"Setelah bertahun-tahun diabaikan dan diperlakukan tidak adil oleh keluarganya sendiri, senja Aurelie Wijaya anak kandung yang terlupakan memutuskan untuk bangkit dan mengambil alih kendali atas hidupnya. Dengan tekad dan semangat yang membara, dia mulai membangun dirinya sendiri dan membuktikan nilai dirinya.
Namun, perjalanan menuju kebangkitan tidaklah mudah. Dia harus menghadapi tantangan dan rintangan yang berat, termasuk perlawanan dari keluarganya sendiri. Apakah dia mampu mengatasi semua itu dan mencapai tujuannya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ariyanteekk09, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 33
"Aku kecewa, Rudy," ucap Sekar, suaranya terdengar lirih namun menusuk. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun ia berusaha untuk tetap tegar. Ia menatap Rudy dengan tatapan yang penuh luka. "Kau mengambil keputusan seenaknya sendiri, tanpa memikirkan perasaan kami. Kau pikir, kami ini apa? Hanya boneka yang bisa kau kendalikan sesukamu?"
Sekar menghapus air matanya dengan punggung tangan. Ia bangkit berdiri, menjauhi Rudy yang masih terpaku di tempat. Ia merasa sangat sakit hati. Selama ini, ia selalu mendukung Rudy dalam setiap keputusan, bahkan ketika keputusan itu merugikannya. Ia selalu berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik. Namun, Rudy justru membalasnya dengan keputusan yang begitu menyakitkan.
"Kau tidak pernah menghargai pendapat kami. Kau selalu menganggap dirimu paling benar. Kau lupa, bahwa keluarga ini bukan hanya tentang kau dan Caca. Kami juga ada di sini, kami juga berhak untuk merasa aman dan nyaman," lanjut Sekar, suaranya mulai meninggi. Emosi yang selama ini ia tahan akhirnya meledak.
Ia menatap ketiga putranya, Galih, Raka, dan Radit, yang berdiri di dekatnya. Ia mengulurkan tangannya, menggenggam tangan mereka satu per satu. "Ayo, Nak. Kita tinggalkan tempat ini. Kita akan membangun keluarga kita sendiri, keluarga yang dipenuhi dengan cinta dan saling menghargai," kata Sekar, suaranya penuh keyakinan. Ia melangkah menuju tangga, diikuti oleh ketiga putranya dan Senja. Mereka meninggalkan Rudy yang masih terdiam di ruang tamu, tenggelam dalam penyesalan dan kesendirian. Rumah yang dulunya dipenuhi dengan tawa dan kebahagiaan, kini terasa sunyi dan sepi. Hanya menyisakan Rudy dan kesalahannya.
Rudy terdiam sejenak, kemudian pandangannya jatuh pada Senja. Ia melihat betapa takut dan bingungnya Senja. Rasa sesal yang amat sangat menusuk hatinya. Ia telah melupakan Senja, anak bungsunya yang paling ia sayangi. Ia telah begitu egois, hanya memikirkan dirinya sendiri dan Caca.
Dengan langkah gontai, Rudy menghampiri Senja. Ia berlutut di hadapan Senja, menatap mata Senja dengan penuh penyesalan.
"Senja," panggil Rudy, suaranya bergetar. "Maafkan Papi, ya? Papi salah. Papi telah membuat keputusan yang bodoh. Papi mohon, jangan tinggalkan Papi. Tetaplah di sini bersama Papi." Air mata mulai menetes di pipi Rudy. Ia sungguh menyesali perbuatannya.
"Papi janji, Papi akan berubah. Papi akan mendengarkan pendapatmu dan kakak-kakakmu. Papi tidak akan pernah lagi mengambil keputusan seenaknya sendiri. Papi akan selalu mempertimbangkan perasaan kalian semua," lanjut Rudy, suaranya semakin bergetar. Ia menggenggam tangan Senja erat-erat, memohon agar Senja mau memaafkannya. Ia sangat takut kehilangan Senja, anak bungsunya yang selalu menjadi penyemangat hidupnya. Kehilangan Senja akan menjadi pukulan yang sangat berat baginya.
" tapi papi akan tetap membawa caca kembali kerumah ini. papi akan membuat kalian berdua akur. " sambung Rudy.
Rudy menatap Senja dengan penuh harap. Ia menunggu jawaban Senja, menunggu maaf dari Senja. Ia tahu, memperbaiki semuanya tidak akan mudah. Namun, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kembali kepercayaan dan kasih sayang keluarganya. Ia harus berjuang untuk mendapatkan kembali keluarganya.
"Maaf, Pi. Aku juga akan pergi dari sini," ucap Senja, suaranya terdengar datar, tanpa sedikitpun nada emosi. Tatapannya lurus, menatap mata Rudy tanpa rasa takut. Ia sudah lelah dengan drama yang terus berulang. Ia tak ingin lagi hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan ancaman.
