NovelToon NovelToon
PEDANG GENI

PEDANG GENI

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Balas Dendam / Persahabatan / Raja Tentara/Dewa Perang / Pusaka Ajaib / Ilmu Kanuragan
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Fikri Anja

PEDANG GENI. seorang pemuda yang bernama Ranu baya ingin membasmi iblis di muka bumi ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 20

Tubuhnya yang besar terdorong mundur hingga membentur dinding yang terbuat dari kayu hingga jebol. Kepala desa itu terbatuk dan kemudian memuntahkan darah segar. Matanya berkunang-kunang dan tak berapa lama akhirnya jatuh pingsan.

"Ternyata cuma besar di tubuhnya saja," gumam Ranu.

Dia bergegas masuk ke dalam ruang bawah tanah itu dan melihat ada 7 orang wanita. dan Rata-rata belum genap 20 tahun umurnya. Meskipun remang-remang, namun Ranu bisa melihat dengan jelas jika wajah mereka memang cantik-cantik.

"Kalian sudah aman, keluarlah tidak apa-apa!"

Ranu mendahului keluar dari ruang bawah tanah itu dan menanti mereka di atas. Satu-persatu 7 gadis itu bergantian keluar. Setelah kesemuanya sudah berada di luar ruang bawah tanah, dia menyuruh semua gadis itu keluar dari rumah kepala desa.

Ranu menoleh dan berjalan ke arah tempat kepala desa yang masih pingsan. Setelah itu dia mencari tali untuk mengikat lelaki tersebut.

Tanpa disangka, di luar rumah kepala desa, warga desa itu sudah berjubel dan berdecak kagum ketika melihat puluhan anak buah kepala desa sudah menjadi mayat. Mereka terlihat begitu bahagia dengan kejadian itu. Dan mereka juga menunggu dengan sabar keluarnya pahlawan yang sudah melepaskan mereka dari kezaliman kepala desa.

Suropati yang masih berada di depan rumah itu tak luput dari pertanyaan warga desa terkait sosok Ranu yang sudah membuat mereka terkagum-kagum.

Beberapa saat kemudian, Ranu sudah berjalan keluar sambil membopong tubuh tinggi besar itu di pundaknya dengan ringan. Beberapa lelaki warga desa, berinisiatif untuk mengangkat tubuh kepala desa dan membawanya ke balai desa untuk dihakimi.

"Sekarang kalian sudah aman. Ambillah harta yang ada di di dalam rumah itu dan bagilah dengan rata! Terkhusus untuk mereka bertujuh, berilah bagian lebih banyak karena mereka sudah menjadi korban kepala desa itu!" ucap Ranu menunjuk 7 orang wanita yang sudah diselamatkannya.

"Terima kasih, Pendekar. Jikalau tidak ada Pendekar yang membantu kami, tentunya kami akan selalu di bawah bayang-bayang kekejaman kepala desa itu," kata salah seorang lelaki.

"Tidak usah dipikirkan masalah itu. Tugas kalian menguburkan semua mayat yang ada di sini! Jangan dibiarkan saja karena bangkai mereka bisa menimbulkan penyakit nantinya."

Wanita yang suaminya dibunuh oleh orang suruhan kepala desa, berjalan tergopoh gopoh mendekati anak gadisnya yang sudah selamat. Setelah itu dia mendekati Ranu yang memandangnya dengan haru.

"Terima kasih, Anak Muda. Kau telah membalaskan kematian suamiku dan juga menyelamatkan anak gadisku."

Ranu tersenyum hangat kepada wanita setengah baya itu, "Jangan berterima kasih kepadaku, Bibi. Semua sudah menjadi kehendak Dewata dan aku hanya sebagai perantaranya saja," balas Ranu. Dia kemudian menoleh mencari Suropati yang menunggu tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Mohon maaf semuanya, aku harus melanjutkan perjalanan. Semoga setelah ini tidak ada pemimpin yang zalim seperti kepala desa itu tadi!" lanjutnya.

"Pendekar tidak mau mampir dulu di rumahku?" tanya wanita itu.

"Lain kali saja kalau ada kesempatan, Bi. Aku harus melanjutkan perjalananku!"

Ranu menunduk sebentar memberi hormat, kemudian berjalan menuju Suropati yang menjaga kudanya.

Tatapan semua warga desa itu mengarah kepada Ranu dan Suropati yang sudah memacu kudanya meninggalkan desa tersebut. Dalam benak mereka masih diliputi pertanyaan, siapa pendekar muda yang sudah menjadi pahlawan bagi mereka itu?

Ranu dan Suropati terus memacu kudanya hingga sampai di sebuah pertigaan yang di sampingnya terdapat danau kecil. Mereka berdua berhenti terlebih dahulu untuk memberi minum kuda, dan juga untuk membersihkan diri.

Setelah cukup beristirahat, mereka berdua melanjutkan perjalanan hingga sampai di desa Nupa Bomba yang terletak di kaki gunung.

