NovelToon NovelToon
Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Status: tamat
Genre:Romantis / Transmigrasi / Permainan Kematian / Tamat
Popularitas:958
Nilai: 5
Nama Author: Carolline Fenita

Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.

Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya

Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?

p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Zhang Hao - Ke Bu Ke Yi

Ia membuang pandangan ke luar jendela.

"Kebiasaan, rasa tanggung jawab, dan sedikit harapan."

Ia menoleh kembali pada Caroline, sorot matanya kini penuh kejujuran yang menyakitkan.

"Kita menikah karena kita sama-sama ingin mengembangkan dunia kita, kaya akan ilmu baru. Ada kekaguman di awal kedekatan kita, Lin. Aku mengagumi kecerdasanmu, idealismemu, gairahmu. Dan kau juga melihat potensiku, kecekatanku, kepemimpinanku."

"Seiring waktu, kekaguman itu berubah menjadi kompetisi. Aku tidak tahu kapan itu terjadi. Mungkin satu tahun yang lalu, tiga tahun yang lalu bahkan. Saat melihat kamar yang kosong dan gelap, aku baru sadar bahwa kamu memilih melarikan diri. Memilih berhenti berperang, jeda dingin."

Pratama meraih tangan Caroline yang masih memegang cangkir teh, menggenggamnya erat. Sensasi hangat itu berbeda dari ciumannya di dahi kemarin. Ini adalah sentuhan yang jujur, putus asa, dan penuh kerentanan.

"Kita masih mempertahankannya, aku menolak untuk menyerah padamu. Jika aku boleh jujur, satu bulan sebelum peristiwa itu aku sempat mengajukan dan mendiskusikan perpisahan kita. Saat itu yang kupikirkan adalah kita saling menyakiti.”

Saling menyakiti. Tidak bisa bertahan. Hubungan yang meracuni masing-masing.

Pernikahan tanpa makna lagi. Lin dan Pram, hidup dalam cangkangnya sendiri.

Caroline membayangkan bagaimana selembar kertas gugatan terbaring di atas meja kaca, dua siluet yang saling bernafas tanpa kedekatan sama sekali. Dirinya yang mengangguk setuju, dan Pram dengan sikap dinginnya. Hanya membayangkannya, ia merasakan leher atas hingga punggung bawahnya mendingin.

“Mungkin itu kebodohan, itu ketidakpekaanku. Aku yang melamarmu, dan aku yang menceraikanmu. Saat itu aku tidak sanggup melihat air matamu turun tanpa suara. Setelah memberikannya, aku bukan merasa lega, namun justru semakin berat.”

Pratama diam beberapa saat. Pembicaraan ini begitu menguras pemikirannya. Ia merasa frustasi sendiri. Caroline memutuskan genggamannya dan berdiri, mendekati Pram dengan tatapan campur aduk. Wanita itu memeluk tubuh sang suami yang gemetar hebat. Dari bahunya, ia mendengarkan gumaman rendah.

“Malam itu aku menyesal berat. Namun malam itu juga memberiku harapan aneh. Harapan bahwa mungkin, tanpa beban masa lalu, kita bisa menyatukan apa yang sudah patah, dengan lem atau apapun itu."

Sayap mereka sudah patah. Untuk direkatkan kembali agak tidak mungkin.

Caroline membiarkan kepala Pram bersandar padanya. Ia mendengarkan pengakuan Pratama tentang kekaguman, kompetisi, dan siasatnya. Ia tidak merasakan luka dari masa lalu itu, tetapi ia bisa merasakan kesedihan mendalam yang terpancar dari setiap kata Pratama. Ia melihat beban yang Pratama pikul, sebuah beban yang seharusnya juga menjadi bebannya, jika saja ia mengingatnya.

Pelukannya bukan reaksi logis, melainkan respon intuitif terhadap kerapuhan dan kejujuran yang baru saja Pratama tunjukkan. Ia tidak mengingat cintanya pada Pratama, tetapi ia bisa merasakan penderitaan Pratama.

"Aku mengerti," kata Caroline, suaranya lembut. "Kau sudah menderita begitu banyak."

