Luna punya segalanya, lalu kehilangan semuanya.
Orion punya segalanya, sampai hidup merenggutnya.
Mereka bertemu di saat terburuk,
tapi mungkin… itu cara semesta memberi harapan baru..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHRESTEA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pressure
Tiga bulan berlalu sejak skandal itu pecah, tapi dampaknya belum berakhir. Apartemen Luna kini terasa semakin kecil setiap harinya terlalu sunyi untuk seseorang yang dulu hidup di tengah sorotan kamera.
Di atas meja, tumpukan surat tagihan menunggu dibuka. Listrik, air, kartu kredit, dan sewa apartemen yang hampir jatuh tempo. Semua tertunda. Setiap amplop seolah bicara hal yang sama: waktumu sudah habis.
Uang di rekening tinggal sedikit. Bahkan tidak tahu cukup sampai kapan uang itu akan bertahan. Beberapa tawaran pekerjaan datang, tapi semuanya bersyarat.
“klarifikasi dulu,” “minta maaf di depan publik,” “buat video permintaan maaf.”
Tapi bagaimana Luna bisa meminta maaf untuk sesuatu yang tidak dia lakukan?
Dia duduk di depan laptop, menatap saldo rekeningnya dengan mata kosong. Dulu, angka di sana membuatnya merasa aman. Sekarang, membuatnya takut.
Telepon berbunyi.
Nama di layar membuat jantungnya menegang Mrs. Blake.
Dia hampir tidak menjawab, tapi akhirnya menekan tombol hijau. Luna tidak mau menghindar karena dia tidak salah.
“Kamu pikir saya bakal diem aja setelah semua ini?” suara di seberang tajam.
“Nyonya Blake, sudah berapa kali saya jelaskan, itu bukan saya. Saya di fitnah. Saya dan tuan Blake tidak ada hubungan apapun."
“Jangan pura-pura, Luna. Semua orang tahu kamu main belakang sama suamiku.”
“Itu tidak benar! Semua itu hasil rekayasa. Aku bahkan sudah memberikan bukti kalau di jam yang sama aku sudah pergi."
“Siapa yang tahu kalau buktimu asli.?” nada wanita itu berubah dingin. “Kau udah mengambil sesuatu yang bukan milikmu. Sekarang aku yang akan ambil milikmu satu per satu.”
Telepon terputus.
Suara itu hilang, tapi ancamannya tetap tinggal.
Luna terdiam lama di sofa, memegangi ponselnya yang bergetar pelan. Rasanya seperti digigit dari semua arah media, gosip, opini, dan kini seseorang yang benar-benar ingin menghancurkannya.
Solace Entertaiment
“Kamu nggak bisa terus kayak gini, Luna.”
Suara itu datang dari Kai, yang datang tanpa pemberitahuan. Ia berdiri di depan pintu ruangannya, menatap Luna yang duduk di sofa kantornya.
“Aku cuma butuh waktu,” jawab Luna pelan.
“Kamu udah diam tiga bulan,” kata Kai. “Kalau kamu terus di sini, mereka nggak akan berhenti nyerang. Media, haters, semua. Mereka cuma nunggu kamu jatuh makin dalam.”
“Terus aku harus apa?”
“Pulang.”
Kata itu keluar begitu saja.Tapi dampaknya seperti batu besar di dada Luna.
“Aku nggak bisa pulang, Kai.”
“Kenapa?”
“Karena nggak ada yang terima aku di sana. Aku disana atau disini sama saja."
Kai menatapnya lama, lalu menarik napas panjang.
“Kalau gitu biar aku yang bantu kamu mulai dari nol di sana. Setidaknya disana tidak akan seberat disini, kamu masih bisa menjelaskan dari awal. Di sini kamu nggak punya apa-apa lagi, Luna. Tapi disana kamu masih bisa berusaha.
Luna menatap jendela. Di luar, hujan turun pelan, membasahi kaca jernih. Suara air jadi satu-satunya hal yang terdengar di ruangan itu.
“Aku takut,” bisiknya.
Kai berjalan mendekat, menunduk sejajar dengannya.
“Aku tahu. Tapi kadang, satu-satunya cara buat bertahan adalah berhenti bersembunyi.”
“Dan kalau di sana aku tetap nggak diterima?”
“Setidaknya kamu mencoba.”
Malam itu, Luna berdiri di depan koper yang setengah terbuka. Ia tidak tahu apakah sedang bersiap untuk kembali, atau hanya pura-pura bisa melakukannya. Tapi untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, ia punya harapan kecil.