"Apa kau bisa merasakan di mana pintu gerbang itu?" tanya Ranu kepada Suropati.

"Sebentar!"

Suropati memejamkan matanya untuk mendeteksi keberadaan pintu gerbang menuju kota Wentira. Cukup lama dia terdiam menutup mata, akhirnya senyum kecil mengembang di bibirnya.

"Aku sudah menemukannya. Ayo kita ke sana!" ajak Suropati.

Berdasar yang dilihatnya di mata batinnya, Suropati memacu kudanya pelan memasuki desa itu dan mencari keberadaan tanda-tanda yang sudah di dapatkannya.

"Di sana tempatnya!" Suropati menunjuk sebuah tonggak kecil berwarna kuning yang terpasang sedikit di luar desa Nupa Bomba.

"Kita berpura-pura beristirahat di situ agar tidak menarik perhatian penduduk desa ini!" ucap Ranu.

Mereka duduk di bawah sebuah pohon besar yang berada di samping tonggak kayu itu. Ranu kemudian memasang sikap bersila dan mencoba menggunakan sinar putih yang ada di dahinya sebagai kunci.

Berulang kali dia mencoba, namun tidak terjadi apapun dengan tonggak kuning tersebut. Ranu sampai dibuat bingung karena lelah memutar otaknya.

''Gunakanlah ini sebagai kunci untuk membukanya''Ranu terus mengulang kata-kata Dewa Andrayaksa itu di dalam pikirannya.

"Suropati, apa kau tahu makna, gunakanlah ini sebagai kunci untuk membukanya?"

Ranu mengeluarkan sinar putih kecil dari dalam dahinya dan menunjukkannya kepada Suropati.

Senada dengan Ranu, Suropati pun dibuat bingung dengan apa yang dimaksud.

"Coba kau lepaskan sinar itu di dekat tonggak kuning.

Setidaknya kita harus terus mencobanya!"Ranu mengangguk dan mendekati tonggak kuning itu.

Dia kemudian mendekatkan tangannya yang menggenggam sinar putih itu dan membukanya.Sinar putih kecil itu melayang setinggi dua kali orang dewasa, dan kemudian memancarkan sinar yang terang dan melebar membentuk sebuah pintu gerbang.

Ranu dan Suropati berpandangan sambil tersenyum.

"Aku tidak menyangka hanya seperti itu saja caranya!

Kenapa juga tadi aku sampai mengeluarkan tenaga dalam untuk mencobanya," kata Ranu terkekeh pelan.

"Apa kau sudah siap untuk memasukinya?" tanya Suropati.

Ranu mengangguk dan mengambil napas panjang, sebelum memasuki pintu gerbang itu.

Sesampainya di dalam pintu gerbang, mata mereka berdua dibuat terkesima dengan apa yang dilihatnya.

"Apakah benar yang aku lihat ini?" tanya Ranu berdecak kagum. Pandangan matanya bahkan tidak berkedip untuk beberapa lama. Dia hampir-hampir dibuat tidak percaya ada peradaban manusia semaju ini jika tidak melihat dengan matanya sendiri. Bahkan jika dibandingkan dengan dua kerajaan di alam lain yang pernah didatanginya, dia bisa menilai jika peradaban di depan matanya kali ini lebih maju.

"Kita tidak salah lihat, Ranu, itu seperti sebuah kota yang terbuat dari emas," jawab Suropati.

Senada dengan Ranu, Suropati yang juga panglima perang kerajaan alam lain di gunung Rinjani pun merasa kagum. Jika memang kota Wentira adalah kota yang dikutuk para Dewa karen kepongahan rajanya, bisa jadi kemampuan dan peradaban yang mereka miliki bahkan lebih maju dari pada bangsa jin.

"Nampaknya lawan kita kali ini bukan hanya kuat, tapi juga pandai di ilmu pengetahuan," lanjut Suropati.

Di depan mereka berdua, membentang berbagai bangunan bertingkat yang memancarkan warna keemasan yang menggoda mata. Belum lagi bentuk istana yang megah dan super mewah meski baru terlihat dari jarak lumayan jauh.

Ranu dan Suropati berjalan mendekati kota Wentira yang misterius itu. Tidak ada penjagaan yang benar-benar ketat selayaknya di sebuah kota maju. Paling hanya ada satu dua orang prajurit yang berjalan untuk sekedar lewat atau melihat situasi kota itu.

Yang membuat Ranu heran, masyarakat kota itu memiliki sedikit perbedaan dengan manusia pada umumnya. Di bawah hidung, mereka tidak memiliki garis tengah yang biasanya dimiliki manusia. Dan semuanya seperti itu, seolah itu sebagai tanda bahwa mereka adalah penduduk asli kota Wentira.

Sementara itu di dalam istana kota Wentira, seorang lelaki yang memakai jubah kebesaran seorang raja duduk di singgasananya. Di samping kanannya, seorang laki-laki tua memakai jubah hitam, berkulit wajah pucat terlihat memejamkan matanya. Sebuah golok besar terlihat berdiri dan bersandar di pegangan kursinya.

