NovelToon NovelToon
Bukan Sekolah Biasa

Bukan Sekolah Biasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Sci-Fi / Misteri / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Light Novel
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Vian Nara

Sandy Sandoro, murid pindahan dari SMA Berlian, di paksa masuk ke SMA Sayap Hitam—karena kemampuan anehnya dalam melihat masa depan dan selalu akurat.

Sayap Hitam adalah sekolah buangan yang di cap terburuk dan penuh keanehan. Tapi di balik reputasinya, Sandy menemukan kenyataan yang jauh lebih absurb : murid-murid dengan bakat serta kemampuan aneh, rahasia yang tak bisa dijelaskan, dan suasana yang perlahan mengubah hidupnya.

Ditengah tawa, konflik, dan kehangatan persahabatan yang tak biasa, Sandy terseret dalam misteri yang menyelimuti sekolah ini—misteri yang bisa mengubah masa lalu dan masa depan.

SMA Sayap Hitam bukan tempat biasa. Dan Sandy bukan sekedar murid biasa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vian Nara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 3 : Chef Terkenal

Angin berhembus pelan melewatiku anak rambutku, sejuk sekali udaranya. Jam istirahat paling tenang menurutku sejauh ini. Dua Minggu telah berlalu sejak peristiwa gudang yang menuju kepada pengungkapan kekuatan yang aku miliki dan juga Beben, Rino, Adit, Beben, Dimas.

Pot-pot berisi tanam-tanaman hijau berjejer rapi di atas atap sekolah. Meskipun sudah pernah aku lihat sebelumnya tetap saja tempat ini sangat nyaman. Aku jadi teringat gadis bernama Nayyara yang bersama Raga saat Bora mengajakku tur keliling sekolah.

Mataku memandang jauh ke depan, hamparan langit biru dengan awan sirus lembut yang berjajar dengan bentuk horizontal. Pikiranku mulai memikirkan banyak hal secara acak, mulai dari masa depan Nayyara, Bora dan juga pertemuanku dengan orang-orang berkemampuan istimewa.

Fakta yang mengejutkan dan juga membuat keingintahuanku yang selama ini selalu aku pertanyakan. Orang-orang berkemampuan istimewa. Namun itu menjadi masih menjadi pertanyaanku. Mengapa dan apa tujuan semua orang dengan kemampuan istimewa ada? Apa benar meteor yang menjadi sebuah penyebabnya?

"Menyebalkan," Gumamku.

Aku mulai berbicara dengan diriku sendiri, saling bertukar pikiran. Meskipun aku tidak tahu apakah itu bisa di katakan bertukar pikiran.

"Banyak sekali misteri di dunia ini."

"Aku pikir sekolah baruku ini akan menuntunku pada perjalanan baru yang lebih baik, alias seperti kehidupan remaja normal pada umumnya."

"Malahan aku terseret kepada kemungkinan dan teka-teki yang sering aku pertanyakan sejak usiaku memasuki usia 9 tahun."

"Wah, hebat sekali kamu. Kamu pasti pelajar aktif di sekolah sebelumnya." Suara wanita tiba-tiba menimpali pembicaraanku dengan diriku sendiri.

Aku menoleh ke arah sampingku. Dia. Gadis berambut pendek dengan tinggi kurang lebih 160 cm, dan memakai sarung tangan berwarna putih. Nayyara.

"K-kamu....Bukannya yang bersama Raga waktu itu?" Aku bertanya walaupun gugup.

Aku mempunyai dua sisi berbeda. Satu, aku bisa berbicara dengan mudah dan lancar apabila lawan bicaraku berjumlah dua orang atau kurang dari sepuluh, jika melebihinya maka aku akan mengalami kegugupan karena semakin banyak tatapan orang kepadaku, itu akan membuatku overthinking. Selain itu, jika topik pembahasan adalah yang sedang aku cari dan aku sukai—sangat memancing rasa keingintahuanku.

