Nala Purnama Dirgantara, dipaksa menikah dengan Gaza Alindara, seorang Dosen tampan di kampusnya. Semua Nala lakukan, atas permintaan terakhir mendiang Ayahnya, Prabu Dirgantara.
Demi reputasi keluarga, Nala dan Gaza menjalani pernikahan sandiwara. Diluar, Gaza menjadi suami yang penuh cinta. Namun saat di rumah, ia menjadi sosok asing dan tak tersentuh. Cintanya hanya tertuju pada Anggia Purnama Dirgantara, kakak kandung Nala.
Setahun Nala berjuang dalam rumah tangganya yang terasa kosong, hingga ia memutuskan untuk menyerah, Ia meminta berpisah dari Gaza. Apakah Gaza setuju berpisah dan menikah dengan Anggia atau tetap mempertahankan Nala?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon za.zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Gaza Panik
Gaza membaca laporan dari orang kepercayaannya, Nala keluar kampus sekitar pukul sebelas siang tadi dan sekarang sudah pukul satu. Gaza tak mengetahui keberadaan Nala sama sekali. Telepon tak diangkat, bahkan Zanna dan Rey tidak tau keberadaan Nala.
“Sepertinya aku harus bertindak,” ucap Gaza.
Pria itu merapikan kemejanya, ia mengambil kunci mobil dan siap bergegas mencari keberadaan Nala. Menunggu kabar dari orang kepercayaannya sungguh menguji kesabaran Gaza.
Brak!
Pintu terbuka dengan kasar, Surya muncul dengan raut wajah kesal.
“Kenapa gak angkat telponku?” tanya Surya sedikit berteriak.
Gaza bingung, ia melihat telepon genggamnya. Benar saja, beberapa panggilan tak terjawab ada di Surya.
“Aku gak…”
“Nala masuk rumah sakit!” teriak Surya lagi.
“Hah?” Gaza berusaha mencerna informasi yang didapatkan dari Surya.
“Beg*. Nala, istrimu masuk rumah sakit. Barusan aku di telfon oleh Dani.” Surya mengulang ucapannya sembari menikmati setiap kata agar Gaza cepat mengerti.
Surya kehilangan kesabaran, ia menarik lengan.
“Dani?” beo Gaza sembari mengikuti langkah Surya.
Surya berhenti di depan Gaza. “Itu gak penting, sekarang kita ke rumah sakit! Nala pingsan, kondisinya parah,” ujar Surya. Ia terpaksa mengatakan hal itu semua.
Seketika tatapan Gaza kosong, pikirannya tak tenang. Ia tak mampu menggerakkan kakinya saat menyadari bahwa kondisi Nala sangat serius. Ucapan Zanna mengenai Nala yang sedang sakit kembali terulang bagai kaset rusak di telinga Gaza.
“Za!” Surya menepuk pundak Gaza. “Ayo, kita ke rumah sakit. Mendengar kepanikan Dani tadi, sepertinya kondisi Nala cukup serius,” ucap Surya pelan.
Gaza mengangguk, ia melangkah cepat, mengabaikan beberapa dosen dan mahasiswa yang menyapanya. Surya yang tadi menariknya kini kewalahan mengikuti langkah lebar Gaza. Sesampai di parkiran, Gaza kebingungan mencari kunci mobil yang sedari tadi ia genggam, tangannya sedikit bergetar saat berusaha membuka pintu mobil.
“Za…” Surya menahan tangan Gaza. “Aku yang bawa mobil, kamu sedang tidak fokus.”
Gaza menuruti, ia masuk ke dalam mobil dan mencari nama Zanna di kontak teleponnya.
“Halo,” ucap Gaza setelah teleponnya tersambung. “Ke Rumah sakit, Nala masuk IGD.”
Setelah mengucapkan itu, Gaza menutup panggilan telepon tanpa mendengar jawaban dari Zanna.
Surya mulai menjalankan mobil, kali ini jalanan cukup tenang, tak ada kemacetan. Tapi hal itu tetap Membuat Gaza merasa bahwa Surya membawa mobil sangat lambat.
Sesekali, Gaza melirik ke arah Surya, “Cepetan!”
