Penolakan Aster Zila Altair terhadap perjodohan antara dirinya dengan Leander membuat kedua pihak keluarga kaget. Pasalnya semua orang terutama di dunia bisnis mereka sudah tahu kalau keluarga Altair dan Ganendra akan menjalin ikatan pernikahan.
Untuk menghindari pandangan buruk dan rasa malu, Jedan Altair memaksa anak bungsunya untuk menggantikan sang kakak.
Liona Belrose terpaksa menyerahkan diri pada Leander Ganendra sebagai pengantin pengganti.
"Saya tidak menginginkan pernikahan ini, begitu juga dengan kamu, Liona. Jadi, jaga batasan kita dan saya mengharamkan cinta dalam pernikahan ini."_Leander Arsalan Ganendra.
"Saya tidak meminta hal ini, tapi saya tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilih sepanjang hidup saya."_Liona Belrose Altair.
_ISTRI KANDUNG_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 : Mengobati Rindu
...🥀...
...🪞ASTER ZILA ALTAIR🪞...
...🥀...
...🪞LIONA & LEANDER🪞...
...🎶ZAALIMA🎶...
Liona masih sesegukan dalam pelukan Leander, hal ini justru membuat Leander semakin geram dan mengutuk apa pun yang dikatakan oleh Aster pada istrinya.
Leander membawa Liona duduk di tepi ranjang lalu memberikan segelas air putih, Liona meminumnya sedikit lalu mengatakan apa yang dikatakan oleh Aster tadi padanya. Persis seperti apa yang Aster bilang tanpa ada yang dia tambah atau pun kurangi.
Leander mengepalkan tangannya di sisi tubuh namun tetap tenang di depan Liona. Tak ada emosi yang dia tampakkan, berbeda dengan apa yang ia pendam saat ini.
“Kamu tenang saja, besok aku akan bicara dengan Jedan dan akan mengurus semuanya. Kamu tidak perlu memikirkan perkataan Aster tadi, itu sangat tidak berguna,” ujar Leander dengan nada rendah pada Liona.
Liona mengangguk, ia dituntun untuk rebahan oleh Leander dan pria itu menyelimutinya bagai seorang bayi yang kedinginan. Leander meraih ponselnya dan mengirimkan pesan pada Jedan untuk meminta waktu bertemu besok di rumah Jedan. Leander juga meminta seluruh anak Jedan berkumpul tanpa terkecuali.
Liona masih sesegukan dengan mata terpejam, Leander yang tidak tega memeluk istrinya dan mencium telinga Liona dengan gemas.
“Sayang, daripada kamu nangisin saudari kamu yang tidak tau diri itu, lebih baik kita senang-senang,” bisik Leander di telinga Liona.
“Senang-senang?” tanya Liona lagi dengan mata yang sudah menyipit karena menangis, tangannya masih dingin.
Leander memberikan senyum genitnya dan itu sudah hafal oleh Liona.
“Apa dengan berhubungan pikiranku bisa jadi lebih baik?” tanya Liona dengan ekspresi polosnya.
Lucu. Itulah yang terbesit di benak Leander saat melihat reaksi Liona. Istrinya itu tidak pernah gagal membuat suasana hatinya selalu bahagia, apalagi jika Liona sudah memasang raut wajah polos begini.
“Ya bisa, kita coba saja dulu.”
“Ya sudah, senang-senang seperti apa? Main kartu? Main game atau nonton?” tanya Liona yang kini telentang dengan jari yang dia tunjukkan satu per satu pada suaminya.
“Haha... Bukan, Sayang. Bukan begitu,” tawa Leander ketika Liona menghitung kesenangan apa yang akan dilakukan dengan jarinya.
“Lalu apa?” tanya Liona dengan nada yang mulai kesal.
“Kesenangan begini nih,” kata Leander lalu membungkam bibir Liona dengan bibirnya sembari meremas kedua gundukan indah dan kencang sang istri dengan telapak tangannya.
Sontak mulut Liona terbuka dan memberikan akses bagi lidah Leander untuk masuk ke dalam mulut itu.
Malam ini, Leander memberikan kesenangan yang sangat sangat nikmat bagi Liona dan dirinya sendiri. Pastinya. Leander tidak membuang kesempatan jika sudah mendapatkan hal enak begini.
Selesai berhubungan badan, Leander menyelimuti tubuh polos Liona dengan selimut karena Liona sudah lelah dan tidur lebih dulu.
Leander juga langsung tidur sambil mendekap Liona dengan kaki yang mengalung di tubuh sang istri, menjadikan Liona sebuah guling mungil baginya.
Pagi menyapa dengan ceria, Liona menyiapkan beberapa peralatan dan keperluan Leander untuk berangkat ke kantor hari ini.
Mereka kemudian turun ke bawah dan semua anggota keluarga sudah berkumpul di meja makan. Liona duduk di samping Gita dan Leander di sebelah kanannya.
