Niat hati ingin menghilangkan semua masalah dengan masuk ke gemerlap dunia malam, Azka Elza Argantara justru terjebak di dalam masalah yang semakin bertambah rumit dan membingungkan.
Kehilangan kesadaran membuat dirinya harus terbangun di atas ranjang yang sama dengan dosen favoritnya, Aira Velisha Mahadewi
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apakah hubungan mereka akan berubah akibat itu semua? Dan apakah mereka akan semakin bertambah dekat atau justru semakin jauh pada nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20
Suara anak kecil sedang sedikit berteriak terdengar memenuhi bagian dalam sebuah ruangan kamar mewah nan megah, membuat Azka yang masih terlelap di dalam alam mimpi secara perlahan-lahan mulai membuka mata—merasa sangat terganggu olehnya.
Azka berkedip beberapa kali guna menormalkan kembali indera penglihatan yang masihlah sangat buram pada saat ini, sebelum pada akhirnya mengalihkan pandangan ke arah kiri, kala kembali mendengar suara dari anak kecil itu, tetapi bedanya sekarang disertai oleh suara perempuan yang begitu sangat familiar untuknya.
Dari tempatnya berada sekarang, Azka dapat melihat sosok Aira sedang menggendong seorang anak perempuan tepat di samping tempat tidurnya. Ia refleks mengerutkan kening sempurna, sebelum kembali berkedip sambil mengusap-usap pelan kedua matanya—berusaha memastikan bahwa pemandangan yang dirinya lihat itu bukanlah halusinasi semata.
“Sayang … nggak boleh gitu. Papa masih ngantuk karena kemarin pulang malam … Jadi, nggak boleh diganggu … nanti papa sakit, loh,” kata Aira dengan begitu sangat lembut, memberikan elusan di puncak kepala serta mendaratkan beberapa ciuman di kedua pipi anak perempuan itu.
Anak perempuan itu menatap wajah cantik Aira dengan begitu sangat imut, sebelum menganggukkan kepala pelan. “Maaf, Mama … soalnya aku mau main sama papa. Papa, kan, udah janji mau main sama aku kemarin ….”
Aira mengukir senyuman manis saat mendengar hal itu, lantas sedikit memperbaiki posisi anak perempuan itu di dalam gendongannya. “Mama paham, kok … tapi harus sabar, ya … tunggu papa benar-benar bangun dulu … biar papa fresh waktu main sama kamu nanti.”
Anak perempuan itu kembali mengangguk kepala, kali ini dengan disertai sebuah senyuman tipis yang terlihat begitu sangat imut dan menggemaskan, sebelum mengalihkan pandangan ke arah depan—menatap ke arah tempat Azka berada sekarang.
“Mama, Mama … papa udah bangun!” seru anak perempuan itu, saat melihat Azka telah membuka mata.
Aira refleks ikut mengalihkan pandangan ke arah depan, merekahkan senyumannya ketika melihat sosok Azka sudah terbangun dari dalam alam mimpi. “Selamat pagi, Papa.”
Azka refleks terdiam seribu bahasa saat mendengar sapaan itu. Ia berusaha mencerna semua hal yang sedang dirinya alami sekarang ini, sebelum pada akhirnya membuka mata dengan sangat lebar. Ia menatap langit-langit kamar dengan napas tersengal-sengal dan tubuh terasa begitu sangat panas.
Cowok itu menggerakkan tangan kanannya yang sudah mulai bergetar hebat, menatap telapak tangannya beberapa saat, sebelum mengusap pelan wajahnya.
“Cu-cuma mimpi … benar-benar aneh banget,” gumam Azka dengan suara serak khas orang baru bangun dari alam mimpi, sembari berusaha menormalkan kembali sistem kerja tubuhnya yang benar-benar sangat kacau pada saat ini.
Azka masih berusaha menenangkan napasnya yang tersengal-sengal—dadanya naik-turun dengan ritme yang tidak beraturan. Ia memejamkan mata beberapa saat, mencoba menepis bayangan akan mimpi itu, tetapi suara anak perempuan tadi masih terasa menggema di telinga—seakan-akan itu benar-benar sangat nyata.
“Papa ….”
Azka buru-buru kembali membuka mata, memastikan bahwa tidak ada siapa pun di dalam kamarnya selain dirinya sendiri. Hening. Tidak ada suara anak kecil, tidak ada Aira, dan tidak ada siapa pun di sana selain dirinya sendiri.
Cowok itu memegangi keningnya, merasakan sensasi pening yang bergerak dari belakang kepala hingga ke bagian pelipis. Ia memberikan pijatan pelan, sebelum secara perlahan-lahan mulai bangun dari posisi tidurnya, menyandarkan punggung ke headboard kasur untuk menghilangkan semua rasa pusing yang sedang melandanya.