Itu bukan janji, bukan solusi, hanya sebuah pengakuan akan kenyataan yang Pratama hadapi. Caroline menunjukkan sedikit empati, ia merasakan bahwa jiwa aslinya pun menginginkan kesempatan untuk memperbaiki dan memulai semua dari awal.

Namun ia tidak tahu, apakah ini menjadi titik balik atau tantangan baru?

Pengakuan Pratama, yang diucapkan dengan kejujuran yang menyakitkan, menjadi sebuah titik balik. Ini bukan lagi tentang mencari solusi logis untuk masalah masa lalu, melainkan tentang menghadapi kenyataan emosional yang ada.

Bagi Pratama, melepaskan beban rahasia itu terasa seperti sebuah katarsis, sebuah kesempatan untuk bernapas. Ia telah membuka hatinya, menunjukkan kerentanan yang belum pernah ia tunjukkan pada Caroline yang dulu.

Namun bagi Caroline, pengakuan ini menghadirkan tantangan baru yang kompleks. Ia tidak marah, tidak juga merasa dikhianati, karena ia tidak punya kenangan untuk melukai perasaannya. Sebaliknya, ia kini dihadapkan pada gambaran "Caroline yang dulu"– seorang wanita idealis dan keras kepala yang, tanpa ia sadari, telah melukai

Pratama dan merusak pernikahan mereka.

Dalam diamnya, ia justru melahirkan lapisan kebingungan yang lebih dalam di benaknya. Ini adalah sebuah cermin yang memperlihatkan sisi dirinya yang ia tidak kenali, sebuah sisi yang bertentangan dengan ketenangan dan kelogisan dirinya yang sekarang.

“Ini bukan aku.”

Jiwa yang kini mendiami tubuh Caroline, jiwa yang baru bangun di dunia asing ini, tidak memiliki jejak emosional dari konflik yang Pratama ceritakan. Ia tidak merasakan kemarahan karena perbedaan pandangan, tidak pula kelelahan akibat pertengkaran. Ia menatap Pratama, melihat kesedihan yang jelas di mata pria itu, sentuhan harapan yang samar pada genggaman tangan mereka.

Rasa empati itu muncul, murni dan tak terkontaminasi apapun. Ia merasakan penderitaan Pratama, dan entah mengapa, itu terasa penting baginya.

Namun, bagaimana ia bisa merespons semua

ini?

Apakah aku harus merasa bersalah atas perbuatan yang tidak kuingat? Apakah aku berhak menerima rasa kasih sayang ini, jika yang pantas menerimanya adalah dia yang dulu?

Caroline merasa tidak layak untuk membuat keputusan tentang hubungan yang fondasinya dibangun oleh orang lain. Memutuskan untuk tetap bersama Pratama terasa seperti merebut hak dari jiwa yang asli.

Namun, di sisi lain, ia juga tidak bisa berdiri di depan Pratama dan mengatakan, "Orang yang kau nikahi itu bukan aku. Jiwa ini berbeda."

Ia mencobanya di awal dan tidak ada yang memahami apa yang ia ucapkan. Penghalang ini membatasi pergerakannya. Dia krisis jati diri.

Dia bingung, apakah ia harus mengasihani Pram dari segi pandangnya, atau meletakkannya dalam pigura penglihatan tubuh ini.

Bagaimana jika dalam hubungan ini, perempuan ini tidak bermaksud melakukannya? Bagaimana ia harus berlaku adil, jika yang didengarkannya saat ini hanya berasal dari sudut pandang Pram?

“Degup jantung Pram jauh lebih cepat, mengetuk dadaku beberapa kali. Jauh disana, para pelayan sudah mundur dan menjaga jarak. Mereka seolah pernah menjadi saksi bisu akan hubungan ini, melakukan reaksi yang sama seperti sebelumnya. Mataku mengamati rambut putih di kepala Pram. Mengamati sudut wajahnya yang menyentuh tulang selangkaku. Kapan rambut ini muncul? Sejak kapan ia beruban? Sejak kapan muncul kerutan di sudut matanya?”

Ketidakberdayaan ini menciptakan gelombang kepanikan yang familiar, namun kali ini lebih dingin, lebih membingungkan. Ia terjebak. Di dalam tubuh ini, ia adalah istri Pratama. Di dalam benaknya, ia adalah jiwa asing yang tanpa memori, tanpa sejarah.