“Sayang, ini Mama buatkan susu untuk kamu. Setiap pagi, Mama yang akan buatkan kamu susu.” Gita menyodorkan dua gelas susu pada Liona, satu cokelat dan satunya vanila.
Liona tersenyum senang dan menggabungkan kedua susu itu menjadi satu lalu meminumnya dengan satu tegukan.
Gita terlihat sangat bahagia melihat hal itu sementara semua orang menatap Liona dengan heran.
“Enak, Ma. Rasanya seperti semangat baru di pagi hari,” puji Liona atas susu buatan Gita.
“Tuh kan, Liona aja suka. Kalian meragukan Mama sih,” rungut Gita pada anak, suami, dan menantunya.
Karena tadi, mereka bilang susu itu diminum satu-satu tapi Gita bersikeras memberikan susu itu sekali dua.
“Kamu gak begah minum susu begitu?” bisik Leander yang dibalas gelengan oleh Liona.
“Enggak, justru susu yang begitu yang enak. Kalau bubuknya yang dicampur ya kurang sih, tapi kalau susu udah cair dan dicampur jadi satu, enaknya double,” jawab Liona dengan bangga.
“Mama akan bikin setiap pagi untuk kamu, Mama juga suka bikin susu begitu,” sahut Gita dengan ceria lalu memeluk erat Liona.
Karina yang melihat hal itu langsung kenyang, pasalnya dia sendiri tidak doyan minum susu. Karina hanya bisa geleng-geleng kepala dan tersenyum melihat mertua dan iparnya itu.
Selesai sarapan, Gita membawa Liona berkebun bersama, dia merasakan kehadiran seorang anak perempuan lagi di dalam hidupnya. Mereka menanam bunga bersama hingga membuat kebun menjadi kembali indah.
“Kebun ini Mama sendiri yang urus ya?” tanya Liona takjub.
“Bukan, Mama sudah lama tidak berkebun. Terakhir kali ya sekitar 18 tahun yang lalu,” jawab Gita.
“Lalu kebun ini?” tanya Liona saat melihat kebun di dekatnya amat cantik.
“Ini semua Leander yang urus, dia suka berkebun.”
“Oh bagus soalnya, Ma.”
“Dia itu anaknya memang rajin, dia juga pintar masak dan pintar dalam segala hal. Hanya saja orangnya dingin, cuek, dan tidak terlalu peduli lingkungan.” Liona terkekeh lalu pelayan datang membawakan nampan berisi obat untuk Gita.
Liona mengambil nampan tersebut dan menyuapi obat untuk Gita, obat yang disarankan oleh dokter agar kondisi Gita stabil.
“Mama senang ada yang mengurus Mama begini, sudah lama rasanya tidak berdua dengan seorang anak perempuan. Biasanya kalau semua sudah bekerja, Mama akan sendirian.” Liona memeluk ibu mertuanya itu, dia bisa merasakan kesedihan Gita dan betapa sepi dia jika sendiri.
Walau mansion itu ramai oleh pengawal dan pelayan, tetap saja bagi Gita itu tak cukup.
“Sekarang sudah ada aku, Ma. Aku akan temani Mama selalu.” Gita menatap lekat wajah Liona dan mencium kedua pipinya.
“Jangan tinggalkan Mama ya, kamu di sini saja. Kalau Leander mau pindah, suruh saja dia pindah sendiri,” tutur Gita yang membuat Liona terkekeh.
“Kasian dong, Ma. Leander itu biasa dilayani dan kalau aku pisah rumah, yang ada nanti dia tantrum.” Gita ikutan terkekeh mendengar jawaban Liona.
Pelayan yang berdiri di dekat mereka ikut tersenyum. Bukan karena ucapan Liona, melainkan karena tersenyumnya Gita saat ini.
Sungguh jarang wanita paruh baya itu tersenyum, apalagi dengan seorang menantu. Malah selama ini Gita selalu menyuruh menantunya pisah rumah dan anaknya yang tinggal di mansion itu. Tapi kali ini berbeda, justru yang dia inginkan adalah Liona bukan Leander.
“Oh iya, kamu suka nggak sama film kerajaan?” tanya Gita lagi.
“Suka Ma, suka banget malah. Aku tuh ya, tiap kali liat tuan putri atau ratu, aku selalu menghayal kalau itu diriku. Bahkan aku sering minta Mama aku buat belikan baju kayak gitu dulu dan aku pake di kamar seolah-olah aku ini seorang tuan putri,” jawab Liona dengan sumringah.
Gita tertawa lalu mengusap pipi Liona. “Mama juga sama kayak kamu, dulu Mama juga suka begitu. Kita nonton yuk,” ajak Gita dengan semangat.
“Ayo!”
Mereka berdua pergi ke ruang nonton dan memutar film kerajaan versi kartun. Gita memeluk Liona dengan erat dan air matanya menetes.
“Liona sangat menghibur hatiku, aku sangat menyayangi anak ini. Dia berhasil mengobati kerinduanku terhadap Anastasia yang kini entah di mana.” Gita bergumam dalam hatinya.