Yang sudah baca novelku sebelumnya, ini kelanjutan cerita Brayn dan Alina.
Setelah menikah, Brayn baru mengetahui kalau ternyata Alina menderita sebuah penyakit yang cukup serius dan mengancam jiwa.
Akankah mereka mampu melewati ujian berat itu?
Yuk baca kelanjutan ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
"Salah satu cara untuk menghambat penyebaran sel kankernya, dengan melakukan kemoterapi. Akan ada beberapa efek samping saat kamu menjalani kemoterapi? Kerontokan rambut, mual, pusing dan lemas salah satunya," terang wanita itu.
"Apa tidak ada cara lain?" lirih Alina.
"Sayangnya, tidak ada."
"Aku takut sekali. Bagaimana kalau kemoterapi itu hanya memperburuk keadaanku?"
"Tapi, tidak ada salahnya mencoba, bukan? Hasilnya tergantung bagaimana nanti tubuhmu akan merespon obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi. Aku mengerti ini memang berat dan hampir semua pasien mengeluhkan efek kemoterapi."
"Berapa lama biasanya pasien dengan kondisi sepertiku bertahan?" Alina menyeka air mata dengan geraknya yang masih lemah.
Ia perlahan menatap Siska, namun matanya justru tertuju pada sang suami yang berdiri tepat di belakang Siska.
Namun, Brayn bereaksi lebih cepat dengan meletakkan jari telunjuk di depan bibir sebagai isyarat agar Alina tetap diam tidak memberitahu perihal keberadaannya di kamar.
"Harapan hidup penderita kanker stadium empat hanya 15 persen. Bisa 6 bulan, dan paling lama satu tahun."
Sepasang mata Alina terpejam setelah mendengar kalimat itu.
Brayn dapat melihat bagaimana istrinya itu terlihat ketakutan dan khawatir.
Setiap kata yang keluar dari mulut Siska seperti ujung tombak yang menikamnya.
"Ehem." Brayn mengeluarkan suara dehaman yang membuat Siska sontak menoleh.
Wanita itu jelas terkejut dan bertanya-tanya sejak kapan Brayn ada di ruangan itu.
"Selamat pagi, aku kemari untuk menjenguk Alina."
"Menjenguk?" desis Brayn. "Tapi, kenapa aku justru melihat kamu sedang berusaha menakutinya dengan penjelasanmu?"
Brayn beranjak mendekat ke arah ranjang pasien. Buket bunga yang dibawa Siska ia pindahkan ke belakang meja.
Melihat reaksi Brayn, Siska menarik napas dalam.
Tak dapat dipungkiri kecemburuan merasuk ke dalam hati semakin dalam. Menyiksa batinnya dengan berat.
Terlebih saat ia melihat di depan matanya sendiri betapa lembutnya Brayn terhadap Alina. Mengecup kening, memeluk, dan membujuknya.
Ketika jemari lelaki itu membelai pipi istrinya dengan lembut, Siska membuang pandangan. Tak sanggup melihat.
"Tenang, ya. Semua akan baik-baik saja. Sebenarnya, kemoterapi itu tidak seburuk yang kamu bayangkan. Sebentar akan aku jelaskan," bisik Brayn lembut, lalu menatap Siska.
"Dokter Siska, bisakah kamu meninggalkan aku berdua dengan istriku?"
"Emh tentu. Silahkan. Kebetulan, aku juga mau keluar." Ia menatap Alina. "Semoga cepat sembuh."
Alina hanya mengangguk pelan.
Ketika Siska akan keluar dari pintu, panggilan Brayn kembali menghentikan langkahnya. Ia menoleh dan menatap lelaki itu.
"Setelah ini kita harus bicara." Nada Brayn terdengar dingin saat mengucapkan kalimat itu.
Siska mengangguk, lalu segera beranjak keluar kamar.
Pada saat yang sama terlihat Bagas dan Maya yang masih menunggu di depan.
Keduanya tampak terkejut saat melihat Siska keluar dari ruang perawatan Alina.
Dokter wanita yang terlibat video viral dengan Brayn itu terlihat santai keluar dari kamar.
"Mau apa dia di kamar Alina?" ucap Bagas.
Ia tampak geram. Masih segar dalam ingatannya saat Siska berkata bahwa ia di luar kendali karena Alina yang meminta mengganti posisinya.
"Tidak tahu, Mas. Untuk apa dia menemui Alina lagi? Aku jadi khawatir dia melakukan sesuatu."
Bagas dan Maya segera menghampiri sang dokter. Wanita itu menyapa dengan sopan.
"Apa kabar, Om, Tante?"
"Seperti yang kamu lihat," sahut Bagas datar.
"Aku ikut sedih dengan apa yang terjadi dengan Alina. Aku minta maaf untuk kejadian kemarin. Kejadiannya tidak disengaja dan aku juga tidak tahu kalau akan seperti ini jadinya."
Tak ada jawaban dari Maya maupun Bagas. Menciptakan suasana canggung di antara mereka.
