanginya… atau membuatnya merasa dikhianati… akan berakhir di sini.”
Matteo menatap kaca itu tajam, napasnya berat. “Dia gila…”
“Gila… tapi cerdas,” sahut Clara.
“Dia membuat tempat ini seperti panggung kematian. Dan dia selalu jadi penonton pertama.”
Tiba-tiba lampu di atas mereka menyala terang. Sebuah layar besar di dinding menyala, menampilkan wajah Rafael yang duduk di kursinya dengan angkuh, seolah-olah sedang menikmati sebuah pertunjukan teater.
“Bagaimana rasanya?” suara Rafael keluar dari speaker, dingin dan penuh ejekan.
“Tempat ini dibangun untuk orang-orang seperti kalian. Penghianat yang tidak tahu berterima kasih.”
Dewi memekik marah. “Kau iblis!”
Rafael hanya tersenyum di layar. “Dan kau? Hanya pion kecil yang tak bisa berlari jauh. Tapi tenang saja… aku tidak akan membunuh kalian… belum. Tapi binatang-binatang itu…” Ia menunjuk ke arah kandang.
“Mereka lebih sabar daripada kalian. Mereka bisa menunggu.”
Matteo berdiri dengan susah payah, berdiri di depan jeruji. “Apa yang kau mau, Rafael? Kau sudah menang. Hentikan permainan ini!”
Wajah Rafael di layar mendekat, matanya menatap tajam. “Bukan aku yang bermain, adik. Kalianlah yang memilih permainan ini. Aku hanya… mengakhiri dengan caraku sendiri.”
Lalu layar mati. Lampu kembali redup. Sunyi menyelimuti ruangan, hanya diselingi oleh napas ketakutan dan raungan pelan dari lima makhluk buas yang terus menatap mereka dari balik kaca.
Dewi menunduk, air matanya jatuh membasahi lantai dingin.
Clara berbisik dengan suara bergetar, “Apa kita… akan mati di sini?”
Matteo menggenggam tangan Clara. “Tidak. Tidak kalau aku masih hidup.”
Dan dalam keheningan yang menggantung di udara, tekad mulai tumbuh. Luka boleh menyakitkan, tubuh boleh lemah, tapi mereka belum menyerah. Tidak malam ini. Tidak sebelum segalanya benar-benar berakhir.