"Papi tahu kan, Caca lah yang membuat hidupku hancur? Tapi sekarang Papi malah mau ngajak dia ke sini lagi," lanjut Senja, suaranya sedikit meninggi, namun tetap terkendali. Ia tak perlu lagi berteriak atau menunjukkan emosinya. Perkataannya sudah cukup untuk menjelaskan segalanya. Ia sudah lelah berjuang sendirian.
Tanpa menunggu jawaban Rudy, Senja berbalik dan berjalan menuju tangga, menuju kamarnya di lantai atas. Ia akan membereskan baju-bajunya, menyiapkan diri untuk pergi meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan pahit. Ia tak ingin lagi tinggal di tempat yang mengingatkannya pada penderitaan yang telah ia alami.
Galih, Raka, Radit, dan Sekar, ikut menyusul Senja ke atas. Mereka telah mengambil keputusan. Mereka akan pergi bersama-sama, membangun kehidupan baru yang jauh dari pengaruh buruk Caca dan keputusan-keputusan sembrono Rudy. Rumah itu, meskipun penuh kenangan, tak lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi mereka. Mereka memilih untuk pergi, mencari kebahagiaan dan kedamaian di tempat lain.
"Kalian semua akan menyesal karena pergi dari rumah ini!" teriak Rudy, suaranya bergetar menahan amarah. Ia merasa dikhianati oleh keluarganya sendiri. Kehilangan istrinya dan anak-anaknya adalah pukulan yang sangat berat baginya. Ia merasa sendirian, terisolasi dalam kesendiriannya. Rasa sakit hati dan penyesalan bercampur aduk dalam dirinya.
Ia melihat Sekar, Galih, Raka, Radit, dan Senja, berlalu pergi satu per satu, meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempat tinggal mereka. Rumah yang kini terasa begitu hampa dan sunyi. Ia merasa telah kehilangan segalanya.
"Kalian akan menyesal! Kalian akan meminta maaf pada Papi suatu hari nanti!" Rudy terus berteriak, suaranya menggema di rumah yang kini kosong. Ia merasa harus menunjukkan kekuatannya, meskipun di dalam hatinya, ia merasa hancur dan rapuh. Ancamannya terdengar kosong, tak bertenaga. Ia hanya seorang pria yang sendirian, kehilangan keluarganya karena kesalahannya sendiri.
Namun, Sekar, Galih, Raka, Radit, dan Senja, tak menghiraukan ancaman Rudy. Mereka terus melangkah, meninggalkan rumah itu untuk selamanya. Mereka telah membuat keputusan, dan mereka akan teguh pada keputusan itu. Mereka akan membangun kehidupan baru, kehidupan yang lebih baik dan lebih bahagia, jauh dari ancaman dan kesedihan. Mereka telah belajar dari kesalahan, dan mereka tak akan mengulangi kesalahan yang sama. Mereka akan saling melindungi dan menyayangi, membangun keluarga yang kuat dan harmonis. Ancaman Rudy tak akan mampu menggoyahkan tekad mereka.
"Serahkan semua kartu kredit dan kunci mobil kalian! Dan fasilitas lain yang sudah Papi berikan, serahkan semuanya sekarang juga!" bentak Rudy, suaranya bergetar menahan amarah. Ia merasa perlu menunjukkan otoritasnya, meskipun hatinya hancur berkeping-keping. Ia mencoba untuk mengambil kembali kendali atas situasi yang sudah di luar kendalinya. Ia merasa perlu untuk menunjukkan bahwa ia masih berkuasa, meskipun keluarganya telah meninggalkannya.
Namun, suaranya terdengar hampa, tak bertenaga. Ancamannya tak lagi menakutkan, malah terdengar seperti ratapan seorang yang sedang putus asa. Sekar, Galih, Raka, Radit, dan Senja, tak menghiraukannya. Mereka telah memutuskan untuk pergi, dan mereka tak akan kembali lagi. Mereka tak lagi membutuhkan fasilitas yang diberikan Rudy. Mereka akan membangun kehidupan mereka sendiri, dengan usaha dan kerja keras mereka sendiri.
mereka pun menyerah kan semua nya pada Rudy.
Kelima anggota keluarganya itu terus melangkah menjauhi rumah, meninggalkan Rudy sendirian dengan amarahnya yang tak berdaya. Mereka tak menoleh ke belakang, tak peduli dengan ancaman Rudy. Mereka telah melepaskan ikatan yang selama ini mengikat mereka, ikatan yang telah rusak dan tak dapat diperbaiki lagi. Mereka memilih untuk memulai lembaran baru dalam hidup mereka, jauh dari bayang-bayang ketakutan dan ancaman. Mereka akan membangun keluarga yang lebih baik, keluarga yang dipenuhi dengan cinta, kepercayaan, dan saling menghargai. Ancaman Rudy tak akan mampu menggoyahkan tekad mereka. Mereka telah menemukan kekuatan dan kebebasan mereka.
maluuuu gakkk tauuuu chaaaaaa🤣🤣🤣
!!!!