NovelToon NovelToon
Ibu Sambung Kekasihku

Ibu Sambung Kekasihku

Status: tamat
Genre:Fantasi Wanita / Tamat
Popularitas:399
Nilai: 5
Nama Author: Sansus

Ini salah, ini sudah melewati batas perkerjaan ku.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pendarahan

Aku tidak mengingat apa yang terjadi sebelumnya, hal yang terakhir aku ingat adalah diri ku yang terduduk di sofa milik Om Javar yang ada di rumah nya dengan rasa sakit di perut yang teramat sangat. Namun, saat aku membuka mata hal pertama yang aku lihat adalah ruangan yang didominasi oleh warna putih dan bau obat-obatan khas rumah sakit, sesuai dugaan ku jika aku sedang terbaring di ranjang rumah sakit.

Kepala ku masih cukup pening, tapi aku langsung menyentuh perut ku untuk memastikan bahwa 'dia' baik-baik saja walaupun belum terasa kehadiran nya. Aku menghela nafas lega, karena merasa 'dia' masih baik-baik saja disana, tapi kenapa aku bisa ada disini?

Saat di kepala ku muncul pertanyaan itu, di saat itu juga pintu kamar rawat ku terbuka dan dapat aku lihat lelaki yang notabene Ayah dari anak ini sedang berdiri di ambang pintu kemudian berjalan ke arah ku. Aku langsung memalingkan wajah karena malas melihatnya, dia adalah penyebab aku ada disini meskipun aku belum tahu pasti apa yang terjadi pada ku.

"Kamu udah sadar?" Pertanyaan itu datang dari mulut milik nya.

Aku tidak menjawab, berusaha menghiraukannya dan lebih memilih untuk kembali memejamkan mata dari harus melihat dia ada di hadapan ku.

"Apa masih ada yang sakit? Atau kamu butuh sesuatu? Tolong jawab, jangan diamkan saya."

"Ck, aku gak kenapa-kenapa."

"Gak kenapa-kenapa tapi bisa sampe pingsan dan keluar darah kayak tadi?"

"Huh? Keluar darah? Aku kenapa?! 'dia' baik-baik aja kan?"

"Tenang dulu, tanya nya satu-satu. Tadi katanya gak kenapa-kenapa."

"Ish gak tau deh, aku males sama Om. Udah sana keluar."

"Yakin gak mau tau kamu kenapa?"

"Aku bisa tanya sendiri nanti ke perawatan."

"Nanti saya suruh perawatnya gak kasih tau ke kamu."

"Mau Om apa sih?!" Karena sudah terlanjur kesal, aku pun menaikan suara ku.

"Shutt.. ini rumah sakit, gak boleh berisik."

"Lagian Om sih."

"Kamu tadi pendarahan." Sontak saja suara dari nya langsung membuat ku menatap kepada nya dengan tatapan terkejut.

"A-apa? Tapi 'dia' gak kenapa-kenapa kan Om?"

"Tadi dokter bilang kalau 'dia' gak kenapa-kenapa. Tapi kamu harus memperhatikan kesehatan kamu dan juga 'anak kita', jaga pola makan dan jangan terlalu kecapekan." Jelas nya kepada ku.

Sekali lagi aku menghela nafas lega, memang akhir-akhir ini waktu makan ku tidak teratur, makan pun hanya makanan seadanya atau makanan instan, ditambah dengan aku bekerja yang menjadi penyebab aku kecapekan, tapi mau gimana lagi itu semua agar aku tetap bisa hidup.

Wajah ku mendadak lesu, mengingat kehidupan ku beberapa hari yang lalu, hal itu tentu saja didasari oleh seorang lelaki yang ada di depan ku.

"Kamu kenapa? Ada yang sakit lagi?"

"Aku gak kenapa-kenapa, Om boleh keluar dari sini. Aku lagi pengen sendiri."

"Saya tetap disini." Katanya mutlak yang tidak bisa aku bantah.

