"Itu hukuman buat kamu! Jangan sampai kau melanggar lagi aturan sudah yang aku buat. Kalau tidak …." Kalimatnya menggantung.
"Kalau tidak apa, Kak?" tanya Lyana mulai berani.
"Sesuatu yang lebih buruk dari ini akan terjadi." Anggara berlalu dari hadapan Lyana. Aliran darahnya mulai memanas.
"Hah, sesuatu yang buruk? Bahkan kakak sudah mencuri ciuman pertamaku, menyebalkan." Kini giliran Lyana yang marah. Dia membuka dan menutup pintu kamar dengan keras. Sirkuasi udara di dalam kamar seolah berhenti seketika.
"Ciuman Pertama? Hah, pandai sekali dia berbohong."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon My Starlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ngambek lagi
Kicauan burung di pagi hari menyambut dua orang yang masih terlelap di tempat tidur menggeliat. Anggara masih merasakan hangatnya tubuh Lyana, suhunya belum turun karena dia lupa memberikan Lyana obat.
Ketukan pintu kamar, membuat mata Lyana mengerjap menyadarkan diri dengan posisi tanganya sekarang yang sedang menyentuh perut Anggara. Dengan segera tangan itu menyingkir, namun di tarik lagi oleh Anggara.
"10 menit lagi," Anggara mendekap erat Lyana, namun ketukan pintu itu terdengar lagi bebarengan dengan suara Reno.
"Ayah, ini Reno." ucap Reno dari balik pintu.
"Masuklah nak," Lyana menarik diri dari Anggara namun Anggara tetap menguatkan dekapnya.
"Ada Reno Kak," suara Lyana pelan.
"Nggak papa, kamu pura-pura tidur lagi aja," titah Anggara.
Setelah pintu itu terbuka, bukan hanya Reno yang masuk namun Bi Marni juga sambil membawa nampan berisi makanan.
"Maaf Mas, tadi Reno minta ketemu Mbak Ly," ucap Bi Mirna.
"Ayo, kita keluar lagi," imbuh Bi Mirna sambil menarik tangan Reno setelah meletakan nampan di atas meja.
"Nggak apa-apa bi, tolong bikinin aku kopi ya banyakin gulanya dikit. Biar Reno di sini." titah Anggara. Reno mendekat ke pinggir tempat tidur dimana Anggara berada.
"Baik Mas," Bi Marni berlalu meniggalkan Reno bersama Ayah dan Ibu sambungnya itu.
"Nanti minta tolong ke siniin ya Bi," imbuhnya lagi.
"Baik Mas, saya permisi." Pintu kamar itu tertutup lagi, Anggara mengusap lengan Lyana.
"Bangun Ly, Reno nyariin." bisik Anggara.
"Aku akan ngajak Reno ke balkon, kamu pake baju dulu." imbuhnya lagi.
"Hah?" Lyana melongo, apa maksudnya coba. Kemudian begitu Anggara dan Reno pergi ke balkon, dia membuka ujung selimut dan terkejut melihat dirinya yang hanya memakai dalaman.
"Astaga! Semalam aku tidur atau pingsan si." kata Lyana heran.
Semalam memang ketika Lyana tertidur suhu badanya semakin naik, tapi di bangunkan minum obat susah. Jadi Anggara inisiatif melepas baju Lyana memeluknya erat. Supaya suhu badanya cepat turun, dan tidak kedinginan lagi.
Ketukan pintu kembali terdengar usai Lyana memakai baju nya. Lyana membuka pintu dan merima satu gelas kopi dari tangan Bi Marni. Tak lupa juga dia mengucapkan terimakasih sebelum akhirnya ikut menyusul Anggara dan Reno ke balkon.
Kopi di tangan Lyana sudah berpindah ke meja. Tiba-tiba Reno langsung menghambur ke arah Lyana, memeluk perut Lyana.
"Aku mau di rumah aja Ayah sama tante Ly, " rengek Reno.
"Sebentar aja Ren, Ibumu sebentar lagi sampai. Dia juga cuma waktu sebentar kok, nanti Ayah jemput di Mall ya," ucap Anggara meyakinkan anaknya. Pasalnya mantan istrinya itu, Merly, ingin segera bertemu dengan Reno , katanya kangen dan mumpung dia sedang ada di dekat sini. Tapi berbanding kebalik dengan Merly, Reno malah ingin tetap di rumah bersama Lyana.
"Reno nggak mau yah, paling nanti cuma nemenin mama belanja terus makan. Reno males ah, tiap kali ketemu di Mall pasti gitu. Belum lagi kalau Ibu ajak teman-temanya, udah pasti Reno dicuekin." Reno cemberut, menceritakan kebersamaanya dengan sang Ibu. Wajah imut itu berpaling dari Anggara kemudian ngusel lagi di perut Lyana.
"Sayang," Lyana menyentuh bahu Reno, kemudian berjongkok di depan anak sambungnya itu. Kedua mata mereka bertemu.