"Kalau begitu aku permisi dulu. Aku harus menangani beberapa pasien." Setelahnya, ia segera beranjak.
Maya dan Bagas masih menatapnya dari belakang.
Sementara di kamar, kondisi Alina belum stabil. Ia masih tampak sedikit ketakutan setelah ucapan Siska tadi.
"Aku ada kejutan untuk kamu," bisik Brayn, mendekaр istrinya.
"Aku tidak mau kejutan apapun. Aku mau pulang ke rumah. Aku tidak suka di sini," bisik Alina lemah. "Kamu pasti mau membujuk aku untuk mau ikut keluar negeri dan menjalani kemoterapi, kan?"
"Aku memang akan membawamu ke luar negeri. Bagaimana kalau kamu yang pilih ke negara mana."
"Tidak mau," sahut Alina menggeleng.
Brayn membelai puncak kepala. Menggenggam tangan dan mengusap rambutnya.
"Khumairah ... kamu harus ikut aku keluar negeri. Bukan untuk menjalani kemoterapi, tapi, untuk ... berbulan madu."
Alina menatapnya penuh tanya. "Bohong. Itu pasti akal-akalan kamu supaya aku mau menjalani kemoterapi kan?"
"Hanya penderita kanker yang harus menjalani kemoterapi. Kamu tidak butuh itu."
"Maksudnya? Bukankah aku juga penderita kanker?"
Brayn mengeluarkan map berisi hasil pemeriksaan Alina dari sebuah laboratorium.
"Siapa yang menyarankan kamu untuk melakukan pemeriksaan di laboratorium ini?"
"Siska. Waktu itu aku bertanya padanya tentang gejala yang aku alami, tapi aku takut periksa ke rumah sakit. Dia menyarankan padaku untuk ke laboratorium saja. Hasilnya seperti ini."
Brayn mengangguk. "Sayang, pemeriksaan ini salah. Karena hasil pemeriksaanmu kemarin sama sekali tidak ditemukan sel kanker dalam tubuhmu. Kamu bersih dari kanker."
"Apa?" Mata Alina yang sayu itu membulat.
"Iya, sepertinya saat melakukan pemeriksaan ada kekeliruan. Entah hasil lab mu tertukar dengan penderita kanker atau tim medisnya yang melakukan kelalaian."
Mendengar itu, Alina belum mampu percaya sepenuhnya.
Ketakutan akan penyakit berat yang sedang menggerogoti tubuhnya masih melekat dalam hati.
Mengira bahwa ucapan suaminya sekarang hanyalah kebohongan untuk menghilangkan kegelisahan.
Paham dengan tatapan istrinya, Brayn mengeluarkan ponsel.
Memperlihatkan salinan hasil pemeriksaan Alina yang sempat ia minta dari pihak rumah sakit.
Melihat itu, cairan bening yang mengalir dari mata Alina semakin deras.
Nyaris tak percaya. Ketakutannya selama beberapa bulan ini ternyata adalah sebuah kesalahan.
"Ini tidak bohong, kan? Kalau memang aku tidak mengidap kanker, kenapa aku mengalami gejala sakit berat?"
"Khumairah, badan kamu tidak apa-apa. Semua bermula dari sini." Brayn menunjuk pelipis Alina berulang-ulang. "Kamu terlalu ketakutan dan cemas sampai stress. Dan apa kamu tahu kalau stress bisa membunuh orang secara perlahan?"
Alina membisu. Pikirannya seperti melayang saat ini.
"Apa yang kamu rasakan selama ini adalah efek dari ketakutan yang kamu ciptakan sendiri. Kamu akhirnya tidak bisa menjaga kesehatan dan membuat tubuhmu semakin lemah. Tekanan darah rendah sampai pucat dan kurus seperti ini."
"Kamu tidak bohong, kan?" lirihnya lagi.
"Insyaallah, Sayang. Kamu baik-baik saja. Kamu punya banyak kesempatan untuk hidup bahagia, menemaniku, melahirkan anak-anakku."
Tak ada kata yang mampu terucap. Alina membenamkan diri ke dalam pelukan suaminya.
Harapan untuk bahagia yang semula sirna itu perlahan tumbuh kembali.
Ketakutan dan rasa cemas yang sempat menguasai hati perlahan menghilang.
Keduanya masih saling memeluk saat Maya dan Bagas memasuki kamar.
"Ayah dan Ibu sudah tahu. Aku sudah beritahu mereka tadi," ucap Brayn.
Alina menyeka air mata saat menatap ayah dan ibunya. Memintanya mendekat dan memeluk mereka.
"Bro-nya Ayah tidak bohong sama aku, kan?" Alina menatap ayahnya dengan derai air mata.
Bagas menggeleng pelan, mengusap kepala putrinya.
"Kalau si Bro bohong, nanti Ayah tonjok!"
"Sadis Ayah Bro!" gurau Brayn, tertawa pelan.
"Alhamdulillah, Ya Allah."
**********
**********
up lagi thor