Dari sekian banyak yang hadir dalam hidupmu, apa aku yang paling mundah untuk kau buang? Dari sekian banyak yang datang, apa aku yang paling tidak bisa jadi milikmu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AYU 6
"Dek, kamu janjian sama siapa?"
Gue menoleh saat suara Jihan memenuhi ruangan. Terlebih Ayah dan Bunda yang baru saja menyantap sarapan mereka.
"Ngga ada" gue menggeleng dibarengi menatap Ayah.
"Katanya temen kamu" Jihan kali ini duduk bergabung untuk makan, mengabaikan gue yang justru terburu buru keluar.
Pandangan gue tertuju tepat pada seorang yang berdiri didepan pintu. Pria dengan jaket hitam kebanggannya dan jangan lupa motor ninja merah yang terparkir dihalaman rumah.
"Gib, ngapain?"
Gibran kali ini menoleh saat suara gue terdengar sedikit, bingung?
"Berangkat bareng"
"Tapi lo ga ada ngomong sebelumnya?"
Gibran menggeleng pelan.
"Dek, ajak masuk aja" gue dan Gibran menatap Jihan yang baru saja datang.
Gue memutuskan untuk sedikit memaksa Gibran ikut sarapan. Bahkan sempat beberapa saat lalu pria itu menolak. Namun akhirnya Gibran mengiyakan kemauan gue.
Dalam keadaan ruang makan yang biasanya canggung, justru pria itu sering membuka topik obrolan bersama Ayah terutama Jihan.
Tentang sepak bola, selera musik, atau bahkan hewan peliharaan seperti saat ini.
"Kamu juga pelihara ikan?"
Gibran tersenyum, mungkin ini adalah senyum pertama yang sedekat ini bisa gue lihat dari Gibran. Atau memang sebelumnya pria itu jarang sekali tersenyum?
"Papah yang suka pelihara, aku cuma bagian ngasih makan aja, om"
Aku? Bahkan dia terlihat lucu saat menggunakan kata itu. Jauh berbeda dengan kepribadian Gibran yang dingin.
"Lain kali kamu lihat juga punya om, ikannya udah gendut gendut"
"Tinggal panen aja itu mah" sindir gue di tengah keasikan obrolan mereka. Cemburu? Tentu saja! Bahkan gue jarang punya percakapan secair ini dengan Ayah. Selebihnya Bunda dan Jihan hanya tergelak saja melihat ekspresi wajah gue yang kesal.
"Ikan kayak gitu mah bukan buat dimakan, Dek"
"Terus di tunggu matinya aja, yah?"
"Sudah sudah, sana kamu berangkat, nanti telat" Bunda kali ini menyela.
Bahkan gue baru tau kalau kedinginan dua kutub ini bisa mencair jika saling bertemu. Padahal setau gue, sesama kutub itu justru saling tolak menolak kan?
Setelah percakapan panjang bersama Ayah, sekarang Gibran ada di motor bersama gue. Menikmati udara pagi dengan suara knalpot motor Gibran yang membangunkan seisi komplek.
"Gue ga ada berharap lo bakal kesini lagi, tapi jangan pake motor kaya gini kalo mau kesini"
Gibran sejenak menoleh, sebelum kembali fokus dengan laju motornya yang tak cepat juga tak lambat.
"Kenapa?"
"Knalpot lo brisik!"
Gibran terkekeh. Tapi bukannya menjawab dia justru diam, meneruskan perjalanan tanpa sepatah katapun. Apakahnya energinya sudah habis karena menanggapi Ayah tadi?
Tepat saat memasuki gerbang. Semua mata tertuju pada kita berdua, gue ga akan terkejut karena hal seperti ini sudah biasa terjadi. Bukan pas gue ada di boncengan motor Gibran doang. Tapi siapapun yang sudah dan nanti akan ada di posisi ini juga.
Termasuk Laras, gadis itu bahkan seakan menatap tak suka saat gue dan Gibran melewatinya bersama sahabatnya itu. Sama halnya dengan Gibran yang cuek, gue berusaha untuk itu.
"Gue duluan" gue menyerahkan helm itu sedikit terburu buru saat Gibranpun belum siap untuk turun. Namun setelah melihat Kara masih ada di parkiran dan tatapan orang orang ke gue. Gue lebih memilih untuk segera menghampiri Kara dan pergi dari sini sekarang juga.