"Reno bukanya anak pintar? Coba ajak Ibu nonton bioskop, ada film jumbo loh. Reno tahu kan?Atau ajak Ibu main ke timezone, pasti seru." kata Lyana sambil menyunggingkan bibirnya.
"Cantiknya," Anggara bergumam, dia jadi ikut tersenyum. Melihat senyum di wajah Lyana membuat hatinya sedikit bergetar.
"Reno nggak mau tante, Reno nggak mau." tolak Reno..
"Reno harusnya bersyukur, Ibu masih sehat. Reno bisa minta doa apa aja ke Ibu. Coba kalau Reno udah nggak punya Ibu, kaya teman-teman di palestina yang kehilangan dua orang tuanya sekaligus. Reno mau gimana?"
"Reno nggak mau kehilangan orang tua Reno tante," ucap Reno lirih. Lyana berhasil, membuat Reno goyah.
"Kalau gitu, sekarang peluk Ayah, habis itu ikut Ibu ya, jangan jadi anak yang durhaka. Mau bagaimanapun mereka, mereka tetap orang tua Reno."
"Tapi kan tante lagi sakit, Reno juga mau jagain tante." rengek Reno.
"Ah lucunya, anak ini mirip siapa ya?" batin Lyana sambil melirik Anggara.
"Nanti Ayah yang jagain tante Ly, sekarang Reno siap-siap ya." kata Anggara penuh keyakinan.
"Beneran? Ayah nggak marah-marah lagi kan sama tante Ly? Ayah udah nggak jahat lagi kan sama tante Ly?" kali ini Reno menumpahkan ke khawatiranya. Dia bahkan tidak percaya kata-kata Ayahnya sendiri.
"Reno nggak percaya sama Ayah?" tanya Anggara sambil meraih tubuh Reno dalam gendonganya. Anak itu mengangguk.
"Tante Ly sering nangis kalau habis di marahi Ayah." ucapnya lirih ketika sampai ambang pintu.
"Iyakah?" Anggara penasaran.
"Iya," ucap Reno.
*
Matahari mulai terbenam, indahnya senja terlihat gelap di mata Lyana. Sudah tiga jam Lyana menunggu Anggara dan Reno pulang, tapi kenapa masih belum sampai juga. Padahal jarak Mall dengan rumah cuma 20 menit. Harusnya sudah sampai dua jam yang lalu.
Ada perasaan asing yang mengusik hati dan pikiran Lyana sekarang. Entah perasaan apa itu, Lyana tidak tahu. Dia hanya berpikir kalau Reno pasti sedang menikmati kebersamaan yang indah dengan kedua orang tuanya. Walaupun tadi Anggara bilang cuma sebentar, Lyana sebenarnya juga berat hati melepaskan Anggara menjemput Reno tadi.
Lyana mengambil ponselnya lagi di atas nakas, beberpa pesan masuk. Salah satunya dari Anggara, yang mengucapkan permintaan maaf karena pulang terlambat. Barisan kedua ada chat dari nomor baru, yang isinya file foto. Begitu di unduh, File itu terbuka. Foto Merly, Anggara dan Reno sedang bermain di timezone terlihat sangat bahagia.
"Kenapa kebahagiaan mereka membuatku jadi resah begini." ucap Lyana, di zoom satu-satu wajah mereka di layar. Seperti ada yang menusuk di hati Lyana, ketika jarinya berhenti di wajah Merly.
"Cantiknya, kenapa Anggara mau nikah sama Aku ya?Padahal mantan istrinya cantik banget.
"Ah iya, lupa. Kita kan nikahnya .... " ponsel digenggaman Lyana bergetar, panggilan masuk dari Anggara.
"Hallo, Ly aku pulang habis maghrib ya. Kamu mau nitip apa?" tanya Anggara di seberang sana.
"Aku mau Kak Gara pulang sekarang bisa?" tegas Lyana, nada bicaranya cukup tinggi.
"Kenapa? Demamu naik lagi?" Anggara memastikan.
"Ya udah kalau nggak mau pulang sekarang nggak apa-apa kok." panggilan itu terputus. Anggara menatap layar ponselnya bingung. Kemudian dia bergegas menghampiri Reno dan bicara sudah waktunya pulang.
"Tunggu sebentar lagi Ayah, Reno mau cobain game itu dulu." tunjuk Reno pada salah satu outlet permainan paling ujung.
"Oh begitu, ya sudah 10 menit lagi ya," Anggara pasrah, walaupun sekarang kepalanya dipenuhi nama Lyana.
Sementara yang di rumah sedang berdecak kesal, melihat layar ponselnya. Tak ada pesan masuk atau panggilan balik dari Anggara.
"Hah, jangan berharap apapun Ly." Lyana berlalu menuju kamar mandi, menumpahkan semua isi hatinya di bawah guyuran shower.
Rindu yang bersembuyi,
Perasaan tak diakui,
Terkadang hadir saat menanti,
Bukan karena tak di sisi,
Namun bunga yang lain lebih mewangi,
.
.
.
.
.