“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27 ~ Dia suamiku bukan milikmu
Awalnya Meutia heran saat membuka mata mendengar suara tangisan di dalam kamar mandi. Perasaannya langsung tidak enak, dirinya bergegas beranjak. Mengambil hijab instan disebelah nakas dan lalu memakainya.
Dia dekati pintu kamar mandi, tidak mengetuk melainkan menempelkan telinga mencoba mencuri dengar racauan buah hatinya.
“Itu Ayahku, bukan papa mu! Seenaknya saja kau memanggilnya, memeluknya. Aku saja sudah belasan bulan tak lagi di dekap Ayah Ikram! Siapa kalian, hah?!”
Dari luar terdengar suara air keran mengucur deras. Jantung Meutia mulai bergedup kencang. Ikram, satu nama yang berhasil membuka seribu kenangan – setiap rasa ada, dari manis berganti pahit. Bahagia berakhir derita serta tangis berkepanjangan.
Intan sengaja membesarkan nyala air, agar suaranya teredam dan tidak sampai keluar. Takut kalau-kalau ibunya terbangun dan memergoki nya.
Tadi, sewaktu masuk ke dalam kamar – dia melihat sang ibu masih tertidur. Sementara ruangan sebelah, ada neneknya sedang sholat, maka dari itu dirinya masuk ke dalam kamar mandi ini.
“Ayah, Intan tak suka bila Ayah memandang wanita itu! Sungguh tak suka!”
Meutia tidak tahan lagi, perasaannya kian kacau. Dirinya mendengar jelas apa yang dikatakan Intan.
Tak!
Tak!
“Intan, buka pintunya Nak!” Telapak tangannya sampai terasa pedas, dikarenakan terlalu kuat memukul pintu.
"Mamak!” Intan terkejut bukan main, lalu menggigit bibirnya. Dia menyadari telah kelepasan menangis serta meracau.
Tidak ada pilihan lain selain memutar handle pintu yang otomatis terkunci dan terbuka dari dalam.
Meutia menatap penampilan Intan, pakaian basah, kerudung tanggal, wajah pucat dan mata memerah. Jelas putrinya sudah lama menangis.
“Katakan apa yang tadi kau ucapkan di dalam kamar mandi, Intan?” Kedua bahu gadis kecilnya diguncang lembut.
Nadanya naik satu oktaf, antara percaya dan kesal, tidak sabaran. “Tolong cepat katakan, Nak! Apa benar kau melihat ayah Ikram? Di mana? Dengan siapa dia?!”
Pintu kamar hotel Meutia dibuka. Dhien, Wahyuni, Nur Amala, dan Nirma, masuk. Langsung disuguhi pekikan kecil Meutia, dan melihat Intan terisak-isak.
Mereka saling pandang, mulut terkatup rapat. Nirma menutup pelan daun pintu, agar tidak ada orang lain yang mendengar.
Meutia menuntut jawaban, kesabarannya mulai menipis. Sementara gemuruh dada semakin terasa bak angin ribut. “Tolong jawab Mamak, Intan!”
Melihat sang ibu menangis, mencengkram sedikit kuat bahunya. Intan menelan air liur, dia mengangguk. Kemudian menceritakan apa yang dilihatnya dipantai, dan sudah pula mengatakan kepada para ayah.
Sejenak Meutia terdiam, air mata menganak sungai, lalu dirinya berdiri tegak, meminta kepada sang kakak mengurus Intan.
Sementara dirinya ingin memastikan sesuatu. Ada banyak tanya membutuhkan jawaban, rasanya dia ingin memberi perhitungan baik pada suaminya dan wanita itu kalau memang benar mereka sepasang suami istri.
Dhien mengikuti Meutia, menyamai langkah wanita berjalan tergesa-gesa. “Redam emosimu, Tia! Kita harus memastikan dulu! Kalaupun benar, aku rasa ada yang tak beres dengan semua ini!”
Tangan Meutia berpegangan pada railing tangga, dia menarik napas panjang dan mulai beristighfar dalam hati.
.
.
Wahyuni memeluk tubuh basah Intan, membawa masuk sang keponakan ke dalam kamar mandi, dan membantunya membersihkan diri.
Sang tante sama sekali tidak mengatakan apapun, tindakannya sangat lembut menyabuni dan memandikan dirinya.
Nirma dan Nur Amala keluar dari dalam kamar. Mereka memiliki tugas lain yakni, menjaga para anak kecil jangan sampai melihat kejadian yang mungkin dapat menimbulkan kehebohan, kebingungan.