Bodo amat dengan keberadaan nya di kamar rawat ini, tapi aku hanya sedang ingin menangis sekarang, entah kenapa sejak masa kehamilan emosi ku menjadi tidak stabil.

Tidak terasa air mata ku meluncur begitu saja membasahi pipi ku dan rasa sesak di dada ku membuat ku sesenggukan dan hal itu tentu saja mengundang perhatian dari lelaki yang baru saja duduk di sofa yang ada di kamar rawat itu, dia langsung bangkit dan menghampiri ku.

"Hiks hiks.. hikss hiks." Aku menutup wajah ku dengan kedua telapak tangan ku, air mata terus saja keluar dari mata ku.

Dapat aku rasakan lelaki itu lebih mendekat ke arah ku dan kemudian tubuh ku dibawa ke dalam pelukan nya. Aku tidak berusaha melepaskan diri karena memang sekarang ini yang aku inginkan hanya melepaskan emosi ku dengan cara menangis, dalam pelukan nya aku dapat merasakan tepukan pelan tangan nya di bahu ku, berusaha menenangkan.

Setelah dirasa cukup untuk aku menangis, aku pun melepaskan diri dari pelukan dan berusaha untuk duduk dengan benar meskipun masih harus dibantu oleh nya, akibat menangis tadi aku merasakan haus tapi dikarenakan gelas yang berisi minuman tidak bisa aku jangkau dengan sendiri mau tidak mau aku meminta bantuan nya untuk mengambil air minum itu.

"Om, tolong ambilin air minum yang disitu." Ucap ku sambil menunjuk ke arah dimana air minum berada.

Tanpa banyak bicara, lelaki itu langsung mengambilkan aku minum dan memberikannya pada ku. Setelah itu tidak ada lagi percakapan antara kami, lelaki itu sudah kembali duduk di sofa yang ada di kamar rawat ini.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu, bagaimana dengan Damar?? Aku kan tadi sore sedang bersama dia tapi malah tiba-tiba pergi atau lebih tepatnya dibawa kabur oleh lelaki yang sekarang sedang duduk di sofa yang ada di depan ku.

Langsung saja aku mencari handphone milik ku, tapi sayang nya mata ku tidak menemukan keberadaan handphone tersebut. Mungkin karena melihat aku kebingungan mencari sesuatu, Om Javar bertanya kepada ku.

"Mencari apa?"

"Handphone aku."

Dia pun bangkit dari tempat duduk nya dan merogoh sesuatu yang ada di saku nya, ternyata itu handphone milik ku yang langsung dia serahkan kepada ku.

"Makasih." Ucap ku setelah menerima handphone itu dari tangan nya.

Dengan cepat aku membuka handphone tersebut dan langsung disuguhkan oleh notifikasi chat dan panggilan dari nomor Damar, dia pasti mencari-cari ku. Aku pun langsung menelpon balik nomor nya untuk memberikan kabar pada nya jika aku baik-baik saja.

"Halo?"

'Amira, kamu kemana aja?! Tiba-tiba hilang gitu aja.'

"Ya ampun pelan-pelan Dam. Aku pas tadi sore lupa kasih tau kamu kalo aku bareng sama temen aku." Setelah mengucapkan itu aku pun melirik ke arah dimana Om Javar yang sedang duduk sambil memperhatikan ku.

'Tapi seenggaknya tadi tunggu aku dulu sebentar, Amira.'

"Iya-iya aku minta maaf."

'Dimaafin, sekarang kamu dimana? Perlu aku jemput gak?'

"Enggak perlu deh Dam, aku mau nginep soalnya."

'Ohh gitu. Tapi kamu gak kenapa-kenapa kan, Amira?'

"Aku gak kenapa-kenapa, kamu tenang aja. Besok juga aku bakalan pulang lagi ke kosan."

'Syukur deh kalo gitu.'

"Ya udah telpon nya aku tutup ya?"

'Iya, bye.'

Panggilan kami pun terputus, aku meletakkan handphone milik ku di atas nakas yang ada di samping ranjang ku.