Di depan mereka berdua, duduk 7 orang yang memiliki perawakan rata-rata tinggi besar. Seragam mereka terlihat berbeda dengan dengan dua prajurit yang berdiri di samping pintu ruangan tersebut.

"Bagaimana dengan usulku tadi, Ketua?" tanya lelaki yang duduk di singgasana.

"Paduka, bukan hamba tidak setuju dengan usul Paduka. Memang kekuatan kita sudah bisa dibilang setara dengan pasukan Raja Condrokolo, tapi masalahnya, jika kita sudah keluar dari segel yang sudah dipasang oleh para Dewa sialan itu, kita tidak akan bisa masuk lagi kemari."

"Bukankah Ketua punya kuncinya untuk keluar masuk segel itu?"

Lelaki tua berbaju hitam itu menghela napas perlahan, "Hamba sudah menggunakannya dua kali, Paduka. Yang pertama saat hamba memasuki kota Wentira ini pertama kalinya hampir 130 tahun yang lalu. Kedua kalinya, hamba menggunakannya ketika merebut golok Tirta Aji ini dari pertapa Dananjaya. Jadi hanya tinggal satu kali lagi kesempatan untuk menggunakannya, dan itupun kita tidak akan bisa masuk lagi!"

Raja kota Wentira, Dharmacakra, mengurut keningnya untuk mencari cara agar bisa merusak segel yang sudah menutupi kotanya. Andai kota Wentira tidak tersegel akibat kecongkakannya yang berani melawan para Dewa, bisa jadi kota Wentira akan menjadi kota yang paling maju dan megah yang pernah ada di dunia.

"Apa Ketua tidak punya cara lain lagi agar segel yang menutupi kota ini bisa terbuka?"

"Satu-satunya jalan hanya menunggu adanya manusia yang mendapat kunci dari dewa Andrayaksa. Tapi masalahnya, kita tidak akan tahu jika ada manusia yang masuk kemari," jawab lelaki tua berbaju hitam yang ternyata adalah Racun Utara.

Raja Dharmacakra menoleh kepada prajurit yang menjaga pintu ruangan tersebut.

"Prajurit ... jaga dengan ketat pintu gerbang masuk kota ini! Jika ada manusia yang masuk kemari, segera tangkap dan laporkan padaku!"

"Hamba laksanakan, Paduka," jawab Prajurit tersebut.

Dia menunduk memberi hormat kemudian keluar dari ruangan.

Raja Dharmacakra memandang langit-langit ruangan yang berhiaskan ukiran berbagai motif dari emas. Pikirannya yang ingin menjadi penguasa di alam gaib begitu kuat. Bukan hanya di alam siluman saja, namun juga alam jin yang ingin dikuasainya.

Pikirannya yang ingin menjadi penguasa di alam gaib itu karena peluangnya untuk menjadi penguasa di bumi sudah musnah, akibat keberaniannya melawan para Dewa hampir dua ribu tahun yang lalu.

Sementara itu, Ranu dan Suropati yang masih menikmati keindahan dan kemegahan kota Wentira, memutuskan untuk memasuki tempat makan yang lumayan besar. Meskipun sudah berada di alam gaib, namun kehidupan rakyat kota Wentira masih tetap seperti manusia pada umumnya, begitu juga dengan makanannya.

Ranu dan Suropati memilih duduk di dekat para pengunjung yang bergerombol di sebuah meja yang besar. Dilihat dari pakaiannya, Ranu bisa menilai jika mereka adalah dari golongan pejabat kota ataupun golongan bangsawan.

Ranu dan Suropati memasang telinganya dengan tajam agar bisa mencuri dengar apa yang dibicarakan oleh orang-orang itu. Keduanya berharap setidaknya bisa mendapat informasi terkait Racun Utara yang mereka cari.

Salah seorang dari bangsawan itu memandang curiga ke arah Ranu dan Suropati. Meskipun keduanya tidak menunjukkan gelagat yang mencurigakan, tapi dari bentuk wajah yang beda, utamanya dari garis di bawah hidung yang memperjelas perbedaan mereka, hal itulah yang membuat bangsawan tersebut curiga.

Beberapa saat kemudian, bangsawan itu meninggalkan rombongannya yang masih tetap bertahan di tempat makan itu. Ranu yang melihat bangsawan itu pergi secara tiba-tiba merasa curiga dan memutuskan untuk meninggalkan tempat makan itu.

"Ada apa, Ranu? Kenapa tiba-tiba kau mengajakku pergi?" tanya Suropati setelah mereka berada di luar tempat makan itu.

"Aku merasa kita berdua sudah dicurigai oleh orang yang tadi keluar. Kita awasi dari jauh saja!"

1
Elisabeth Ratna Susanti
like plus subscribe 👍
Was pray
ya jelas dicurigai kan kamu dan suropati jelas2 orang asing
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!