“Mimpi itu … benar-benar kayak kenyataan,” gumam Azka, membiarkan beberapa helai rambut menutupi indera penglihatannya.
Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama, lantaran Azka sesegera mungkin bangun dari atas tempat tidurnya. Ia meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa sedikit kaku serta sakit, sebelum melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Beberapa menit berlalu, pintu ruangan kamar secara perlahan-lahan mulai terbuka, menampilkan sosok Azka keluar dari dalam sana dengan wajah sudah lebih segar daripada sebelumnya.
Azka berjalan menuju rumah kucingnya berada, lantas tanpa sadar mulai mengukir senyuman tipis penuh kebahagiaan saat melihat sosok Pixel mengeong dan mulai berlari ke arahnya. Ia refleks berjongkok, lantas membuka lengannya sedikit—memberikan kode kepada Pixel agar masuk ke dalam pelukannya.
“Sini, Pixel …,” panggil Azka.
Pixel mengeong sekali lagi—kali ini lebih keras daripada sebelumnya—sebelum menerjang kecil ke arah Azka. Tubuh mungilnya langsung memanjat betis sang majikan dan berhenti tepat di pangkuan cowok itu, lantas segera menggulung diri sambil mulai mengeluarkan suara dengkuran halus.
“Astaga … kenapa lucu banget, sih,” gumam Azka, mengusap lembut kepala Pixel—merasakan kehangatan aneh yang ikut menyelinap masuk ke dalam dadanya—sesuatu yang tidak pernah dirinya bayangkan akan bisa ia rasakan dari seekor hewan berukuran kecil itu.
Azka duduk bersandar pada dinding ruangan tengah, membiarkan Pixel tetap mencengkeram kausnya dengan kedua kaki depan.
“Jangan manja gini setiap hari, ya … gue takut ketagihan,” ucap Azka lagi, sembari tanpa sadar mulai terkekeh pelan.
Pixel mendongakkan kepala, menatap wajah tampan Azka, seolah mengerti dengan perkataan cowok itu, sebelum kembali menggulung diri.
Azka menggeleng-gelengkan kepala pelan saat melihat hal itu, tidak tahu harus menertawakan dirinya sendiri atau mengagumi tingkat lucu dari kucing peliharaannya ini.
“Gue mimpi punya anak tadi … rasanya nyata banget … kayak … sulit banget buat dijelasin dengan kata-kata aja,” kata Azka dengan begitu sangat lirih kepada Pixel, nada suaranya hangat, tetapi masih terdengar sisa-sisa kebingungan dari mimpi barusan.
Azka kembali menatap Pixel—lebih lama, tenang, dan anehnya sangat damai—seolah semua rasa pusing, mimpi aneh, dan pertanyaan yang masih menggantung itu menghilang begitu saja tanpa tersisa.
Akan tetapi, itu tidak berlangsung lama, lantaran atensi Azka seketika teralihkan saat tiba-tiba saja mendengar suara bel apartemen miliknya berbunyi. Ia segera bangun dari posisi duduk, dan mulai melangkahkan kaki menuju pintu utama sambil menggendong Pixel dengan penuh ketulusan.
Begitu tiba di pintu utama, Azka secara perlahan-lahan membukanya guna melihat sosok orang yang telah mengunjunginya pada pagi hari ini. Ia menggeleng pelan, saat mendapati kehadiran Livia dan Rhea tepat di depan ruangan pribadinya.
“Ternyata kalian, gue kira siapa,” kata Azka, sembari sedikit memperbaiki posisi Pixel.
Livia mengukir senyuman tipis sambil memperbaiki letak kacamatanya yang sedikit turun, tetapi itu tidak berlangsung lama, karena dirinya refleks mengerutkan kening saat melihat Azka tengah menggendong seekor kucing. “Eh … kucing? Kucing siapa itu, Az?”
Rhea terkekeh pelan sebelum Azka sempat menjawab. “Itu Pixel … kemarin dia resmi jadi anaknya Azka.”
Livia membelalakkan mata saat mendengar hal itu. “Lu dua detik aja tanpa drama hidup baru tuh nggak bisa, ya?”
Azka menggeleng kecil saat mendengar hal itu, memeluk Pixel lebih erat seolah mencari ketenangan dari bulu halus kucing mungil itu. “Udah lah … masuk dulu. Jangan bikin hewan gue kedinginan.”
Rhea dan Livia saling pandang sejenak, sebelum melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan apartemen milik sahabat baik mereka berdua itu.
Sepanjang perjalanan, Rhea dan Livia mengajak Azka untuk mengobrol serta bercanda ria, membuat cowok itu secara perlahan-lahan mulai menghilangkan semua rasa pusing dari mimpi yang pada pagi hari ini telah dialami.