Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KINGSGUARDS : IKAEDA' FINAL BATTLE
Setelah pertarungan yang menguras tenaga, panitia gladiator segera menghampiri Ikaeda. "Selamat atas kemenanganmu! Apakah kau ingin langsung lanjut ke babak final, atau istirahat sebentar?" tanya panitia itu dengan senyum yang sedikit terlalu lebar. Ikaeda, yang sebenarnya sudah kelelahan, segera menjawab, "Aku perlu istirahat." Namun, panitia itu tidak memedulikan jawabannya. "Sayang sekali! Pertarungan harus segera lanjut ke babak final! Penonton tidak sabar!" putus panitia itu sepihak, nadanya terdengar memaksa. Ikaeda terkejut karena tidak diberi pilihan. Tidak bisa berbuat apa-apa, ia pasrah. Saat beranjak menuju posisi tunggunya, Ikaeda melepas jubah Kingsguards-nya dan melemparnya ke arah Imo yang duduk di bangku penonton.
Imo menangkap jubah itu. Ia tidak berkata apa-apa, wajahnya mengeras karena ia tahu Ikaeda sudah muak dengan pemaksaan dan keanehan di arena ini. Ariel, yang berada di sebelahnya, hanya bisa keheranan. "Ada apa? Kenapa dia lempar jubahnya? Mereka tidak memberinya istirahat?" tanya Ariel. Imo menggeleng, matanya tidak lepas dari Ikaeda. "Mereka memaksanya, Ariel. Mereka tahu dia bisa menang, dan mereka tidak mau membuang waktu. Ikaeda tidak suka dipaksa."
Pertarungan terakhir pun dimulai. Kali ini, Ikaeda menghadapi lawan yang berbeda; petarung itu tidak begitu beringas seperti sebelumnya, melainkan lebih defensif dan hati-hati. Ikaeda bisa membaca situasinya. Ia memutuskan untuk mengatur tenaganya sedikit demi sedikit, bergerak dengan efisien. "Bagus, dia tidak bertarung seceroboh tadi," komentar Ariel, lega. Imo Fargan menimpali, "Dia hanya ingin ini cepat selesai. Lawan ini adalah rintangan, bukan tantangan."
Ikaeda memang terlihat ingin menyelesaikan segalanya secepatnya. Dengan mudah, ia mendaratkan serangan yang akurat di badan lawannya. Setiap tebasan dan dorongan dilakukan dengan intensitas yang terukur, tanpa memberikan kesempatan sedikit pun bagi lawannya untuk bangkit. Gerakannya yang tenang dan presisi membuat lawannya kewalahan. Akhirnya, dengan dorongan pelan yang hanya melucuti senjata, Ikaeda berhasil mengalahkan lawan terakhirnya dengan cepat.
Begitu Ikaeda dinyatakan sebagai pemenang, Imo dan Ariel segera bertepuk tangan dan bersorak keras. "Itu baru gaya 'Death Prince' yang efisien!" seru Imo, bangga. Ariel hanya mengangguk, "Syukurlah, dia tidak perlu terluka lagi." Setelah penyerahan hadiah yang formal, Ariel, Imo, dan Ikaeda secara bersamaan merasakan sesuatu yang aneh. Rasa dingin dan berat menyelimuti alun-alun. Mereka melihat sekeliling, dan terkejut melihat semua orang, termasuk penonton dan panitia, mengeluarkan aura kegelapan yang samar.
Mereka bertiga segera bersiap untuk menyerang, insting prajurit mereka bangkit. Tiba-tiba, sang penyelenggara turnamen di podium di tengah arena menampakkan wujud aslinya, kulitnya berubah menjadi biru kehitaman, telinganya meruncing tajam. Ia adalah Darkelf Xorain. "Aku mengenali nama Xorain!" gumam Ikaeda, matanya menyipit penuh pengakuan-Xorain adalah orang yang dulu pernah ia perjuangkan sebelum ia bergabung dengan Kingsguards. Imo juga mengenali wanita itu dan tanpa ragu bergegas menuju arena, bergabung dengan Ikaeda. Ariel, yang kebingungan dengan situasi yang tiba-tiba berubah, segera menyusul mereka.