Surya tak menjawab, ia tak mau menuruti perintah Gaza. Walaupun jalanan tenang, tapi mereka harus tetap hati-hati agar selamat sampai tujuan. Tak lucu, jika mereka ke rumah sakit untuk menjadi pasien.
“Dasar gak becus. Bagaimana bisa mereka tidak mendapat info mengenai Nala. Kalau saja aku tau keberadaan Nala, gak mungkin ini terjadi,” sesal Gaza.
“Bisa panik juga,” gumam Surya tapi masih bisa didengar oleh Gaza. “Sudah seperti ini kamu masih gak menyadari perasaanmu. Ini baru pingsan, bukan kecelakaan yang harus…”
“Stop!” Gaza memotong ucapan Surya. “Jangan pernah menyuruh aku memikirkan sesuatu yang tidak terjadi.”
“Aku hanya mau kamu cepat sadar,” lanjut Surya, ia bahkan mengabaikan tatapan protes milik Gaza.
Gaza memejamkan matanya, ia berusaha menyingkirkan bayangan buruk di pikirannya. Perasaan takut kehilangan mulai ia rasakan, apa lagi ucapan aneh Nala kepada Anggia pagi tadi.
“Gak!” Gaza menggeleng, ia tak mau membenarkan semua pikiran buruknya.
Setelah setengah jam perjalanan. Mobil Gaza terparkir di parkiran rumah sakit. Pria itu tak menunggu sahabatnya, ia berlari menuju ruang gawat darurat.
Dari kejauhan Gaza bisa melihat seorang pria dengan kemeja hitam terlihat duduk sembari memainkan telepon genggamnya.
“Dani?” gumam Gaza. “Dani Atmaja!” ujarnya pasti.
Ia menepis semua pikiran buruknya, ia tau siapa Dani Atmaja apa pekerjaannya. Tapi kenapa bisa Nala bersama dengannya? Semua pertanyaan itu menggantung di pikiran Gaza.
“Dani…” panggilnya.
Pria yang mendengar namanya dipanggil segera mendongak. Ia menatap Gaza yang berusaha mengatur nafasnya.
“Istrimu ada di dalam!” Dani menunjuk arah pintu ruang gawat darurat.
“Kamu…”
“Jangan tanya sekarang, temui dulu istrimu. Tadi juga dokter ingin bertemu pihak keluarga, tapi karena Ibu Nala bukan keluargaku, jadi… silahkan Pak Gaza menemui dokter.” Dani kembali mencela ucapan Gaza dan meminta pria itu menemui Nala.
Gaza menuruti, ia memasuki ruang gawat darurat. Bau disinfektan segera menusuk hidungnya. Suasana cukup ramai, beberapa pasien berbaring sambil merintih. Gaza sesekali mengedarkan pandangan dengan harapan mengetahui posis istrinya. Tak menemui Nala, ia langsung menuju meja perawat yang terlihat sibuk.
“Maaf Pak, mencari siapa?” tanya seorang perawat.
“Istri saya, Nala Purnama. Tadi dia pingsan dan dibawa ke sini.” jawan Gaza cepat.
“Oh… Ibu Nala. Ada di ruangan observasi sebelah sana.” Perawat menunjuk ruangan tak jauh darinya. “Dokter baru saja masuk ke sana, akan dilakukan pengambilan darah.”
“Apa saya boleh kesana?” tanya Gaza memastikan.
“Silahkan, Dokter juga ingin berbicara dengan keluarga untuk mengetahui apa saja yang dikonsumsi atau riwayat alergi, pasien.”
Gaza melangkah dengan cepat, setelah mengucapkan terima kasih. Ia memasuki bilik observasi, di sana ada dokter dan perawat yang baru saja selesai mengambil darah.
Nala sudah sadar, wajahnya pucat dan tangannya masih mencengkram erat perutnya. Gaza mendekat ke arah Nala, ia menarik tangan Nala ke dalam genggamannya.
“Sayang…” panggil Gaza lirih.
“Sakit, Mas,” lirih Nala pelan.
Gaza hanya mengangguk, ia mengusap wajah Nala yang berkeringat. Ia melirik ke arah Dokter dan perawat yang sedang berdiskusi dengan perawat di sampingnya.
