NovelToon NovelToon
Darah Di Tanah Hujan

Darah Di Tanah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Roh Supernatural
Popularitas:400
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.

Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.

Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.

Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:

“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”

Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.

Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4 — Nyai yang Menatap Hujan

Rendra meninggalkan Dimas di belakang Sumur Tua. Meskipun takut, Dimas telah menunjukkan kepadanya celah sempit di antara akar pohon Waringin raksasa, sebuah lubang yang ditutupi oleh tanah liat dan lumut, tempat yang Dimas sebut sebagai kuburan rahasia bagi para penentang. Rendra tahu, ia harus kembali ke sana di malam hari, saat kegelapan memberinya kesempatan untuk menggali kebenaran.

Namun, sebelum menggali tanah, Rendra harus menggali jiwa desa. Ia harus menemui orang yang dihormati dan ditakuti oleh penduduk desa: Nyai Melati.

Berdasarkan petunjuk Dimas, rumah Nyai Melati terletak di batas luar desa, dekat tebing yang menghadap langsung ke lautan kabut abadi. Jaraknya lumayan jauh, dan Rendra harus berjalan kaki, menembus rintik hujan yang konstan.

Jalan menuju rumah Nyai Melati adalah jalan setapak berbatu yang diselimuti lumut. Atmosfer di sini terasa lebih mencekam daripada di tengah desa. Pohon-pohon di sini tampak lebih tua, lebih bengkok, dan akar-akarnya menjalar di atas tanah seperti urat nadi raksasa yang sakit. Hujan terasa lebih dingin, dan bau besi bercampur dengan aroma aneh: aroma manis yang memabukkan dari bunga melati kering.

Akhirnya, Rendra tiba di depan sebuah gubuk kecil yang terbuat dari kayu yang paling usang, terletak di antara dua tebing yang curam. Gubuk itu tampak seolah-olah ditahan oleh kemauan keras semata. Di sekelilingnya, tumbuh perdu-perdu aneh yang bunganya berwarna ungu pucat dan mengeluarkan bau yang kuat.

Hal pertama yang Rendra lihat adalah teras gubuk yang ditumpuk dengan botol-botol kaca yang penuh dengan air hujan. Botol-botol itu berjajar rapi, dari yang bening hingga yang keruh kemerahan. Di samping tumpukan botol, tergantung untaian bunga melati yang telah kering, hampir berwarna cokelat.

Rendra ragu-ragu di depan pintu yang tertutup. Udara di sini terasa sangat padat, seperti ada dinding tak kasat mata yang terbuat dari energi spiritual. Ia mengangkat tangan, tetapi sebelum sempat mengetuk, pintu itu berderit terbuka dengan sendirinya.

“Masuk, Nak. Aku sudah menunggumu.”

Suara itu lembut, namun dalam, seperti suara senar biola tua yang ditarik pelan. Suara yang penuh kebijaksanaan dan, yang lebih mengganggu, pengetahuan.

Rendra melangkah masuk. Interior gubuk itu remang-remang, hanya diterangi oleh beberapa lampu minyak yang redup. Lantainya adalah tanah yang dipadatkan, dan di tengah ruangan, ada perapian kecil tempat bara api menyala. Bau di dalam adalah perpaduan antara asap kayu, melati kering, dan sedikit bau rempah yang tajam.

Di tengah ruangan, duduklah Nyai Melati.

Usianya tak tertebak. Wajahnya halus, tanpa kerutan, tetapi matanya—terutama mata kanannya yang menatap Rendra—terlihat seolah-olah telah menyaksikan pergantian era. Ia mengenakan kain batik cokelat tua yang melilit tubuhnya dan selendang tenun yang tergantung di bahunya.

Ciri khasnya adalah kain hitam yang menutupi mata kirinya. Kain itu terlihat sangat bersih dan rapi, seperti plester yang menutupi luka yang sangat sensitif.

Nyai Melati tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. “Silakan duduk, Nak Rendra. Fotografer yang mencari saudarinya. Dan mencari hantu dari masa lalu ayahnya.”

Rendra tertegun. Ia belum mengucapkan sepatah kata pun. Ia duduk di bangku kayu kecil yang telah disiapkan di hadapannya.