Kedua, aku akan gugup jika seperti yang sudah aku beritahu tadi. Tapi ada hal lain. Perempuan.

Yap, itu akan sangat membuatku canggung serta kegugupan yang akan mencapai level entah berapa—tergantung situasi dan kondisi. Jika perempuan tersebut sering menatap serta membuat gestur yang seperti ingin akrab. Aku akan sangat gugup.

"Iya." Nayyara mengangguk.

"Ohh....."

Lenggang sejenak atap sekolah. Angin berhembus kembali, anak rambut Nayyara tertiup angin sehingga aroma sampo yang dia pakai tercium oleh indera penciumanku. Harum.

"Kamu dari SMA Berlian?" Nayyara bertanya.

"Iya." jawabku singkat.

"Kamu kayaknya orang yang sudah di ajak bicara, ya?" Nayyara mulai sedikit kesal.

Sepertinya kondisi yang aku alami tidak terlalu buruk, tidak ada sok akrab, tidak ada menatap lama seperti mengamati. Baiklah aku beranikan diri saja.

"Kenapa kau ingin tahu masalah orang lain?" Aku berbalik bertanya.

Sial salah pertanyaan. aku merasa bersalah

"Eh, bukan seperti itu. Aku cuman mau sedikit mengenal murid baru, toh nanti kita juga bakal terlibat untuk kerja sama dalam pembelajaran."

"Selain itu......." Wajah Nayyara berubah menjadi sedikit memerah serta malu-malu. "Apakah kamu ingat aku?"

"Hah?" Aku menatap Nayyara heran.

"Hmm......." Aku mulai berpikir, tapi sepertinya wajah Nayyara nampak familiar dalam ingatanku, aku masih menebak-nebak. Dan seketika aku menemukan jawabannya, bahkan membuatku terkejut.

"OHHHHH~~" Aku menjentikkan jari.

Wajah Nayyara nampak kegirangan sepertinya saat aku hendak menjawabnya.

"Kamu itu chef remaja terkenal di TV Nayyara Qwira." Aku menunjuk Nayyara.

Ekspresi wajah Nayyara berubah drastis menjadi muram dan sepertinya pasrah. Apa aku berbuat kesalahan? Apa aku salah menebak?

"Ehh...Apa aku salah menebaknya?" Tanyaku.

"Eng-enggak kok. Kamu benar nebaknya, hehe." Ekspresinya semakin pasrah.

"Ini akan sulit. Apakah mungkin aku masih bisa mengharapkan keajaiban?" Nayyara mengeluh.

"Apa maksudmu?"

"Bu-bukan apa-apa kok." Nayyara terlihat gelagapan.

Apa yang di katakan olehnya benar adanya, beban dengan tidak menghapus apa yang tertanam pada memoriku hanya akan menjadi beban saat pertemuan yang segera terjadi. (kata hati Nayyara)

"Kenapa kamu bersekolah di sini, hei?" Aku mengubah topik pembicaraan yang telah menuntun pada kebuntuan.

Nayyara menatapku sekilas dengan seksama, lalu pandangannya kembali mengarah ke arah depan, menatap pemandangan kota dari atap sekolah.

"Banyak hal yang telah terjadi. Namun, singkatnya adalah sekolah ini menyenangkan dan memberi rasa aman bagiku." Jawab Nayyara

"Bukankah seharusnya bagi orang terkenal sepertimu bersekolah di sekolah elite? Sekolah ini katanya adalah yang terburuk, bukan? Bagaimana kamu bisa menerima sekolah ini dengan baik sedangkan popularitas serta penilaiannya buruk?"

"Apa yang terlihat buruk tidak selalu buruk dan apa yang terlihat baik tak sepenuhnya baik. Begitulah kira-kira jawabanku Sandy."

BRAK!

Suara pintu terbuka dengan kerasnya, empat sosok remaja terlihat panik lantas menutup kembali pintu menuju atap. Mereka empat sekawan absurd.