"Siapa tadi?" Pertanyaan tiba-tiba itu datang dari Om Javar.

"Temen."

"Temen?"

"Iya, dia temen kosan aku."

"Jadi sekarang kamu tinggal di kosan campuran?"

"Iya, lagipula disana keamanannya juga ketat dan pastinya harga sewa nya lebih murah dari yang sebelumnya."

Raut kemarahan dapat aku lihat di wajah nya, tapi kenapa dia harus marah?

"Kamu saya suruh tinggal di apartemen milik saya tapi gak mau, malah lebih memilih buat tinggal di kosan campuran?"

"Buk-" saat aku hendak menjawab pertanyaan dari nya, dering dari handphone milik ku mengentikan ku.

Nama Ibu Ida pemilik toko tempat aku berkerja tertera disana, langsung saja aku mengangkat panggilan dari nya itu

"Halo, Bu? Ada apa?"

'Halo? Nak besok toko akan Ibu tutup dulu karena ada saudara jauh Ibu yang meninggal, jadi kamu enggak perlu berangkat ke tempat kerja ya.'

"Baik Bu, aku turut berdukacita ya. Padahal niatnya tadi aku mau minta izin sama Ibu buat gak masuk kerja karena aku lagi gak enak badan."

'Ya udah kalo gitu besok kamu manfaatin waktunya buat istirahat, telpon nya Ibu tutup ya?'

"Iya Bu, makasih banyak."

Saat baru saja aku menurunkan handphone dari telinga ku dan berniat menaruhnya kembali ke atas nakas, tiba-tiba pertanyaan dari Om Javar menghentikan ku.

"Jadi kamu juga kerja?!"

"Suara Om bisa dikecilin gak? Ini rumah sakit."

"Ck, saya tanya sekali lagi. Kamu kerja? Buat apa?"

"Ya tentu buat menuhin kebutuhan hidup aku."

"Apa uang dari saya gak cukup buat kamu?"

"Itu bukan uang aku, itu uang anak Om yang ada dikandung ku."

"Apa salahnya kamu juga memakainya?"

"Aku masih bisa memenuhi kebutuhan aku sendiri, lagipula aku gak berhak buat nerima uang itu. Uang dari Om waktu itu masih aku simpan untuk biaya anak ini nanti."

"Berhenti bekerja." Ucap nya penuh penekanan.

"Om apa-apaan? Aku susah-susah cari kerja tapi Om malah nyuruh aku berhenti seenaknya."

"Berhenti bekerja atau saya bakar tempat kerja mu itu." Perkataannya itu tidak pernah main-main.

"Tapi kalo aku gak kerja, aku gak punya penghasilan."

"Masih ada saya."

Aku menghela nafas panjang. "Aku gak pantes terima uang itu dari Om, selagi aku masih bisa cari uang sendiri buat diri aku sendiri."

"Nurut apa kata saya, pikirkan anak yang ada di kandungan kamu. Saya akan membiayai biaya hidup kamu dan saya mohon agar kamu kembali untuk kuliah."

"Kuliah? Om tau aku berhenti kuliah?"

Dia mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan ku.

"Oke. Aku bisa terima kalo Om mau biayain hidup aku selama aku hamil anak Om ini, tapi untuk kuliah aku gak bisa. Aku takut sewaktu-waktu aku sudah tidak mempunyai biaya untuk membiayai kuliah ku disaat aku sudah melahirkan anak ini."

"Saya akan menikahi kamu dan secara otomatis semua biaya hidup kamu saya yang tanggung."

"Aku gak bisa nikah sama Om."

"Kenapa? Kamu takut sama Geovan?"

Aku sama sekali tidak memikirkan untuk mempunyai rasa takut terhadap Geovan, tapi aku lebih takut hanya dimanfaatkan tubuh dan wajah nya saja oleh lelaki sepertinya.

"Enggak, aku sama Geovan udah gak ada hubungan apa-apa. Ini semua sudah aku aku pertimbangkan, dan aku tidak ingin menikah dengan Om."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!