Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Sampai di apartemen aku langsung masuk ke dalam kamar. Tidak tidur, aku hanya memilih beristirahat sebentar. Setelah itu aku harus mengambil sikap dengan semua ini. Apa lagi Oma Melati yang tidak akan tinggal diam. Oma Melati hanya memintaku menjadi anak angkat Pak Arga, dia mungkin juga tidak tahu jika Pak Arga melakukan ini.
Cepat atau lambat, Oma Melati pasti akan mengatakan hal sebenarnya pada Pak Arga. Aku akan menjadi tersangka dalam hal ini, padahal aku belum menemukan jawaban yang aku cari.
Pintu kamar terbuka. Mada masuk dengan segelas teh aroma. Aku duduk, tidak mengatakan apapun hanya menerima teh yang dibuat oleh Mada untukku. Dia benar-benar berada di sisiku, meski aku dalam titik terendah saat ini.
"Kenapa kau menikahiku?"
Entah pertanyaan dari mana, tapi aku akhirnya bertanya hal itu pada Mada.
"Kau tahu alasanku, janji ibuku dan ibumu. Selebihnya, kau akan tahu suatu saat nanti."
"Apa karena cinta?"
"Mungkin itu salah satunya."
Aku tidak mendapat jawaban yang pasti. Hal ini membuat diriku sendiri ragu apa cinta itu benar nyata atau hanya karena kita masih bersama.
"Heera. Jangan pikirkan hal yang tidak-tidak. Aku sudah berjanji akan selalu di sisimu, dan hal itu akan aku tepati."
"Terima kasih."
Suara gaduh terdengar dari lantai bawah. Aku yang baru saja menyesap teh aroma itu langsung menoleh pada Mada. Ternyata Mada juga tidak tahu keributan apa yang sedang terjadi.
Kami turun. Ternyata Leona yang tengah sibuk dengan semua barang belanjaannya. Bukan satu atau dua, melainkan sangat banyak. Kegaduhan itu terjadi karena ada salah satu barang yang salah di bawakan. Aku tidak mengatakan apapun dan memilih duduk mengamati.
"Ada apa ini?" tanya Mada.
"Butik kecil di sisi kafe salah membawakan aku baju."
"Kamu tinggal kembali dan menukarnya, apa susahnya."
"Kak Mada. Aku lelah setelah seharian pergi. Bagaimana jika kau yang mengambilkannya?" Leona memegang tangan Mada dengan manja. Mungkin dia lupa saat ini ada aku yang tengah melihat tingkahnya itu.
"Aku tidak bisa. Kamu bisa pergi sendiri."
Wajah kecewa langsung terlihat. Dengan senyuman aneh Leona mendekat padaku. Aku tahu, saat ini dia tengah mencoba bersandiwara agar aku mau melakukan apa yang dia mau. Sayangnya, aku tidak akan melakukan apapun untuknya meski dia memohon. Atau, aku akan mempermainkannya lebih dulu.
"Kamu bisa membantuku, kan? Aku sangat lelah, apa lagi nanti malam ada acara amal yang harus aku hadiri."
Mada menatap padaku. Aku tahu, dia ingin aku membantu wanita di depanku ini. Padahal jelas Mada tahu aku tidak menyukainya.
"Apa yang akan kau berikan jika aku membantumu?"
Aku tidak menyangka jika hariku akan semelelahkan ini. Padahal dulu aku bermimpi punya hidup nomal, tenang, dan damai. Semua itu memang hanya mimpi untukku. Mada tidak membenci Leona meski dia mencintaiku, dan aku sadar jika Mada melakukannya atas dasar kasihan dan balas budi.
"Kau mau berapa? Aku akan memberikan uangnya." Mata Leona langsung berbinar, bahkan dia tidak berpikir jika aku bisa menguras hartanya.
"Aku tidak butuh uang," jawabku.
"Lalu?"
"Aku ingin kau pindah dari sini."
Leona langsung menoleh pada Mada. Dengan nada manja dia memanggil Mada dengan sebutan kakak.
"Jika kau tidak mau. Kau bisa meminta kakakmu itu yang mengambil."
Drama lagi, Leona kembali membujuk Mada. Namun tetap saja Mada tidak mau membantunya. Dia mengatakan akan ada rapat online yang tidak bisa dia tinggal. Mungkin Mada berharap aku mau melakukannya.
