"Nada-nada yang awalnya kurangkai dengan riang, kini menjebakku dalam labirin yang gelap. Namun, di ujung sana, lenteramu terlihat seperti melodi yang memanggilku untuk pulang."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yvni_9, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ngekos
...Happy reading...
Debu jalanan beterbangan saat langkah kaki mereka berhenti di depan bangunan kos tiga lantai yang tampak sederhana. Cat temboknya kusam dan beberapa bagian terlihat mengelupas.
Zein dan Cely melangkah memasuki area kos yang sepi. Hanya suara langkah kaki mereka dan derit roda koper yang memecah keheningan siang itu. Cely, dengan ransel besar di punggung dan koper di tangan, berjalan di depan Zein sambil sesekali mengamati nomor-nomor kamar.
Di depan pintu kamar, Cely berhenti dan mengetuk pelan. Beberapa saat kemudian, pintu kayu itu terbuka perlahan. Sosok Rayna muncul di ambang pintu, rambutnya sedikit berantakan dan matanya terlihat jelas sembab dan merah.
"Eh, kalian udah dateng?" sapa Rayna dengan suara serak, sedikit memaksa bibirnya untuk tersenyum. "Masuk, masuk!" lanjutnya sambil mundur mempersilakan mereka masuk.
Cely dan Zein masuk ke dalam kamar yang terasa pengap. Aroma parfum bercampur aroma debu langsung menyambut indra penciuman mereka.
"Kenapa Ray?" tanya Cely, matanya meneliti wajah Rayna.
Rayna mengangkat sebelah alisnya, ekspresinya tampak bingung karena pertanyaan Cely.
"Maksud lo?" tanyanya balik.
"Mata lo, Ray. Kenapa?" ulang Cely dengan lebih jelas.
"Ah ... ini ... tadi gue kan beres-beres kamar, terus tiba-tiba ada debu masuk mata gue!" Rayna mencoba mengelak, namun sorot matanya tidak bisa berbohong. Ia menghindari tatapan langsung dari Cely.
Cely menggelengkan kepalanya pelan, tatapannya lurus dan menusuk ke mata Rayna. "Gue nggak percaya," katanya.
"Cel ..." Rayna menarik napas dalam, terlihat berat untuk mengatakan sesuatu. "Gue benci harus bilang ini sama lo. Tapi... gue harus bilang ini sama lo."
"Apa?" tanya Cely.
"Gue ... nggak bisa tinggal di sini lagi," ujar Rayna, "Jadi ... maafin gue ya, Cel! Gue bener-bener harus pergi!" akhirnya Rayna mengungkapkan keputusannya.
"Alasannya?" tanya Cely, suaranya meninggi karena terkejut. Matanya membulat menatap Rayna, mencari jawaban di wajah sahabatnya. Zein yang berdiri di belakang Cely pun tampak ikut terkejut, alisnya bertautan menunjukan kebingungan.
"Masalah bokap gue," bisiknya dengan suara tercekat. "Semenjak dia pisah sama Bunda gue," lanjutnya, suaranya semakin lirih, "dia jadi ... jadi nggak waras. Dia terus terusan minta duit ke gue. Kalau nggak gue kasih," Rayna menelan ludah dengan susah payah, "dia bakal mukul gue. Sedangkan lo tau sendiri, Cel! Gaji gue nggak seberapa," Rayna menatap Cely dengan mata memelas, "dan lo tahu sendiri kan, gue cuma punya dia di sini."
"Nanti sore," sambung Rayna setelah menarik napas dalam-dalam, "gue mau pulang aja ke Bunda." Ia menunduk, menatap lantai kamar yang dingin. "Gue nggak bisa terus-terusan kayak gini."
Rayna mengangkat wajahnya kembali, menatap Cely dengan mata yang memerah. "Bukan maksud gue ninggalin lo gitu aja, Cel, beneran!"
Cely terdiam sejenak, mencerna semua yang dikatakan Rayna. Ia bisa merasakan kepedihan dan ketakutan yang dirasakan sahabatnya. Setelah beberapa saat, Cely mengangguk pelan, memberikan pengertiannya.
"Gue paham, Ray," katanya lembut, "nggak apa-apa kok. Gue kan biasa tinggal sendiri juga," Cely mencoba tersenyum tipis untuk menenangkan Rayna.
"Makasih, Ray," ucap Rayna dengan suara serak, air matanya kembali menetes namun kali ini bercampur dengan rasa lega. "Makasih banyak lo udah bisa ngertiin gue, Cel!" Tanpa ragu, Rayna menarik Cely ke dalam pelukannya, memeluknya erat sebagai ungkapan terima kasih.
