Cinta seharusnya menyembuhkan, bukan mengurung. Namun bagi seorang bos mafia ini, cinta berarti memiliki sepenuhnya— tanpa ruang untuk lari, tanpa jeda untuk bernapas.
Dalam genggaman bos mafia yang berkuasa, obsesi berubah menjadi candu, dan cinta menjadi kutukan yang manis.
Ketika dunia gelap bersinggungan dengan rasa yang tak semestinya, batas antara cinta dan penjara pun mengabur.
Ia menginginkan segalanya— termasuk hati yang bukan miliknya. Dan bagi pria sepertinya, kehilangan bukan pilihan. Hanya ada dua kemungkinan dalam prinsip hidupnya yaitu menjadi miliknya atau mati.
_Obsesi Bos Mafia_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 : Ini Adalah Kesalahan
Ciuman mereka semakin dalam, memainkan lidah dan saling menghisap bibir masing-masing. Hulya melenguh di tengah ciuman tersebut, Marchel semakin bersemangat untuk mencumbuinya.
Dengan perlahan, Marchel memasuki mobil masih dalam posisi memangku Hulya, pintu mobil dia tutup dan semakin leluasa untuk menyentuh mantan istrinya tersebut.
Desahan Hulya semakin terdengar ketika lidah hangat Marchel terus bergerilya di leher putihnya, jari lentik itu menyisiri helaian rambut Marchel dan meremas rambut itu saat Marchel menyesap kuat leher dan dagunya.
Wajah mereka kini begitu dekat, Marchel mau pun Hulya sama-sama diliputi rasa rindu dan keinginan lebih dalam akan sentuhan ini. Marchel juga merasa kalau libidonya naik ketika mencumbu dan menyentuh Hulya sekarang.
Hulya menangkup wajah Marchel, kembali melumat bibir tegas itu dan kembali terbuai dalam ciuman mereka. Tangan Marchel mengusap lembut pinggang Hulya lalu terus ke atas hingga punggung wanitanya.
"Aku menginginkan dirimu Hulya, aku sangat merindukan kamu," bisik Marchel di telinga Hulya sembari mencium dan menjilati telinga sensitif itu.
Hulya terpaku, dia menjauhkan wajahnya dari Marchel, tersadar akan apa yang telah dia lakukan.
"Kita tidak boleh melakukan hal ini Marchel, kita bukan suami istri lagi," tolak Hulya, dia langsung pindah duduk ke bangku penumpang di samping Marchel.
Pria itu tampak kecewa dengan penolakan Hulya, tapi dia cukup tahu diri untuk tidak akan memaksakan kehendaknya pada Hulya sekarang.
"Aku benar-benar merindukanmu, apa kamu tidak merindukan aku?" Hulya menatap Marchel lalu menunduk dan mencoba untuk melawan hatinya sendiri.
"Aku juga merindukanmu tapi..." Marchel menarik tengkuk Hulya dan membungkam mulut Hulya dengan mulutnya, memaksakan lidahnya masuk ke dalam mulut itu dan membelit lidah Hulya.
Tak ada lagi yang bisa dipertahankan, Marchel mematikan lampu di dalam mobilnya dan meraba lebih intens lagi tubuh Hulya. Perlahan, pakaian mereka terlepas satu per satu hingga keduanya full naked.
Marchel terus menciumi Hulya dan merendahkan sandaran kursi membuat Hulya setengah tertidur. Mereka melakukan hubungan suami istri di dalam mobil tersebut.
Marchel memeluk tubuh Hulya setelah mendapatkan pelepasannya, detak jantungnya bisa dirasakan oleh Hulya karena tubuh naked-nya Marchel berada di atas punggungnya.
"Ini salah, kita melakukan kesalahan, Marchel," kata Hulya sambil mengatur pernapasannya.
"Aku tidak pernah merasa ini kesalahan jika aku melakukannya denganmu, jangan katakan ini kesalahan lagi," jawab Marchel lalu menciumi pundak dan tengkuk Hulya.
"Kita pulang ya," ajak Marchel Hulya hanya mengangguk.
Mereka kembali mengenakan pakaian lalu melesat pergi dari tempat itu.
Sepanjang perjalanan, tak ada yang memulai percakapan satu sama lain, mereka sama-sama larut dalam pemikiran masing-masing, mencerna hal yang barusan mereka lakukan.
Itu sudah sangat jauh untuk mereka yang sudah berpisah. Persetubuhan yang seharusnya tidak terjadi, kini membuat Marchel semakin menginginkan Hulya tetap ada di sampingnya.
...***...
Sesampainya di apartemen, mereka satu lift dengan Tifani dan Dexter. Hulya menyapa Dexter dengan lembut lalu tersenyum seperti biasa.
"Kalian dari mana?" tanya Dexter.
"Apotik, kalian sendiri?" tanya Hulya kembali.
"Bukan urusanmu," ketus Tifani pada Hulya, Marchel mengepalkan tangannya namun dengan cepat Hulya menggenggam kepalan tangan Marchel itu.
Seketika emosi Marchel mereda, dia meraih pinggang Hulya agar lebih dekat padanya. Dexter bisa melihat betapa posesif Marchel saat ini.
Mereka sampai di lantai unit dan menuju unit masing-masing. Di dalam apartemen, Marchel menanyakan perihal Dexter pada Hulya.