Aku dan Nayyara terkejut secara bersamaan mendengar suara tersebut.

"Udah gua bilang, jangan bikin ulah sama si Raga. Mana ujung-ujungnya Dimas jadi ikut-ikutan." Adit mengelap keringat serta mengatur nafasnya yang terengah-engah.

"Mana gua tahu, Dit. Kita niatnya bikin prank ramal terus nyata untuk lihat ekspresi takjub semua murid, tahunya tuh satu orang, Raga lagi punya mood ga bagus....ehh waktu kita ramal digigit ular terus pake ular mainan biar bikin benar terjadi malah ngambek," ujar Genta.

"Raga lagi gak mood gara-gara nyari Nayyara. Tuh orang kayaknya terlalu protektif ke pacarnya." Rino menjelaskan.

"Masalah gara-gara Raga ngamuk, ular mainannya kena Isna terus bikin kaget, eh malah pingsan. Tahukan kalo Dimas suka Isna? Apa yang terjadi sama si Isna pasti Dimas turun tangan." Beben mengatur tempo nafasnya.

"Setidaknya, kita aman disini untuk sementara waktu." Lanjut Beben.

Mereka berempat terduduk lega di dekat pintu menuju atap tersebut.

"Lu bawa makanan gak, Gen?" Beben bertanya.

"Cuman chokie-chokie."

"Bagi dong!"

"Udah gua gigit, jir....lu gak jijik apa?"

Mereka terus berbincang setelahnya tanpa menyadari keberadaanku dengan Nayyara yang sudah ada di atap sejak tadi.

"Oh, iya.......... Aku baru mau tanya ini. Sebenarnya aku sudah penasaran sejak Bora menjelaskan tentang hubunganmu dengan Raga......... Apa benar kamu dan Raga pacaran? Dan apakah itu semacam... Politik? Tanyaku penasaran sekali.

Nayyara menghembuskan nafas panjang. "Aku dan Raga tidak pacaran. Sebaiknya kau tidak percaya dengan rumor atau isu seperti itu. Raga hanya menjagaku saja."

"Aku kira hubungan kalian seperti itu, nampak jelas dari ekspresi Raga yang sangat ingin melindungi kamu layaknya sesuatu yang berharga baginya."

"Yang terlihat tidak selalunya sama. Begitulah maksudku."

"Sandy!?" Nayyara memanggilku pelan.

Entah kenapa rasanya tidak seperti berbicara dengan kebanyakan orang yang bisa membuatku kehabisan energi, rasa nyaman yang aku rasa pernah terjadi. Perkataan dan tutur kata yang halusnya itu sepertinya aku juga pernah mendengarnya, tapi entah dimana.

Aku menoleh ke arah tepat Nayyara sedang berdiri.

"Pernah tidak kamu mendengar sebuah puisi tentang dua jiwa dan lautan?" Nayyara bertanya padaku.

"Sagaras yang luas, deru ombak ganas yang mengguncang laksana perahu. Mimpi buruk dengan badai tak menjadikan dua orang yang terhubung akan gentar dalam janjinya hingga kapal karam, meskipun telah karam ikatan janji masih terasa nyata."

Indah sekali perkataan puisi tersebut. Mendengarnya saja sudah membuatku merinding dan mencerna makna di baliknya.

"Hebat, menceritakan tentang apa puisi yang tadi kamu ucapkan? Siapa pembuatnya? Sepertinya aku pernah dengar juga." Aku menyeringai.

"Puisi itu di buat oleh seseorang yang sangat berharga bagiku. Puisi itu menceritakan tentang dua orang yang membuat janji di tengah cobaan yang berat. Dan keduanya berjanji jika tidak akan pernah bertemu lagi, hubungan yang pernah tercipta akan selalu erat dalam ingatan." Nayyara tertunduk lesu.

Tak lama air matanya perlahan jatuh hingga mengalir ke pelipisnya.