"Apakah ini semua ulahmu, Xorain?" tanya Ikaeda, suaranya tenang namun mengandung ancaman yang dingin. Darkelf Xorain tertawa sinis, suara tawa lembutnya menusuk. "Tentu saja, Ikaeda. Gladiator hanyalah pertunjukan kecil untuk memanen energi. Senang melihatmu bergabung dalam permainan ini," jawabnya dengan nada lembut namun sangat mengintimidasi. Imo tiba di samping Ikaeda, pedangnya terhunus. "Aku tidak tahu misi ini termasuk mengalahkan Darkelf! Tapi aku siap!" Ariel mengambil posisi di belakang mereka, busurnya siap terentang. Ia hanya terdiam, menatap tajam ke arah Xorain, lalu berkata tegas, "Jangan lengah, Ikaeda. Jangan biarkan provokasinya memengaruhimu."
Mendengar nama Xorain dan pengakuannya bahwa semua ini adalah ulahnya, ketenangan Ikaeda yang selama ini ia pertahankan seketika runtuh. Wajahnya yang datar berubah, urat-urat menegang di pelipisnya. Ikaeda yang awalnya terlihat tenang kini terlihat kesal dan emosi, matanya memancarkan amarah yang terpendam. Imo Fargan, yang mengetahui beberapa detail mengerikan dari masa lalu Ikaeda sebelum Kingsguards, hanya terdiam, tahu bahwa Xorain telah menyentuh luka lama temannya. Ia hanya bisa mengencangkan cengkeramannya pada pedangnya, siap bertindak.
Tawa sinis Xorain berubah menjadi seringai dingin. Dalam sekejap mata, ia tiba-tiba berada di belakang mereka bertiga, kecepatan darkelf itu hampir tidak tertangkap indra manusia. Ariel dan Imo terkejut, mencoba berbalik dan menyerang, namun ada kekuatan yang menahan mereka. Mereka tidak bisa bergerak, terikat oleh sihir atau aura kegelapan Xorain. Xorain mendekat ke Ikaeda, jari-jarinya yang panjang dan dingin mengelus wajah Ikaeda dengan kelembutan yang menjijikkan.
"Oh, Ikaeda," bisik Xorain, suaranya mengandung melodi yang mematikan. "Andai saja saat itu kau mau menuruti kemauanku, menyerahkan kekuatan besarmu pada ambisi kita... mungkin sekarang kita sudah menguasai seluruh Benua ini, dan kau akan menjadi Pangeran Kegelapan yang sesungguhnya." Sentuhan itu dan provokasi itu merobek pertahanan emosi Ikaeda.
Dengan raungan teredam, Ikaeda mencoba menebas Xorain dengan pedangnya, gerakan itu cepat dan brutal. Namun, Xorain hanya tertawa lagi. Ia menghilang dengan cepat dari belakang Ikaeda dan muncul kembali di hadapan mereka, berdiri beberapa langkah jauhnya, aman dari tebasan pedang Ikaeda. Frustrasi terlihat jelas di wajah Ikaeda.
Melihat Ikaeda yang mulai tenggelam dalam amarahnya, Ariel tahu ini adalah waktunya untuk campur tangan. Ia tidak akan membiarkan ketua timnya dikendalikan. Ariel yang sudah kesal karena tidak bisa bergerak, kini berhasil melepaskan sedikit ikatannya dan mengambil alih komando. "Aku tidak tahu apa yang terjadi antara kau dan wanita aneh di hadapan kita ini, Ikaeda, tapi aku tidak akan membiarkan malapetaka ini menyebar sampai ke wilayah utama!" seru Ariel dengan tegas.
Ariel menatap Ikaeda, mencoba menariknya keluar dari kenangan buruk. "Sadar, Ketua! Kita punya misi, dan lawan kita ada di depan mata. Bersiaplah bertarung!" Imo, yang sejak tadi sudah waspada, kini berhasil menggerakkan tangannya dan menepuk bahu Ikaeda dengan kuat, memberikan dukungan fisik yang dibutuhkan Ikaeda. "Ariel benar, Kawan. Fokus pada apa yang di depanmu, lupakan apa yang di belakangmu. Kita ada di sini bersamamu," bisik Imo. Ikaeda memejamkan mata sebentar, mengambil napas, dan mengangguk. Amarahnya masih ada, tetapi sekarang telah terfokus menjadi tekad baja. Ia mengambil kuda-kuda dan bersiap bertarung.