“Dok, bagaimana keadaan istri saya?” tanya Gaza.
Raut wajah Gaza jelas memperlihatkan kekhawatiran, meski ia berusaha tenang. Kerutan di aslinya terlihat jelas menandakan bahwa banyak hal yang dikhawatirkan. Di tambah melihat kondisi Nala saat ini, membuat perasaan Gaza tak tenang sama sekali.
Dokter itu tersenyum. “Perkenalkan saya Dokter Reza. Saya ingin menjelaskan beberapa hal, dari dugaan sementara Ibu Nala menunjukkan gejala keracunan makanan. Cukup serius, karena Ibu Nala mengalami nyeri hebat dan juga demam. Kita observasi sembari menunggu hasil tes darahnya. Sebentar lagi kita akan memasukkan obat anti nyeri dan penurun demam.”
“Baik Dokter, terima kasih. tolong berikan yang terbaik,” ucap Gaza lagi.
“Baik Pak, mungkin bisa dibantu, apa saya yang dimakan oleh Ibu Nala kemarin dan apakah Ibu Nala mempunyai riwayat alergi?” tanya Dokter Reza.
Gaza diam, ia melirik ke arah Nala. Kemarin apa yang perempuan itu makan? Gaza sama sekali tidak tahu.
“Tadi malam…” Nala menjawab sembari menahan nyeri.
Gaza semalam Nala mengkonsumsi ayam yang masih mentah.
“Semalam kami bakar ayam. Sepertinya tidak masak sempurna.” Gaza membantu Nala menjelaskan kepada dokter.
“Baik, sepertinya ini memang benar keracunan makanan, akan kita lihat hasil lab darahnya untuk lebih memastikan.Setelah hasil darah keluar, kita akan pindah ke ruang perawatan. Silahkan Pak Gaza mengurus administrasinya.”
Gaza melirik ke arah Nala, genggaman tangan istrinya semakin erat.
“Aku aja yang urus, Za. Kamu temani Nala.” Anggia yang baru saja datang segera menahan Gaza agar tetap menemani Gaza.
“Kak…” lirih Nala, tangannya menjulur berusaha meraih Anggia.
Anggia mendekat, ia mengelus kepala Nala dengan lembut. “Gak apa-apa, sebentar disuntikkan obat, tidak akan sakit lagi.”
“Maaf…” bisik Nala.
“Hust…” Anggia menarik diri, ia melepas pegangan tangan Nala dari lengannya.”Dari pagi minta maaf terus, kamu cuman keracunan makana bukan mau meninggal.” Anggia kesal bukan main, ucapan Nala pagi tadi sudah mengusiknya seharian ditambah sekarang kondisi Nala seperti ini, tentu saja membuat Anggia terus berpikir buruk.
Anggia berusaha menutupi rasa khawatirnya, ia bahkan meninggalkan pasiennya di poli saat mendengar keberadaan Nala di IGD.
Nala kembali meringsi perih, ia menatap Anggia dan tersenyum tipis. “Sana keluar, aku baik-baik saja,” usir Nala.
“Za, titip Nala. Aku mau mengurus administrasinya dulu biar bisa pindah ke ruang perawatan.”
Gaza mengangguk, ia terus menatap wajah Nala, meski sedang kesakitan ia berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan kakaknya.
“Dokter Reza, terima kasih sudah membantu Nala.” Anggia yang tadinya berniat keluar, seketika menghentikan langkahnya saat ia melihat seniornya di sana.
“Sudah kewajiban saya.” Reza menjawab sambil tersenyum.
Seorang perawat masuk dengan membawa beberapa obat-obatan yang akan disuntikkan kepada Nala.
“Saya suntikan melalui selang infus ya, Bu.” Suara perawat itu dibuat selembut mungkin agar pasien tetap merasa tenang.
“Tolong pelan-pelan,” ucap Gaza khawatir.
Anggia memperhatikan semuanya, bagaimana Gaza memperhatikan Nala dan ucapan penenang yang terus keluar dari bibirnya. Siapapun pasti tidak akan menyangka bahwa pernikahan keduanya berawal dari perjodohan.