“Bagaimana… bagaimana Anda tahu tentang ayah saya?”

“Di Waringin, Nak,” Nyai Melati mengambil napas panjang, mengeluarkan aroma melati yang kuat, “air bukan satu-satunya yang turun dari langit. Rahasia juga ikut turun. Dan aku… aku mendengarkan hujan.”

Nyai Melati mengalihkan pandangannya dari Rendra, menatap lurus ke arah jendela kecil tempat hujan sedang menetes. Ia berbicara seolah sedang berdialog dengan air.

“Adikmu, Rani. Gadis yang terlalu berani. Dia tidak puas hanya dengan legenda. Dia ingin membuktikan bahwa Yang Basah adalah kebenaran historis, bukan sekadar mitos. Dia mendekati batas. Batas antara yang hidup dan yang haus.”

“Di mana dia sekarang?” Rendra bertanya, suaranya tercekat. “Apakah dia diculik? Atau dia…”

Nyai Melati menghela napas, menunjuk ke botol-botol air hujan yang berjajar di teras.

“Air hujan di Waringin mengandung memori. Memori ratusan tahun. Dari setiap tangisan, setiap pengkhianatan. Dan setiap tetes darah yang pernah jatuh ke tanah ini. Rani terlalu dekat dengan memori itu.”

Ia memajukan tubuhnya sedikit. Mata kanannya, mata yang menatap Rendra, tampak memancarkan kesedihan.

“Adikmu masih di sini, Nak Rendra. Tapi dia bukan lagi manusia sepenuhnya.”

Kalimat itu memukul Rendra. “Apa maksud Anda? Dia menjadi korban?”

“Dia menjadi perantara.” Nyai Melati berbisik, memejamkan mata kanannya sejenak. “Jiwa Yang Basah—gadis yang dikorbankan, Laras—terlalu lama terperangkap di air dingin. Ia membutuhkan mata yang baru, telinga yang baru, dan mulut yang bisa berbicara. Rani, dengan idealisme dan rasa ingin tahunya, adalah bejana yang sempurna.”

Nyai Melati meraih sesuatu di sampingnya: sebuah mangkuk tanah liat kecil berisi air hujan yang baru. Air di dalamnya tampak sedikit keruh. Ia meletakkannya di antara mereka.

“Dulu, akulah yang memanggil Yang Basah,” Nyai Melati mengaku, pengakuannya dingin dan penuh kepastian, tidak ada sedikitpun penyesalan di nadanya. “Aku adalah penjaga ritual lama. Ketika kekeringan mencekik, aku yang menyuruh para tetua melakukan pengorbanan Laras. Karena, mata kiriku ini…”

Ia menyentuh kain hitam yang menutup matanya.

“…pernah melihat masa depan yang mengerikan. Melihat seluruh desa mati kehausan, sebelum Yang Basah menuntut darah.”

“Jadi Anda mengakui kejahatan itu?”

“Itu bukan kejahatan, Nak. Itu adalah pertukaran. Tapi mereka—Pak Darmo dan para tetua lain—mereka curang. Mereka membunuh lebih banyak orang dari yang seharusnya. Mereka membunuh orang-orang yang menentang, mengubur mereka di tempat rahasia, takut Yang Basah akan marah karena ritual mereka yang kotor.”

Rendra merasakan firasat buruk yang mengerikan, terhubung dengan apa yang dikatakan Dimas tentang kuburan rahasia di bawah akar pohon Waringin.

“Ayah saya… apakah dia tahu tentang pembantaian massal itu?”

Nyai Melati mengambil setangkai melati kering dari laci kayu kecil. Ia memecahnya menjadi serpihan kecil di atas mangkuk berisi air hujan.

“Ayahmu adalah orang luar yang menyaksikan dosa asli desa ini. Ia memotretnya, bukan? Ia mencoba mengungkap pengkhianatan di balik pengorbanan suci. Tapi dia terlalu takut. Dia kabur, membawa rahasia itu, meninggalkan jejak darahnya di sini—jejak yang sekarang dicari oleh putrinya.”

Nyai Melati kemudian menatap Rendra dengan intens, ekspresinya berubah menjadi peringatan yang tajam.

