Shanum dan Wira Wiguna sudah menikah selama 6 tahun dan memiliki seorang anak bernama Mariska namun kebahagiaan mereka harus diuji saat Niar, mertua Shanum yang sangat benci padanya meminta Wira menikah lagi dengan Aura Sumargo, wanita pilihannya. Niar mau Wira menikah lagi karena ingin memiliki cucu laki-laki yang dapat meneruskan bisnis keluarga Wiguna. Saat itulah Shanum bertemu Rivat, pria yang membuatnya jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang Mantan Mertua yang Berbahaya
Malam di desa itu terasa sunyi dan damai, namun ketenangan itu pecah seketika. Tiba-tiba, suara benturan keras mengagetkan seisi rumah. Orang suruhan Niar bergerak di sekitar rumah Pak Pamuji dan Bu Roro, mengendap-endap sebelum akhirnya melancarkan serangan. Mereka menggunakan linggis untuk mendobrak paksa pintu rumah yang sederhana itu. Suara kayu yang patah dan engsel yang terlepas terdengar nyaring, membuat Shanum, Bu Roro, dan Mariska yang sedang duduk di ruang tengah terlonjak kaget.
Tiga orang pria berbadan tegap dan berpakaian serba hitam menerobos masuk. Wajah mereka tertutup topeng, namun tatapan mata mereka dipenuhi niat jahat. Shanum segera menyadari apa yang terjadi.
"Siapa kalian?!" seru Shanum, berusaha melindungi Mariska yang langsung meringkuk ketakutan di belakangnya.
"Ikut kami!" perintah salah satu pria, suaranya terdengar berat dan dingin. Tanpa menunggu jawaban, pria itu segera meraih tangan Shanum.
Shanum melawan, meronta-ronta, namun tenaganya tak sebanding. Mereka menyeret Shanum tanpa belas kasih, menariknya menjauh dari Mariska.
"Tidak! Lepaskan saya! Mariska! Tolong!" teriak Shanum, suaranya parau.
Mariska histeris menangis, ketakutan melihat ibunya diseret. Ia berteriak, memanggil-manggil Shanum, namun suaranya tenggelam oleh keributan.
Bu Roro, yang panik melihat Shanum dianiaya, mencoba menghalangi mereka. "Jangan sentuh anak saya! Pergi dari sini!" ia memukul-mukul punggung salah satu pria itu, namun tenaganya yang renta tidak berarti apa-apa.
Salah satu pria berbalik, mendorong Bu Roro dengan keras. Bu Roro terhuyung, tubuhnya oleng, dan kepalanya membentur ujung meja kayu yang kokoh. Seketika, ia dibuat pingsan, tubuhnya terjatuh ke lantai. Darah segar menetes dari pelipisnya.
Di saat yang sama, Pak Pamuji yang mendengar keributan keluar dari kamarnya. Ia segera berteriak, mencoba membantu, namun dua pria lainnya dengan sigap mendorongnya kembali ke dalam kamar dan mengunci Pak Pamuji di dalam kamar. Ia menggedor-gedor pintu, berteriak meminta pertolongan, namun suaranya tak terdengar.
Teror itu berlangsung cepat. Shanum terus diseret keluar, dan dimasukkan ke dalam sebuah mobil van hitam yang sudah menunggu. Mereka meninggalkannya begitu saja. Rivat sedang tak ada di rumah, ia sedang pergi membeli kebutuhan ke kota. Ia tidak tahu, saat ia kembali, kekacauan sudah terjadi. Shanum sudah hilang, Bu Roro pingsan, dan Pak Pamuji terkurung.
****
Di dalam mobil van yang melaju kencang, Shanum berusaha sekuat tenaga untuk melawan. Shanum berusaha meronta, mencoba melepaskan ikatan tali yang melilit tangannya. Namun, salah satu penculik dengan kasar melayangkan pukulan keras ke wajahnya.
"Diam kau! Jangan macam-macam!" bentaknya, membuat Shanum meringis kesakitan. Pukulan itu membuatnya sedikit kehilangan kesadaran, namun ia tidak menyerah.
Mobil van itu berhenti di sebuah tempat yang sunyi dan gelap. Shanum diseret keluar, napasnya tercekat melihat sekeliling. Mereka berada di tepi hutan, dan dari kejauhan, ia bisa mendengar suara gemuruh air. Firasat buruk kembali menghantamnya.
Salah satu penculik mengeluarkan sebuah pisau dari balik pinggangnya. Shanum memejamkan mata, pasrah. Saat itulah, di tengah kegelapan, datanglah keajaiban. Terdengar suara teriakan dan perkelahian singkat. Rupanya, beberapa warga desa yang curiga melihat mobil van asing di malam buta mengikuti mereka.
Dalam kekacauan yang terjadi, Shanum berhasil melepaskan diri. Ia berlari sekuat tenaga, menjauhi para penculiknya. Namun, karena kondisi yang gelap dan jalanan yang tidak rata, Shanum terjatuh, kakinya terkilir. Rasa sakit yang luar biasa menusuk pergelangan kakinya, membuatnya sulit untuk berdiri.
Meskipun kesakitan, Shanum terus berusaha merangkak, namun para penculik itu dengan cepat berhasil mengejarnya. Dua orang pria kekar menariknya kasar. Orang suruhan Niar menyeret Shanum paksa, menyeret tubuhnya yang lemah melewati bebatuan dan semak-semak.