"Yaudah," kata Rayna setelah melepas pelukannya, sambil mengusap air matanya dengan punggung tangan.
"Yuk, gue bantuin lo susun barang." Rayna berusaha tersenyum meskipun matanya masih terlihat sembab, mencoba mengalihkan kesedihannya dengan membantu sahabatnya.
"Jujur ya, Ray," ucap Cely sambil terkekeh kecil. "Ini pertama kalinya gue lihat lo nangis gini." Cely mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Rayna, seringai jahil mulai menghiasi wajahnya.
Mendengar ejekan Cely, Rayna yang tadinya masih sedikit terisak langsung mendorong bahu Cely.
Mentari mulai merunduk ke barat, langit mulai diwarnai jingga, menandakan hari menjelang sore. Suasana kamar kos terasa semakin sendu, seiring dengan perpisahan yang akan segera terjadi.
"Cel!" seru Rayna.
Dengan gerakan cepat, ia mengoyak selembar kertas usang dari buku catatannya yang sudah lusuh, tergesa-gesa mencari pulpen di antara tumpukan barang di atas meja.
"Nih, nomer handphone gue!" Rayna menyodorkan kertas yang baru saja disobek ke Cely. "Ntar ... kalo lo udah punya handphone sendiri, lo hubungi gue ya! Jangan lupa!" suruhnya.
"Gue pergi dulu," ucap Rayna lirih.
Kemudian, tanpa menunggu jawaban, Rayna berbalik dan melangkah keluar kamar. Cely hanya bisa terpaku di tempatnya, memperhatikan punggung Rayna yang semakin menjauh hingga akhirnya menghilang di balik pintu. Keheningan langsung menyelimuti kamar kos, terasa lebih pekat dan menyedihkan dari sebelumnya.
"Ini pertanyaan terakhir gue, Cel!" Suara berat Zein tiba-tiba memecah keheningan.
Cely sedikit tersentak dan menoleh ke belakang. Zein berdiri tegak di ambang pintu sambil menatapnya. "Lo beneran nggak mau ikut gue?" Nada suaranya terdengar sungguh-sungguh, seolah ini adalah kesempatan terakhir yang ia tawarkan.
Cely menggelengkan kepalanya perlahan. "Gue bisa sendiri kok, Bang!" jawab Cely.
Lagi dan lagi, Cely menolak tawaran Zein untuk tinggal bersamanya. Menunjukkan bahwa keputusannya sudah bulat dan tidak akan berubah.
"Yaudah, kalo gitu gue balik dulu ya," ucap Zein akhirnya, mengalah pada keputusan Cely.
"Besok pagi gue ke sini lagi, sebelum gue beneran pergi," lanjutnya, memberikan janji perpisahan terakhir. Zein menghela napas panjang, lalu berbalik dan melangkah meninggalkan Cely sendirian di kamar kos yang terasa semakin sunyi dan sepi. Langkah kakinya terasa berat saat menjauh, meninggalkan Cely dengan perasaannya yang bercampur aduk.
Cahaya senja yang terakhir meredup, menyisakan remang-remang kelabu di kamar kos Cely yang terasa semakin sunyi. Cely merebahkan tubuhnya di kasur tipis, lengannya menekuk menjadi tumpuan bagi kepalanya yang terasa berat. Tatapannya nanar menerawang langit-langit kamar yang kusam dan penuh bercak noda air.
"Sekarang gue bener-bener sendirian..." gumamnya dalam hati, suaranya tercekat di tenggorokan, seperti ada beban berat yang menghimpit dadanya. Kesunyian kamar terasa semakin menusuk kalbu, mempertegas rasa kehilangan yang baru saja dialaminya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, siap untuk tumpah.
"Jangan sedih, Cely," bisiknya lirih pada diri sendiri, mencoba menghibur hatinya yang perih. Suaranya nyaris tak terdengar, kalah oleh detak jantungnya sendiri yang berpacu cepat. "Lo masih punya Abang," sambungnya.
Kata-kata itu diulanginya seperti mantra, berharap dapat menguatkan dirinya. Namun, ketika air mata itu akhirnya lolos dan jatuh membasahi pipinya yang dingin, Cely menyadari bahwa kesendirian ini adalah kenyataan yang harus ia hadapi.
Air mata yang terjaga, tak mampu mengkhianati kekuatan yang tersembunyi di balik mata Cely. Ia sendirian, seperti ruang kosong yang tak terisi, dengan dinding yang dingin dan lantai yang sunyi, seperti sebuah kota yang telah lama ditinggalkan.
..._______________...