"Kamu kenapa? Apa aku salah? Maafin aku, kayaknya aku bikin kesalahan, ya?" aku panik sekaligus khawatir.

BRUK

Nayyara memelukku secara mendadak hingga membuatku semakin panik. Sungguh, kayaknya aku sudah membuatnya butuh penanganan psikolog.

"Kamu tidak salah....Aku yang selalu berharap setiap hari agar keajaiban datang.....aku terlalu takut." Nayyara menangis sambil memelukku.

Tinggi kami tidak terlalu jauh, hanya selisih sepuluh centimeter saja.

"Eh, sungguh aku seharusnya yang minta maaf. Aku sudah membuat kami sedih, meskipun aku tidak tahu apa penyebabnya." Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal sama sekali.

Saat aku asyik menenangkan Nayyara yang sedang bersedih. Mereka berempat mulai bertingkah.

CEKRECK!

CEKRECK!

CEKRECK!

"Bukti yang sangat kuat, wahai saudara-saudaraku."

"Betul sekali, saudara Beben. Bukti ini akan menjadi perbincangan hangat di website sekolah kita dengan judul 'anak baru udah main nikung pacarnya orang'." Timpal Rino.

"Selain itu, bukti ini akan semakin kuat. Raga akan menjadi penyebabnya juga dengan deskripsi 'Chef remaja terkenal lebih memilih seseorang yang baru di hidupnya karena pacar lamanya adalah orang yang terlalu protektif. Di kabarkan hal ini membuat korban hingga curhat kepada seseorang yang menjadi pacar barunya.' Begitulah kira-kira." Adit membuat hipotesis tak jelas."

"Drama ini akan menjadi topik hangat sampai lima bulan kedepan." Genta ikutan nimbrung.

"E-e-EEEHHHHHHH?!!"

"Se-sejak kapan kalian melihat kami, hei?" Aku mulai gelapan. Tingkat bukan karena faktor yang sudah aku jelaskan, tapi ini berbeda.

Kebanyakan orang ketika ingin menyampaikan kebenaran di saat kebenaran yang terlihat adalah salah paham, pasti akan sulit dipercaya oleh orang-orang jika kita sedang menjelaskan yang sebenarnya terjadi, salah satunya adalah panik.

"Kami? Kami dari tadi." Jawab mereka polos seolah tak berdosa.

"I-ini salah paham."

"Nayyara? Nayyara?!" Aku memanggil Nayyara yang masih memelukku erat. Tangisnya sudah berhenti beberapa menit yang lalu.

"Gua gak nyangka sih , San, Lo bisa nikung pacarnya orang sampe betah kayak gini." Genta menepuk pundakku.

"Kalian semua salah paham." Aku mencoba menjelaskan.

"Tolong jangan disebarkan!" Aku berusaha keras meminta pencegahan hal yang tak diinginkan terjadi.

Empat sekawan absurd saling melirik satu sama lain, bertukar pandang seolah berbicara melewati telepati.

"Ada satu syarat, jika apa yang sedang terjadi disini gak akan disebarkan ke satu sekolah, Sandy," Ujar Adit sembari menepuk bahuku.

"Lo harus bikinin kita masakan enak pake Indomie favorit kita berempat masing-masing, gimana? Setuju?" Lanjut Adit.

Nayyara akhirnya melepas pelukannya kepadaku dan justru malah dia yang menjawab dengan semangat, "Setuju!"

Aku menatap heran kepada Nayyara, bukannya tadi dia sedang menangis?

"Baiklah, kami beri waktu tiga Minggu."

"Bukannya itu terlalu lama?" tanyaku.

"Soalnya...... Sebenarnya kita berempat banyak melihat rahasia seseorang, jadi banyak yang membuat perjanjian membuat makanan untuk kita agar rahasianya tidak tersebar."

Bukannya itu pemerasan? kataku dalam pikiran.

"Ini bukan pemerasan, wahai kisanak. Kita itu orang baik." Beben nada sok drama. Dia membaca pikiranku lagi.