Shanum melihat ke depan, dan hatinya mencelos. Mereka membawanya ke tepi jurang yang sangat dalam. Suara gemuruh air yang tadi ia dengar ternyata berasal dari sungai yang mengalir di dasar jurang. Kegelapan malam membuat jurang itu tampak tak berujung, menelan semua harapan Shanum.
"Lepaskan saya! Kumohon!" Shanum menangis, memohon ampun.
Salah satu penculik tertawa sinis. "Percuma kau meratap. Nyonya besar sudah membayar kami mahal untuk mengakhiri riwayatmu di sini."
Mereka berdua berdiri di belakang Shanum, siap mendorongnya ke jurang yang sangat dalam. Shanum hanya bisa pasrah, air matanya terus mengalir. Inilah akhir hidupnya. Di tempat terpencil ini, ia akan dihabisi oleh orang-orang suruhan Niar. Bayangan Mariska melintas di benaknya, membuatnya semakin terpukul. Ia tidak akan pernah bisa melihat putrinya lagi.
****
Ruangan kerja Niar dipenuhi dengan tumpukan majalah pernikahan, contoh undangan, dan berbagai brosur katering mewah. Niar sibuk dengan persiapan pernikahan Wira dan Aura. Senyum puas tak pernah lepas dari bibirnya. Semua rencananya berjalan mulus. Wira yang amnesia kini sepenuhnya percaya bahwa Aura adalah tunangannya. Shanum sudah disingkirkan, dan kini pernikahan impiannya untuk Wira akan segera terwujud.
Di tengah kesibukan itu, ponsel di meja berdering. Niar melirik, dan senyumnya semakin lebar. Itu adalah nomor dari orang suruhannya. Niar mengangkat telepon dengan santai, yakin bahwa ia akan mendengar kabar baik.
"Hallo?" sapa Niar, nadanya penuh percaya diri.
"Nyonya, kami sudah berhasil," suara di seberang terdengar serak. "Pekerjaan sudah selesai."
Seketika, Niar menyeringai bahagia. Ia mengepalkan tangan, rasa kemenangan yang luar biasa menjalar di seluruh tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena ketakutan, melainkan karena euforia.
"Bagus," jawab Niar, suaranya dipenuhi kepuasan. "Bagaimana dengan anak itu? Mariska?"
"Anak itu sudah kami tinggalkan di desa, Nyonya. Dia aman," jawab pria itu.
"Sempurna," Niar menutup teleponnya. Ia bersandar di kursi, memejamkan mata, dan tertawa pelan. Tawa yang dingin, penuh kemenangan. Akhirnya Shanum bisa juga ia singkirkan. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi jalannya. Tidak ada lagi ancaman, tidak ada lagi penghinaan.
Niar memandang sekeliling ruangan yang dipenuhi persiapan pernikahan. Wira, putranya, akan segera menikah dengan wanita pilihan Niar sendiri. Mereka akan hidup bahagia, tanpa bayang-bayang Shanum yang ia benci. Ini adalah kemenangan terbesarnya.
Niar merasa ia sudah menang dan sama sekali tak bisa dikalahkan. Ia berhasil mengusir Shanum dari hidup Wira, menghapus ingatan putranya, dan kini menyingkirkan Shanum untuk selamanya. Ia percaya, takdir berada di tangannya. Kekuasaan, uang, dan ambisi adalah senjatanya. Dengan semua itu, ia merasa tak ada hal mustahil yang bisa mengalahkannya. Ia adalah sang pemenang, dan semua orang yang mencoba melawannya akan hancur. Kebahagiaan yang ia rasakan hari ini adalah hasil dari kejahatan yang sempurna.
****
Rivat baru saja tiba di rumah setelah membeli beberapa kebutuhan dari kota. Namun, suasana di depan rumahnya terasa aneh dan sepi. Pintu rumahnya terbuka lebar dan di dalam, ia melihat Mariska duduk meringkuk di sudut, menangis histeris. Hati Rivat langsung mencelos.
"Mariska! Ada apa, Nak?!" seru Rivat, berlari masuk. Ia segera menggendong Mariska. "Di mana Mama? Di mana Kakek?"
Mariska tak mampu menjawab, ia hanya bisa terus menangis. Isakan pilu keluar dari bibir mungilnya, tubuhnya gemetar ketakutan. Di lantai, Rivat melihat Bu Roro tergeletak tak sadarkan diri.
"Bu!"" Rivat berteriak panik. Ia meletakkan Mariska dengan hati-hati, lalu bergegas mengecek kondisi ibunya. Terdengar suara ketukan keras dari dalam kamar, disusul teriakan, "Rivat! Tolong! Cepat buka pintunya!" Itu suara Pak Pamuji.
Setelah berhasil membuka pintu kamar, Pak Pamuji segera keluar, wajahnya pucat. "Rivat! Mereka menyeret Shanum! Mereka bawa pergi!"
Mendengar itu, Rivat menoleh ke arah Mariska. Mariska, dengan tangis berderai air mata, mencoba menceritakan apa yang terjadi.
"Om Rivat... orang jahat... orang jahat bawa Mama..." isak Mariska, menunjuk ke arah pintu. "Nenek pingsan... Kakek dikunci..."
Rivat mengepalkan tangannya, amarahnya meluap. Ia tahu siapa dalang di balik semua ini. Niar. Ia telah menepati ancamannya, dan kini nyawa Shanum dalam bahaya. Rivat harus bertindak cepat.