"Ya kami kenal saat aku minta bantuan padanya memperbaiki lampu," jawab Hulya sambil membuka cardigan yang dia pakai.
"Kalian dekat ya?" Marchel sedikit cemburu ketika Hulya dan Dexter bicara santai seperti tadi.
"Tidak juga, bisa dibilang kami berteman saja. Aku tidur dulu ya, besok aku harus ke butik pagi-pagi, mau mandi juga kan." Marchel menahan Hulya, dengan tatapan tajam dan mengintimidasi.
"Aku tidak suka kamu akrab dengan pria lain Hulya, cukup denganku saja dan jangan dengan pria lain," tekan Marchel, genggaman tangannya di lengan Hulya mulai kuat.
"Lepaskan aku Marchel, kau menyakitiku," ringisnya, Marchel langsung tersadar dan melepaskan genggaman tangannya.
"Maaf, tidurlah." Marchel langsung menuju kamarnya, begitu pula dengan Hulya.
Ketika malam semakin larut, Hulya merasa pegal dan ngilu di bagian kepala serta lengannya, rasanya sangat sakit. Hulya bangun lalu menangis, dia memijat sendiri lengan dan kakinya menggunakan minyak urut yang biasa dia pakai.
"Kenapa masih sakit ya? Biasanya setelah minum obat pereda nyeri, tidak akan sakit lagi," keluh Hulya, dia ingin membangunkan Marchel tapi segan, setelah beberapa saat, dia akhirnya tertidur tapi terbangun lagi karena kepalanya berdenyut.
Hulya memilih keluar dari kamar lalu mengetuk pintu kamar Marchel, pria itu memang belum tidur, dia segera membukakan pintu untuk Hulya.
Tanpa jeda, Hulya langsung memeluk Marchel dan menangis, jika sudah begitu, sikap manja Hulya tidak terkontrol lagi. Marchel membalas pelukan Hulya lalu mengusap lembut kepalanya.
"Apa sakit lagi? Mau aku pijat?" tanya Marchel dengan lembut.
"Aku mau tidur denganmu, apa boleh?" pinta Hulya sembari menangis, Marchel tersenyum, tentu saja dia membolehkan.
"Iya boleh, ayo masuk."
"Di kamarku saja."
"Oke ayo."
Mereka berjalan ke kamar Hulya lalu mengunci pintu kamar tersebut. Marchel terpaku sejenak, melihat foto pernikahan mereka terpajang di kamar itu, lalu beberapa foto kebersamaan mereka berdua tertempel di dinding.
Satu foto Marchel sendiri juga terletak di atas meja rias Hulya. "Sesakit itukah kamu, sayang? Kamu tidak melupakan aku tapi tidak ingin bersama denganku lagi, bagaimana aku bisa menebus dan merebut hatimu kembali?" lirih Marchel dalam hatinya.
"Mana yang sakit?" tanya Marchel setelah Hulya menuntunnya untuk duduk di atas kasur.
"Ini, ini, ini dan ini," kata Hulya sambil menunjuk lengan, kaki, kepala dan punggungnya.
"Berbaringlah, aku akan memijatnya." Hulya berbaring, dia sampai tertidur ketika tangan Marchel terus memijatnya dengan lembut.
Setelah mendingan, Hulya berbaring dengan kepala di atas dada bidang Marchel, mantan suaminya itu memeluk Hulya dengan posesif lalu mencium lembut kening Hulya, menyalurkan rasa rindu yang teramat dalam karena selama ini memang Hulya semanja itu pada Marchel.
Marchel kembali memagut bibir Hulya dan melakukan hubungan itu di atas kasur, kali ini mereka melakukan atas dasar suka sama suka. Marchel melepaskan hasrat yang selama ini tidak tersalurkan, dia berhenti setelah area kewanitaan Hulya sedikit membengkak dan wanita itu benar-benar kelelahan.
Keduanya kini tertidur saling berpelukan, Marchel memeluk Hulya dengan posesif dengan wajah yang dia sembunyikan di ceruk leher Hulya.
Paginya, Hulya menyiapkan sarapan untuk Marchel dan dirinya. Wangi masakan Hulya menggugah Marchel, pria itu keluar dengan wajah khas bangun tidur.
"Kamu mau ke mana? Rapi sekali?" tanya Marchel lalu duduk di kursi meja makan, Hulya memberikan segelas air putih lalu diminum oleh Marchel.
"Mau ke butik, ke mana lagi." Hulya menata sarapannya dan mengoleskan roti dengan selai, dia melayani Marchel seperti biasa, seperti saat dia masih menjadi istri Marchel.
Roti panggang dengan olesan selai manis, serta semangkuk kecil cream soup yang hangat dengan asap yang masih mengepul sempurna.
"Ayo makan, nanti aku akan tinggalkan kartu akses apartemen ini sama kamu, jadi kalau kamu bosan di rumah, kamu bisa main ke butikku."
"Aku memang akan ikut denganmu Hulya, selama aku di sini, ke mana pun kamu pergi, aku akan ikut." Hulya tersenyum seakan tidak mempermasalahkan sikap posesif Marchel.
"Oke."
Mereka menyantap sarapan dengan tenang, Marchel melihat bekas kemerahan di lengan Hulya karena genggaman tangannya semalam.
"Maaf untuk bekas memar di lengan kamu," ucap Marchel, Hulya melirik lengannya.
"Tidak masalah, lagian tidak sakit juga."