"Kita itu cuman asal lewat terus kebenaran lihat, mereka panik dan maksa biar rahasianya tidak di sebarkan. Gua juga sebenarnya cuman pura-pura ambil foto. Tentang kamera, sebenarnya Gua engga ngambil gambar apapun tentang mereka. Gua cuman motret wajah kita berempat ini." Adit menjelaskan detail.

"Jadi, aku terbebaskan?" Tanyaku.

Bukan jawaban yang aku dengar pertama kali, tapi tawa jahil mereka berempat.

"Lo sudah berjanji bakal bikinin makanan enak pake Indomie favorit kita berempat masing-masing. Janji tidak boleh di tarik, jika di tarik maka itu dosa." Beben menyeringai sambil melipat kedua tangannya.

"Jika itu dosa, bagaimana kau menjelaskan tindakanmu itu tidak berdosa? Dari kejahilan kecil bisa menimbulkan kejahatan yang seriusan, kasus tersebut sering terjadi, bukan?" suara seorang lelaki terdengar.

Dari atas balkon tempat pintu menuju atap berdiri, remaja lelaki dengan memakai Hoodie terduduk dari rebahan santainya.

TUK

Dia turun dari atas balkon. Tudung hoodie yang dia pakai kemudian di turunkan. Terlihat wajahnya sangat bersih, namun rambutnya acak-acakan— gaya standar anak SMA zaman sekarang pada umumnya.

"Omong kosong yang sangat besar sekali. Pantas saja negeri ini tidak mengalami kemajuan. Orang seperti kalian harus cepat sadar, tidakkah kalian merasa bahwa apa yang dilakukan oleh berkuasa itu salah? Lantas kenapa kalian secara tidak sadar mengikuti perlakuan kecil seperti mereka?" Remaja tersebut terus memberikan pertanyaan.

"Siapa dia?" Aku menyenggol Nayyara dengan sikukku.

"Nara. Murid paling cerdas di sekolah ini. Ketika ada pembicaraan mengenai pengetahuan, sedikit mendengar saja bisa membuat Nara sangat tertarik hingga terus membahasnya dengan logika yang dia miliki." Jawab Nayyara. Dari wajah Nayyara aku melihat ekspresi orang yang sudah terbiasa melihat tingkah laku remaja dengan Hoodie di depan kami.

Beben berbisik pelan kepada ketiga sahabatnya yang lain, "Gua lupa jadwal tempat Nara tidur."

"Kita, kan gak tahu bakal bicarain yang beginian." Rino menimpali.

"Dahlah, sebentar lagi kita semua kena mental sama pikiran logika masuk akal dari orang genius satu sekolah yang bahkan udah setara dosen katanya." Adit pasrah.

"Lebih baik kalian berempat katakan apa yang terjadi sebenarnya kepada semua korban yang sudah kalian tipu itu. Apa kalian tidak tahu malu, hah? Membenci sifat para pejabat sedangkan kalian pun melakukan hal yang sama." Nara menunjuk keempat sekawan absurd dengan ekspresi dingin namun tatapannya tajam.

Keempat sekawan absurd mulai terlihat ragu, pelan-pelan mereka berempat akhirnya mengangguk dan menyesal.

Nara melangkah menuju pintu atap sekolah. "Aku akan lanjutkan tidurku di tempat lain, kalian secepatnya harus mengungkapkan kebenaran yang ada, itulah ciri jiwa seseorang pembela–"

BRUK! pintu di terbuka dengan keras menghantam Nara yang hendak membuka pintu.

"DISINI KALIAN RUPANYA DASAR BEDEBAH SIALAN YANG BIKIN ISNA LAGI-LAGI PINGSAN!!!"

Ternyata Dimas yang membuka pintu tersebut dengan emosi. Disusul oleh Raga yang justru langsung melangkah cepat ke arah Aku dan Nayyara tepat berdiri.

Pintu yang di banting menutup kembali dengan cepat di akibatkan oleh pemantulan. Yap, itu di sebabkan oleh Nara.