Dengan rasa kesal Leona akhirnya pergi sendiri. Sementara Mada menerima sebuah telfon. Jika boleh menebak, mungkin itu adalah orang tua Leona. Apa lagi Mada terdengar sangat sopan saat memanggil namanya.
Aku masih duduk di tempat yang sama saat Mada kembali mendekat padaku.
"Lain kali kamu harus bantu Leona," kata Mada.
"Harus?"
"Ya. Leona mengadukan perlakuanmu pada orang tuanya." Mada terlihat tidak tenang saat mengatakannya.
"Mada. Kamu sendiri yang mengatakan agar aku menjaga rumah tangga ini. Namun, alasan balas budimu pada orang tua Leona mengharuskan aku mengalah padanya."
Mada menghela nafas panjang.
"Aku tidak peduli kau memiliki hutang budi macam apa pada keluarga Rana. Namun, aku harap kamu tahu aku tidak akan mengalah pada wanita yang jelas-jelas menginjak harga diriku."
Mada memang tidak mengatakan apapun lagi, tapi aku sudah terlanjur kecewa dengan apa yang dia katakan. Secara tidak langsung, Mada memintaku untuk mau melakukan apapun untuk Si Leona itu.
Dengan hati yang masih diliputi amarah. Aku keluar dari apartemen. Aku tidak memiliki tujuan mau kemana, aku hanya mengikuti langkah kakiku yang terasa begitu menyakitkan ini.
Kini, aku merasakan semua masalah bertumpuk dalam hidupku. Mulai dari keluarga Hilmar dan sekarang rumah tanggaku sendiri. Aku tidak tahu mana yang lebih dulu harus aku selesaikan atau mungkin aku harus menikmati alurnya sampai selesai.
Sebuah kafe di depan taman kecil. Akhirnya aku duduk di sana memesan secangkir kopi. Aku bukan penikmat kopi, tapi kali ini aku ingin menemukan rasa yang berbeda.
"Apa yang harus aku lakukan," lirihku.
Baru juga aku mencoba memikirkan beberapa hal tentang diriku sendiri. Aku melihat hal yang membuat aku kaget tapi hanya bisa diam di tempat.
Seorang wanita yang tengah tertawa bahagia dengan pria di sisinya. Jika dilihat, mungkin umur pria itu masih muda, tapi dia sudah berhasil membuat wanita yang lebih tua darinya jatuh cinta. Aku jadi ingat bagaimana wanita itu mengancamku untuk meninggalkan Mada.
Aku mengambil ponsel, memotret beberapa foto. Bahkan aku mengambil sebuah video, jika ditanya untuk apa. Saat ini aku tidak tahu, tapi ini mungkin berguna nantinya.
"Dunia memang tidak seindah itu," kata seorang pria yang tiba-tiba duduk di depanku.
Aku kaget saat melihat Rian yang duduk. Rumahnya begitu jauh, tidak mungkin jika dia berada di sini tapi jelas jika dia Rian.
"Maaf, kau salah meja."
"Ayolah Heera. Jangan karena perlindungan Mada kau jadi sombong."
Aku diam. Tidak ingin menanggapi apa yang Rian katakan. Aku tahu, jika aku menjawab dia akan semakin bahagia dan merendahkan aku.
"Heera. Jika kau marah padaku, aku maklum tapi tidak seharusnya kau marah pada Seli."
Kini aku tahu arah pembicaraan Rian. Mungkin dia ingin membahas hal saat di mall. Jika bukan karena Mada yang datang, mungkin saat itu aku hanya bisa diam.
"Katakan pada suamimu itu untuk menghentikan apa yang sudah dia lakukan."
"Maaf, suamiku tidak bersalah. Dia membela istrinya, apa kau tidak bertanya pada calon istrimu itu. Kenapa bisa suamiku sampai melakukan hal yang merugikannya?"
"Seli hanya cemburu."
"Aku tidak peduli."
Aku memilih pergi. Niatnya mencari angin segar, tidak tahunya aku mendapatkan udara yang semakin membuat aku sesak. Mau kemana lagi, akhirnya aku memilih untuk kembali ke apartemen.