Sementara itu di lantai bawah, seorang pelayan pria mengatakan kepada Meutia saat ditanya, kalau melihat juragan Byakta di area parkir mobil.
Dua wanita berpakaian semi syar’i berjalan dengan raut kentara – bingung, cemas, sedih, kesal.
Dhien menarik lengan Meutia, menghindarkan sang sahabat kala hampir menabrak pejalan kaki.
Ibu dari putra dan putri itu tidak bisa berpikir jernih, fokusnya terbagi. Debaran jantungnya tidak lagi beriman melainkan berdebar tidak nyaman.
Langkah kaki terburu-buru seketika melambat. Tidak jauh dari tempatnya berdiri – Meutia melihat sosok pria yang nyaris membuatnya gila sedang dipapah oleh Dzikri Ramadhan.
Rambut yang biasa dipotong rapi, kini terlihat memanjang melewati batas garis rambut. Wajah pucat sang pria berhasil membuat Meutia merasakan sakit pada ulu hati.
Dia paling tidak bisa melihat suaminya sakit. Sebagai seorang istri, Meutia termasuk sosok penuh kasih, penuh perhatian, dan penuh cinta. Pengabdiannya bukan saja teruntuk sang buah hati, pria nya pun mendapatkan tempat teratas untuk dilayani.
Tidak ada keraguan dihatinya. Dia meyakini kalau pria bagian celana dan kaosnya basah itu miliknya, kepunyaan putra-putrinya.
Meutia sedikit berlari, amarahnya menggelegak ketika melihat wanita yang tidak dikenalnya menarik ujung kaos Ikram Rasyid.
Tanpa kata, tak sudi bertanya, dia menarik lengan si wanita sampai berbalik menghadapnya.
Pada saat yang sama, Dhien merebut batita menangis hebat meminta digendong Ikram yang lemas seperti tidak bertenaga.
Tubuh Arinta sedikit oleng, beruntung dia dapat menjaga keseimbangan. Ditatapnya tidak suka pada wanita menatap nyalang padanya. “Siapa kau? Mengapa ikut-ikutan menghalangi aku mempertahankan suamiku?!”
Wajah berurai airmata tersenyum mengejek, memandang rendah. Giginya bergemeretak, hatinya panas dingin. Perasaan bertahun dipendam menyeruak ke permukaan. “DIA SUAMIKU! BUKAN MILIKMU!”
Arinta pun tak lantas gentar, malah menantang. “Kau dan mereka sama saja! Sama-sama pembual. Atas dasar apa dirimu meyakini kalau bang Yunus suamimu?!”
“Oh ….” Kepalanya mengangguk-angguk pelan, ekor mata melihat kalau Ikram sudah dibawa pergi agar cepat mendapatkan pertolongan. “Kau menamainya Yunus? Apa dia suka nama baru itu? Atau dirimu berusaha memanipulasi daya ingatnya?”
Meutia bukan sosok bodoh, melihat Ikram seperti orang tidak mengenali anggota keluarganya sendiri – otaknya langsung bekerja, hati menerka-nerka, dan dia mendapatkan satu jawaban. Kemungkinan besar suaminya amnesia!
Terlebih sewaktu pelayan mengatakan kalau Ikram seperti tidak mengenal juragan Byakta, Agam Siddiq, dan Dzikri Ramadhan. Kebetulan karyawan Nirma sudah lama bekerja disana, dan mengenal anggota keluarga pemilik hotel.
“Diamlah kalau kau ingin digendong Papa,” sebenarnya Dhien enggan mengatakan hal itu, tapi tidak tega melihat anak kecil sesenggukan sementara ibunya sibuk sendiri.
“Aku tanya mana buktinya kalau memang kau istrinya bang Yunus?!” Arinta seperti sengaja membesarkan volume suaranya agar didengar oleh pengunjung.
“Kau mau bukti? Ini salah satu bukti nyata itu!” Kalung dalam baju ditarik keluar, membuka liontin bentuk hati, terdapat foto Ikram Rasyid.
Tubuh Arinta seketika kaku, alarm bahaya seperti berbunyi di kepala. “Bisa jadi itu orang lain. Bukankah di dunia ini setiap insan memiliki tujuh wajah yang mirip? Dan papanya Denis, putra kami – salah satu dari ketujuh rupa itu!”
Meutia mempertahankan sikap elegan, gesture tubuhnya mulai tenang. Dia dapat membaca karakter wanita di depannya. “Lantas bagaimana denganmu, apa buktinya kalau pria yang kau panggil Yunus itu suamimu?”
.
.
Bersambung.
#pembacaesmosi