Nara pun menahan sakit, sambil mengomel kepada Dimas.

"Bego, gak ada otak!"

"Suruh siapa berdiri di depan pintu!"

"Mana aku tahu, hah?!!?!?"

"Terus siapa yang harus di salahkan, Bego?!"

"Ini semua terjadi karena Empat sekawan bejat?!"

"Betul, sekali."

Nara dan Dimas beralih menatap Beben, Rino, Adit dan Genta.

"Harus di hajar."

"Aku tahan sebelah kanan, kau bagian kiri Dimas."

"Siap, laksanakan."

Mata keduanya memancar sebuah tatapan balas dendam yang pekat sekali dan berapi-api.

Raga menatapku tajam, tatapannya masih sama dengan saat pertama kali bertemu.

"Kau habis menangis, ya?" Raga bertanya kepada Nayyara.

Raga kembali menatapku, kami berkontak mata. Dan aku melihat masa depan Raga.

"Apakah ini adil? Tolong siapa saja!"

"Kenapa? Kenapa harus dia yang pergi bukannya aku?!"

Aku melihatnya menangis sejadi-jadinya di tengah reruntuhan bangunan sambil memegang tubuh seorang gadis remaja yang entah siapa. Wajahnya hanya terlihat samar tak jelas.

Aku lupa memberitahu kalian. Kemampuan melihat masa depanku ini—aku hanya bisa melihat masa depan seseorang sekilas saja, alias dalam hitungan detik hingga paling lama 1 menit.

"Kenapa kau membuat Nayyara menangis, dasar siala–" Raga berhenti marah. Dia melihat Nayyara yang berada di sampingku menunjukkan sesuatu yang tidak aku sadari.

"Begitu rupanya."

"Baiklah, kalo begitu, aku izin pamit."

Raga melangkah menuju pintu atap sekolah, menyusul Nara dan Dimas yang berhasil menangkap empat sekawan absurd. Mereka berempat sudah pasrah.

"Sandy, ingatlah ini. Apa yang kau miliki tanpa kau sadari, sebaik mungkin jagalah hal tersebut sambil kau harus mengingatnya."

Sosok kumpulan remaja akhirnya menghilang sepenuhnya di balik gelapnya tangga ke bawah dari atap sekolah.

"Bukannya tadi dia ingin marah kepadaku? Apa yang terjadi sebenarnya?" aku bertanya kepada Nayyara.

"Bukan apa-apa kok. Apa kataku, Raga bukan seperti yang dibicarakan banyak orang." Nayyara melangkah meninggalkanku. Namun berhenti sejenak.

"Sandy?"

"Apa?"

"Jika kamu ada waktu senggang, bisakah kamu datang ke acara memasakku tiga hari dari sekarang?"

"Tentu saja." jawabku singkat.

"Memang kenapa?"

"Aku cuman ingin pamer serta menunjukkan bahwa aku memang chef terkenal yang kamu tebak." Nayyara tersenyum kepadaku lantas pergi meninggalkanku.

Aku mulai memikirkan banyak hal sekarang. Kejadian di masa depan yang aku lihat dari tiga orang berbeda dengan nasib menyedihkan membuatku bertanya-tanya apa maksud sebenarnya.

Hari ini cukup rumit. Masa depan, kelakuan empat sekawan absurd, Nayyara yang sulit ditebak bahkan bertemu murid genius. Ini benar-benar Bukan Sekolah Biasa.

1
Vian Nara
menarik
sang kekacauan
lanjut
sang kekacauan
kalau 80 berapa ro aku mulai aktif membaca kembali
sang kekacauan
nggak konsisten
Vian Nara: Maaf ya, karena sulit untuk konsisten bagi saya karena saya mengidap penyakit mental yang di mana lamuna sedikit saja sudah membuat cerita yang baru serta kompleks jadinya sulit /Frown/
sekali lagi mohon maaf
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!