Setelah ketegangan yang merusak, waktu untuk berdiskusi telah berakhir. Dengan teriakan perang yang terpendam, Ikaeda maju ke depan. Pertarungan dimulai di tengah debu arena yang kini diselimuti aura kegelapan. Ikaeda, dengan kemarahan yang terkendali, melancarkan serangkaian tebasan pedang yang cepat dan mematikan. Pedangnya berkelebat dalam bayangan, memaksa Xorain untuk fokus pada pertahanan.
Xorain dengan lincah menghindar, hanya sesekali mengaktifkan perisai sihir gelap. Tepat saat Ikaeda mundur selangkah untuk menarik napas, Imo Fargan segera berotasi masuk ke garis depan. Pedang Imo, meskipun tidak sebrutal milik Ikaeda, memiliki presisi seorang petualang ulung. Mereka secara bergantian menyerang Xorain, menciptakan dinding baja dan gerakan yang konstan, tidak memberikan celah sedikit pun bagi Darkelf itu untuk melancarkan serangan balasan.
Meskipun diserang bertubi-tubi, Xorain sama sekali tidak terlihat terdesak. Ia sibuk menahan dan menyerang kembali, senyumnya tidak pernah pudar. "Sungguh menyedihkan melihatmu membuang bakatmu pada mainan seperti ini, Ikaeda!" Xorain tertawa nyaring, suaranya meremehkan. "Kalian berdua terlalu mudah ditebak! Hanya mengandalkan kekuatan mentah Kingsguards. Di mana kebrutalanmu yang dulu, Pangeran Kematian?" ejek Xorain, sambil meluncurkan bola energi gelap kecil yang berhasil dihindari Ikaeda dan Imo.
Namun, Xorain terlalu fokus pada pertempuran di depannya. Tepat saat ia mengalihkan perhatiannya untuk mengejek Ikaeda, Ariel bergerak. Ia tidak menggunakan busurnya. Sebaliknya, ia muncul dengan cepat dari belakang, memanfaatkan celah di pertahanan Xorain yang dibuat oleh Imo dan Ikaeda. Ariel melancarkan pukulan dan tendangan yang bertubi-tubi, menyerang titik-titik vital di tubuh Darkelf itu dengan ketangkasan yang mengejutkan.
Setiap pukulan Ariel mendarat dengan kekuatan yang tak terduga, didorong oleh amarahnya karena telah dipermainkan. "Tutup mulutmu, Dasar Penyihir Aneh! Kami bukan mainanmu!" teriak Ariel, mencaci maki Xorain di sela-sela serangan tangannya. "Aku tidak peduli kau siapa, tapi kau tidak akan menggunakan teman-temanku sebagai umpan!"
Serangan mereka-pedang Ikaeda yang dingin dan mematikan, pedang Imo yang gesit, dan pukulan mendadak Ariel yang penuh amarah-berkombinasi dengan sangat baik. Xorain akhirnya dipaksa mundur, tawa sinisnya hilang, digantikan oleh ekspresi terkejut dan sedikit rasa sakit. Untuk pertama kalinya, Darkelf itu menyadari bahwa trio yang tampak aneh ini jauh lebih berbahaya dari yang ia perkirakan.
Kombinasi serangan yang tak terduga dan mematikan dari trio Kingsguards itu akhirnya membuahkan hasil. Serangan bertubi-tubi dari Ikaeda, Imo, dan Ariel berhasil menembus pertahanan Xorain. Dengan raungan frustrasi, Xorain terdesak dan terpuruk ke tanah, sihir kegelapannya buyar. Ini adalah momen yang ditunggu Ikaeda. Amarahnya yang selama ini tertahan, yang telah diprovokasi sejak lama, kini meledak.
Ikaeda berjalan cepat mendekat, ekspresinya kosong namun dipenuhi niat brutal yang mengerikan. Ia sama sekali mengabaikan Imo dan Ariel. Mencengkeram kuat rambut Xorain, ia menjambak kepala Darkelf itu ke belakang, memaksanya menatap langit-langit arena yang berdebu. Tanpa ragu, Ikaeda kemudian memukul wajah Xorain dengan gagang pedangnya-satu, dua, tiga kali-setiap pukulan menghasilkan suara benturan yang tumpul dan kejam.
Xorain tersentak, darah gelap merembes dari hidungnya. Sebelum Darkelf itu sempat bereaksi, Ikaeda melancarkan serangan yang lebih brutal. Ia menusuk tenggorokan Xorain dengan ujung pedangnya, mengakhiri ancaman suara Darkelf itu. Ikaeda tidak berhenti di situ. Dengan brutal, ia menusuk badan Xorain bertubi-tubi, pedangnya menghujam berulang kali ke dada dan perut Darkelf itu.