"Lo"
Langkah gue terhenti tepat saat dua gadis itu menghadang gue. Siapa lagi kalau bukan Laras dan temannya. Masih dengan tatapan yang tak berubah, gue bisa lihat gimana raut wajah kesal itu.
"Gue kenal Gibran jauh lebih lama dari lo, dia ga ada pernah tuh sifat kaya gini sebelumnya"
"Sifat kaya gini gimana maksud lo?"
"Lo pake pelet apa, Kak?"
"Jaga omongan lo" ucap gue penuh penekanan.
Laras tersenyum miring, "lo pacaran sama Gibran?"
"Ga ada urusannya sama lo" kita bertiga menatap pada sumber suara.
Gue menghela napas pasrah saat Gibran tiba tiba menautkan jemarinya pada jemari gue. Mengabaikan tatapan kaku Laras dan temannya itu.
"Lo bilang gue pantes dapet yang lebih baik dari lo kan? Yang setara!" Ucapan Gibran kali ini sedikit dia tekan di akhir. Membuat gue yang sembari tadi menatap genggaman itu, mendongak melihat Gibran yang masih fokus menatap Laras.
"Semoga bahagia"
Kali ini cuma itu kalimat terakhir yang gue denger dari Laras. Bahkan Gibran menyeret lembut gue buat pergi dari sana, masih dengan tautan tangan yang belum terlepas.
"Gib, lo gapapa?" Gibran selangkah lebih dulu dari gue, jadi gue sedikit menaikkan volume suara gue. Sebelum akhirnya dia berdiri tepat didepan ketiga pria yang entah sudah ada disana sejak kapan.
"Kenapa, Gib? Ga ada yang mau lo tonjok lagi kan?"
Gue kali ini mendongak, mata Gibran memang berair dan sedikit merah, jangan lupa helaan napas panjang itu. Apakah pria itu akan menangis sekarang? Atau justru akan meluapkan emosinya?
Haris dan kedua temannya itu kali ini menatap ke arah genggaman tangan gue dan Gibran. Sebelum kembali mencairkan suasana.
"Ngopi yuk, ngopi!!" Haris berjalan lebih dulu. Disusul Daffa dan jangan lupakaan Abiyan yang masih sesekali mencuri pandang ke arah gue. Gue harap dia ngga ngelaporin ini ke Ayah!
Semoga!
Gue sama Gibran berjalan beriringan, masih dengan tangan yang bergandeng menyusuri lorong menuju kantin. Dibelakang ketiga pria itu, tak peduli dengan banyak pasang mata yang lebih tertarik dengan gue dan Gibran dari pada ketampanan Haris, Daffa, dan Biyan.
Tapi tunggu, dimana Kara?
"Gib"
Berbeda dari beberapa saat lalu, Gibran kali ini menoleh lebih sedikit menunduk menatap gue. Dengan tatapan yang tenang.
"Aman?"
Pria itu mengangguk. Gue bisa merasakan genggaman tangan itu sedikit merenggang. Apa dia baru saja emosi karena bertemu mantan pacarnya yang sudah ketahuan selingkuh?
"Lo lebih suka susu coklat atau putih?"
"Coklat, kenapa?"
"Kalau gue sama Biyan, lo lebih suka gue atau dia?"
Gue menatap punggung Abiyan lantas kembali menatap Gibran.
"Terus apa hubungannya sama susu coklat atau putih, Gib?"
"Sama sama dijadiin perbandingan untuk dipilih"
Gue tergelak, lagian kenapa pria itu tiba tiba menanyakan hal semacam ini? Apakah menurutnya hal sejenis ini penting?
"Jawabannya?"
"Buat saat ini gue emang suka sama Biyan"
"Karena dia anak baik?"
Gue mengangguk pelan, "kata bunda ngga boleh pacaran,"
"Kenapa?"
"Nunggu tamat SMA"
"Sama Biyan?"
Kali ini gue tergelak, menatap Gibran dengan tatapan bingung. Kenapa kaya omongan gue waktu itu sama Bunda? Ga jauh berbeda.
"Memang harus sama Biyan?"
"Kalo sama gue emang lo mau? Gue kan bukan anak baik"
"Gue mah pilih siapa yang mau nunggu gue dan minta restu ke Ayah"
"Kalau ngga ada yang mau?"
"Biar Bunda yang jodohin aja, ngapain bingung?"