“Kau telah memotret Yang Basah di sumur, bukan? Dia tahu kau mencoba mencuri esensinya. Dia mengirimkan peringatan padamu.”

Rendra merasakan bulu kuduknya meremang. Bagaimana ia tahu?

“Peringatan apa?”

Nyai Melati menunjuk ke arah jendela, di mana rintik hujan masih turun. Rendra melihatnya: di antara rintik-rintik, ada beberapa butir air yang lebih gelap, hampir berwarna karat.

“Jangan pernah keluar saat hujan berubah jadi merah,” Nyai Melati mengulang persis kata-kata yang diucapkan Dimas, tetapi dengan nada yang jauh lebih berat. “Karena itu tanda bahwa Yang Basah sedang mencari tubuh baru. Tubuh yang kuat. Dan kali ini, ia mengincar tubuhmu, Nak Rendra. Untuk menggantikan kelemahan Rani.”

Nyai Melati kemudian meraih tasbih kayu yang terbuat dari akar pohon kecil, sama seperti yang dimiliki Pak Darmo. Tasbih itu terasa hangat di tangannya.

“Ambil ini,” katanya, menyerahkan tasbih itu. “Ini tidak akan melindungimu. Ini hanya akan menuntunmu. Kembali ke sumur tua. Kembali ke lubang rahasia di bawah pohon. Darah yang kau cari ada di sana. Dan adikmu… dia menunggu di sana.”

Saat Rendra mengambil tasbih itu, ia merasakan getaran dingin dari kayu tersebut, seperti energi listrik yang basah.

“Tapi Yang Basah… apa yang sebenarnya dia inginkan?”

“Dia tidak haus darah, Nak,” jawab Nyai Melati, kini menatap Rendra dengan mata yang terasa benar-benar melihat jiwanya. “Dia haus pengakuan. Dia ingin dunia tahu, bahwa di bawah hujan abadi ini, ada kebohongan yang terbuat dari darah ratusan korban yang tidak bersalah.”

Tiba-tiba, suara di luar gubuk berubah drastis. Deru hujan menjadi gila, seolah ribuan selang air tumpah sekaligus. Suara itu begitu keras hingga terasa memekakkan.

Rendra menoleh ke jendela, dan jantungnya serasa berhenti.

Hujan yang turun bukan lagi rintik air biasa. Cairannya tebal, gelap, dan benar-benar berwarna merah pekat—seperti cat yang dicampur darah.

Nyai Melati bangkit dengan gerakan yang cepat dan tiba-tiba. Wajahnya yang tenang kini dipenuhi dengan kepanikan yang tersembunyi.

“Cepat, Nak Rendra! Sekarang!” Nyai Melati berteriak, suaranya menembus deru hujan merah. “Ini bukan pertanda. Ini serangan! Dia tahu kau bersamaku! Sembunyi!”

Nyai Melati meraih tangan Rendra, menariknya dengan kekuatan yang mengejutkan menuju pintu belakang gubuk.

“Dia sudah bangun! Pergi ke lubang rahasia itu! Sebelum dia menemukanmu dan hujan ini mencuci semua jejakmu!”

Tepat saat mereka mencapai pintu, terdengar suara retakan keras dari pintu depan—kayu yang menahan ambang pintu tiba-tiba melengkung ke dalam, seolah didorong oleh tekanan air yang tak tertahankan.

Rendra merasakan aroma besi yang kini menjadi bau amis yang menusuk, membuat matanya perih dan tenggorokannya sakit. Ia melesat keluar dari pintu belakang, meninggalkan Nyai Melati yang berbalik, menghadapi pintu depan dengan tenang namun penuh ketegasan.

“Aku sudah pernah melihat yang lebih buruk darimu, Yang Basah!” teriak Nyai Melati, suaranya kini terdengar seperti mantra yang penuh kuasa.

Rendra tidak menoleh. Ia berlari, terhuyung-huyung di jalan setapak yang kini mengalirkan air berwarna merah pekat, menuju Sumur Tua dan kuburan rahasia. Tasbih kayu di tangannya terasa berat, dan ia tahu, ia baru saja memasuki babak baru dalam horor ini.

Hujan merah yang membasahi Desa Waringin adalah darah para korban yang bangkit, dan ia, Rendra Adyatma, adalah target berikutnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!