Di tengah aksi kebrutalan yang mengerikan itu, kata-kata yang mengandung kekecewaan mendalam akhirnya keluar dari mulut Ikaeda, setiap tusukan seolah mewakili rasa sakit batinnya. "Kenapa, Xorain?" desis Ikaeda, suaranya parau dan penuh penderitaan. "Kenapa kau mengkhianatiku? Kita bisa melakukan banyak hal baik! Kau tahu itu! Kenapa kau harus mengejar kekuatan kegelapan sialan ini?! Kenapa kau meninggalkanku sendirian... setelah semua yang kita perjuangkan?"
Aura yang dipancarkan Ikaeda saat itu adalah aura "Death Prince" yang sesungguhnya-brutal, dingin, dan diliputi kesedihan yang gelap. Melihat pemandangan mengerikan itu, Imo dan Ariel hanya bisa terdiam, terpaku di tempat mereka berdiri. Mereka belum pernah melihat Ikaeda yang sebrutal ini sejak ia bergabung dengan Kingsguards. Itu adalah Ikaeda yang tak terkendali, Ikaeda yang dihancurkan oleh pengkhianatan.
Imo memejamkan mata, memalingkan wajahnya. "Aku... aku tidak tahu harus bilang apa," gumamnya, suaranya tercekat. Ariel, yang masih terkejut, perlahan meletakkan busurnya. "Kita harus menghentikannya," bisik Ariel, meskipun kakinya terasa berat untuk melangkah maju, menyadari bahwa tusukan yang dilakukan Ikaeda adalah puncak dari rasa sakit yang telah lama terpendam.
Setelah kebrutalan yang memilukan, Ikaeda akhirnya berhenti. Ia membuang jasad Xorain ke tanah yang berdebu, melepaskan pedangnya yang berlumuran darah. Ia memundurkan langkah, lalu berteriak dengan tangis yang penuh kepedihan dan amarah-tangisan yang datang dari inti jiwanya yang telah lama ia tekan. Itu adalah suara kekecewaan, pengkhianatan, dan rasa sakit yang mendalam.
Saat Ikaeda terpuruk dalam momen kehancurannya, Ariel bergerak cepat. Ia tahu bahwa Ikaeda bukan lagi prajurit yang harus ia pimpin, melainkan 'adik' yang harus ia selamatkan. Ariel menarik Ikaeda dari belakang dan memeluknya erat, memaksanya untuk menenangkan diri. Kata-kata Ariel yang lembut sebagai kakak kini terpancar. "Sudah cukup, Ikaeda. Sudah selesai. Dia sudah pergi. Kau tidak sendirian," bisik Ariel, suaranya sarat akan empati, membiarkan Ikaeda menumpahkan segala yang ia rasakan.
Dalam pelukan hangat Ariel, Ikaeda yang dikenal sebagai "Death Prince" akhirnya menyerah pada sisi manusianya. Ia menangis sejadi-jadinya, bahunya bergetar hebat. Itu adalah tangisan pelepasan, tangisan yang membasuh dosa masa lalu, dan rasa sakit karena ditinggalkan oleh orang yang pernah ia percayai.
Setelah Ikaeda perlahan tenang, Imo berjalan mendekat ke jasad Xorain. Dengan pisau kecil, ia mengambil sebuah batu kristal Darkelf dari kalung Xorain. "Setidaknya ini bukan pertarungan yang sia-sia," gumam Imo. "Ini adalah bukti mengalahkan salah satu pengikut Darkelf kelas atas. Profesor Liini pasti bisa menggunakan ini untuk penelitian sihirnya."
Imo kemudian menatap Ikaeda. Ikaeda kini berada di sisi yang jauh, ia hanya terdiam membelakangi Ariel dan Imo, memandangi kerumunan yang masih terbius.
Tepat pada saat itu, keanehan yang mereka rasakan selama ini akhirnya terpecahkan. Secara tiba-tiba, ilusi kota menghilang. Dinding-dinding dan bangku penonton lenyap, hiruk pikuk suara berubah menjadi keheningan hutan yang familier. Mereka sedari tadi berada di hutan, di sebuah lapangan terbuka. Tubuh-tubuh yang semula adalah penonton gladiator kini tergeletak kaku, hanyalah sisa-sisa energi Darkelf yang menguasai mereka.