Pemikiran ini berlangsung hanya beberapa puluh detik, dan perempuan itu berbisik pada suaminya.

“Pram.. tetapi apakah kamu bisa memberikanku waktu?”

“Aku memahamimu, namun aku sama sekali tidak memahami diriku. Aku sama sekali tidak tahu apa yang kupikirkan saat itu. Mengapa aku bersiteguh dan menolak untuk mengalah. Mengapa aku memilih menyakiti semuanya dan tidak menghentikan semuanya.”

Nadanya sulit diartikan. Ia tidak menunjukkan amarah, kesedihan, atau kekecewaan. Hanya sebuah kebutuhan akan ruang, untuk memproses realitas aneh ini.

Caroline hidup dalam sebuah pernikahan yang ia tidak ingat, dengan seorang pria yang baru ia kenali namun tidak ia cintai, dan semua itu adalah peninggalan dari jiwa lain yang pernah ada di dalam tubuhnya.

"Pram. Aku ingin... kembali ke keluargaku."

Pratama menatapnya dengan bingung, terlukis jelas kegundahan di wajahnya.

Kejujurannya kali ini tidak berhasil mendekatkan mereka. Ia berusaha memahami mengapa Caroline, yang tadinya merengkuhnya, kini kembali dingin dan menjauh. Pratama merasakan beratnya napas Caroline, melihat sorot matanya yang seolah menerawang jauh.

Permintaan ini memukul Pratama sekali lagi. Ia tahu ini logis, sebuah langkah yang masuk akal bagi seseorang yang kehilangan ingatan.

Namun, rasa takut kehilangan Caroline, bahkan dia yang sekarang, tiba-tiba mencekiknya. Ditambah lagi, menghadapi pandangan keluarga wanitanya setelah semua masalah yang terjadi di antara mereka.

Tapi dia tidak ingin lagi egois, memaksakan mereka berdua untuk bersama. Mengulangi kesalahan yang sama. Ia takut, semakin ia tarik senarnya, kelak senar tipis itu akan putus. Yang seharusnya ia rawat hati-hati, justru rusak karena ulahnya.

Maka Pram memilih melepaskannya.

Sejenak saja. Mereka memang butuh waktu untuk sendiri.

Ia memaksakan senyuman, melepaskan diri dan menepuk pelan bahu istrinya. "Tentu," jawab Pratama, suaranya menipis. "Ambil waktu sebanyak yang kau butuhkan."

“Pahami dirimu yang dulu, siapa dirimu sebelum semua ini terjadi, Lin."

"Aku akan membantumu. Aku akan menghubungi mereka dan mengatur semuanya," lanjut Pratama, tangannya mengangkat cangkir kosong dan piring sisa di atas meja. Ia menatap Caroline, mencoba mengamati ekspresi lain selain ketenangan yang membingungkan itu. "Aku akan mengantarmu ke sana. Kita akan pergi bersama."

Mata Caroline sedikit melebar. Ia tidak menyangka Pratama akan menyetujuinya semudah itu, apalagi mengantarnya.

"Terima kasih, Pram," ujar Caroline, nada suaranya sedikit melunak.

Ada sedikit kelegaan dalam tatapannya. Ia tidak tahu apa yang akan ia temukan di rumah keluarganya, tapi setidaknya, ia mengambil satu langkah pasti menuju pemahaman tentang siapa dirinya di dunia baru ini.

Caroline memperhatikan Pratama bergerak, lalu pandangannya kembali beralih ke jendela. Ia meyakinkan dirinya bahwa apa yang ia ambil adalah keputusan yang tepat.

Keputusan itu datang secara logis, sebuah kesimpulan dari kebingungan yang memuncak. Jika ia tidak tahu siapa ia yang dulu, bagaimana ia bisa menavigasi ia yang sekarang ?

Satu-satunya cara adalah mencari informasi dari sumber yang paling bisa dipercaya dan netral baginya, keluarganya sendiri.

1
Anyelir
kak, mampir yuk ke ceritaku juga
Cherlys_lyn: okeee
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!