Ariel kini mengambil alih komando, kembali ke peran awalnya sebagai seorang prajurit yang pragmatis. "Ayo. Kita tidak bisa tinggal lebih lama lagi di sini," ujar Ariel tegas. "Kita harus kembali ke Niflheim dan menemui Ayunda untuk melaporkan apa yang terjadi."
Ikaeda berjalan paling belakang, tatapannya kosong, menyerap apa yang baru saja ia lakukan. Sementara Imo berjalan bersama Ariel, memegang tas kecil berisi kristal Darkelf dan beberapa material lain, menyadari bahwa perjalanan mereka baru saja menjadi sangat rumit.
Setibanya mereka di Niflheim, Ariel dan Imo segera menuju kantor Kingsguards untuk memberikan laporan langsung kepada Ayunda. Ikaeda menolak ikut masuk. Ia hanya duduk di kursi tunggu kayu di koridor, termenung, pedangnya tergeletak di sampingnya. Di dalam kantor, Ariel dengan lugas menceritakan seluruh kejadian, mulai dari gladiator aneh, firasat Ikaeda, hingga identitas Xorain dan kebrutalan Ikaeda di akhir. Imo mendampingi dan menguatkan setiap detail yang diceritakan Ariel.
Setelah penjelasan yang panjang dan serius itu berakhir, Ayunda keluar dari kantor. Langkahnya tegas, namun ia tidak menghampiri Imo dan Ariel yang masih berdiri tejak, melainkan langsung menuju Ikaeda yang duduk termangu. Ayunda berhenti tepat di depan Ikaeda. "Kerja bagus, Ikaeda," ujar Ayunda, suaranya tenang. "Kau berhasil mengungkap ancaman Darkelf sebelum menyebar. Meskipun caranya... sedikit berlebihan."
Ayunda menghela napas, lalu melanjutkan, "Namun, mengenai babak akhir pertarunganmu, Araya Yuki Yamada, Sang Pemimpin Benua, telah mengeluarkan perintah." Ikaeda mengangkat kepalanya sedikit.
"Mulai besok, kau dibebastugaskan dari segala kewajiban Kingsguards untuk sementara waktu. Ini adalah perintah langsung dari Araya," kata Ayunda, tanpa memberikan detail lebih lanjut. Ikaeda terkejut, namun tidak membantah. Ayunda menepuk bahu Ikaeda singkat, sebuah isyarat apresiasi yang langka, sebelum pamit pergi.
Tak lama kemudian, Ariel dan Imo berjalan mendekat ke Ikaeda. Imo mengambil tempat di samping Ikaeda, ekspresinya dipenuhi kekhawatiran. "Hei, santai saja.
Araya melakukan ini pasti karena mengkhawatirkanmu," Imo berusaha menyemangati sahabatnya. Sementara itu, Ariel berdiri di belakang Ikaeda dan dengan lembut mengelus kepala Ikaeda, layaknya seorang kakak yang menenangkan adiknya. Sentuhan itu membawa kehangatan yang dibutuhkan Ikaeda.
Ikaeda menundukkan kepalanya, suaranya pelan dan serak. "Aku... aku punya permintaan," ucapnya. Ia menoleh sedikit, menatap Imo dan Ariel. "Tolong, jangan panggil aku 'Death Prince' lagi. Aku... Aku sangat membenci julukan itu. Setelah semua yang terjadi... aku tidak ingin menjadi orang itu lagi." Imo hanya terdiam, memahami beratnya permintaan itu. Ariel terus mengelus kepala Ikaeda sebagai jawaban, tidak perlu ada kata-kata. Keheningan itu adalah janji.
.
.
.
.
Keesokan harinya, Ikaeda menghabiskan waktu di rumah yang tenang milik ibu angkatnya. Ia menuruni tangga rumahnya yang hangat dan sederhana ketika ia mendengar suara yang familiar. Evelia, sang ibu angkat, memanggilnya dari ruang tamu. "Ikaeda, Nak, turunlah! Ada Araya yang ingin menemuimu," panggil Evelia. Ikaeda terhenti sejenak, wajahnya menunjukkan sedikit keheranan. Pemimpin Benua datang menemuinya di rumah? Ikaeda pun segera melangkah turun, tahu bahwa kunjungan ini pasti berkaitan dengan apa yang baru saja terjadi di arena gladiator.