Ivana Joevanca, seorang wanita ceria dan penuh ide-ide licik, terpaksa menikah dengan Calix Theodore, seorang CEO tampan kaya raya namun sangat dingin dan kaku, karena tuntutan keluarga. Pernikahan ini awalnya penuh dengan ketidakcocokan dan pertengkaran lucu. Namun, di balik kekacauan dan kesalahpahaman, muncul percikan-percikan cinta yang tak terduga. Mereka harus belajar untuk saling memahami dan menghargai, sambil menghadapi berbagai tantangan dan komedi situasi yang menggelitik. Rahasia kecil dan intrik yang menguras emosi akan menambah bumbu cerita.
“Ayo bercerai. Aku … sudah terlalu lama menjadi bebanmu.”
Nada suara Ivy bergetar, namun matanya menatap penuh keteguhan. Tidak ada tangis, hanya kelelahan yang dalam.
Apa jadinya jika rumah tangga yang tak dibangun dengan cinta … perlahan jadi tempat pulang? Bagaimana jika pernikahan ini hanyalah panggung, dan mereka akhirnya lupa berpura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 - Dibawah Bayang-bayang Kekayaan
"Permintaan tidak masuk akal apa itu?" Calix Theodore menatap dingin wanita di depannya.
Wanita itu baru saja dipaksa masuk setelah mengakhiri pesta kecilnya, lalu mengajukan permintaan yang tidak ada dalam kamusnya.
"Kau istri sah dari pemilik utama Theodore Estates dan kau baru saja mengajukan diri untuk menjadi sekretaris suamimu? Uang yang kuberikan masih tidak cukup?" tanya Calix lagi.
Wanita yang selalu dilayani kehidupannya itu tiba-tiba ingin bekerja? Ia telah terbiasa dengan keinginan mewah istrinya tersebut, tapi bagian ini, benar-benar di luar pemahaman Calix.
"Uangmu sangat cukup! Bahkan sangat banyak hingga membuatku bosan! Kau sering meninggalkanku sendirian. Bagaimana aku tidak bosan?" jawab Ivy sedikit ketus. Hanya sedikit karena wajah tampan itu mengalihkan kekesalannya. Padahal pria itu sedang marah, tapi ia tetap terpesona olehnya.
Fitur wajah yang tegas, hidung mancung, rahang yang kuat, dan alis yang tebal. Ada jambang tipis yang menambah kesan maskulin. Wajar jika ia terpesona, bukan?
"Pantas saja banyak yang menggodanya," gumam Ivy sangat pelan. "Toh raga itu milikku, meski hatinya tidak." Ivy cukup puas dengan kenyataan itu.
"Apa yang kau katakan?" Belum saatnya untuk bersantai.
Ivy melangkah maju dengan cepat. Ayo bujuk dia!
"Calix, bukankah bagus jika aku di sini. Mereka tidak tahu aku istrimu. Mungkin aku juga bisa membantu menemukan orang-orang curang yang merugikanmu." Tentu saja ia akan diremehkan sebagai karyawan baru dan tidak ada yang akan waspada terhadapnya.
"Jujur saja, kau suka teman-teman barumu," datar Calix.
"Itu ..." Ivy tidak dapat menyangkalnya.
"Kantor bukan tempat untuk bermain. Kau tidak bisa datang dan keluar sesuka hatimu setelah bekerja hanya karena kau bosan," tekan Calix sekali lagi.
Ivy tidak menjawab lagi, namun matanya tak kalah tajam menatapnya. Seharusnya ia tahu jika tidak mudah membujuk pria tak berperasaan itu.
Trevor yang berdiri tak jauh dari Ivy akhirnya berdehem kecil untuk mencairkan suasana karena atmosfer dalam ruangan ini sudah cukup dingin.
"Begini, Nyonya ... bukan maksud tuan melarang Anda datang. Jika Nyonya ingin menemui teman-teman, Anda tinggal datang saja, tidak perlu bekerja," jelas Trevor. Dirinyalah yang paling waras di antara keduanya, jadi sudah sering ia menjadi penengah dalam situasi ini.
"Lalu, apa alasanku datang?" Ivy masih bernada ketus.
"Nyonya tinggal mengatakan jika Nyonya istri tuan."
"Tidak mau!" sanggah Ivy langsung. "Jika aku bilang begitu, mereka tidak akan mau berteman denganku. Mereka akan menunduk dan berkata, “Selamat pagi, Mrs. Theodore” dengan formal.”
Trevor kehabisan jawaban. Yang dikatakan sang nyonya ada benarnya juga.
Calix menghela nafas. Ia tidak mau membahas ini di jam kerja. Ada masalah perusahaan yang membuatnya harus lembur semalaman hingga hari ini dan itu cukup membuatnya lelah. Permintaan Ivy yang tidak masuk akal ini malah membuang-buang waktunya.
"Pulanglah dulu. Kita bicarakan di rumah."
"Seperti kau akan pulang saja," jawabnya menggerutu. Wanita itu berbalik, menyambar tasnya dan berjalan ke luar tanpa berpamitan.
"Wanita itu ..." Calix memijat keningnya lelah. "Aku sudah bersabar selama empat tahun ini."
"Maaf, Tuan ..." Trevor hendak bicara.
"Jangan mengatakan hal yang membuatku kesal." Calix memperingatinya lebih dulu.
-
-
-
-
"Kau tidak membuat suamimu kesal, kan?"
Setelah menghadapi pria tidak berperasaan, sekarang ia harus menghadapi dua wanita berkepala batu yang keras hati.
“Kalian memanggilku datang hanya untuk memastikan aku tidak membuat sumber keuangan kalian kesal?”
“Ivy!” tegur sang ayah.
"Aku sudah bersikap baik," jawab Ivy langsung, seadanya.
"Bagaimana denganmu? Sudah empat tahun, tapi kau belum hamil juga?" Carol Joevanca, sang nenek kini angkat suara. "Kau yakin dia tidak mandul, Larissa?"
Larissa Joevanca, ibu kandung Ivy meletakkan cangkir tehnya. "Tidak, Bu. Aku sudah memeriksa semuanya dan dia normal."
"Lalu, kenapa? Kau tidak mengonsumsi pil kontrasepsi, kan, Ivana?" cerca sang nenek lagi.
"Grandma ..." Ivy menatap sang nenek intens. "Jika aku melakukannya, mom pasti sudah mengetahuinya dari hasil pemeriksaanku setiap bulan."
Carol tidak mendebatnya lagi. Pemeriksaan yang dilakukan setiap bulannya pada Ivy memang mengatakan begitu. Lagi pula, Ivy tidak mungkin berani berbohong.
“Kenapa hanya memeriksaku? Masalah tidak datang dari pihak wanita saja. Laki – laki juga bisa punya masalah kesehatan. Memangnya ini zaman kuno,” gerutu Ivy seraya bersedekap dada.
"Sudahlah, Bu. Ini hanya masalah waktu saja." Philip, sang ayah menengahi.
"Kalau begitu hanya masalah waktu saja hingga dia diceraikan," cibir Carol.
Lihat? Kalian mengabaikan ucapanku, kan! Mana berani mereka meragukan pria kaya itu, apalagi mengatainya mandul!
Ivy hanya menatap lurus ke depan. Bukan hal baru baginya mendengar keluarga ini begitu meremehkannya. Memang benar ia dimanjakan, namun tidak pernah ia melihat kasih sayang sebagai keluarga.
Keluarga ini telah menduduki posisi lima besar dari keluarga terkaya di kota sejak lama. Wajar jika mereka mencukupi segala kebutuhan anak dan cucu mereka meskipun hal tersebut dilakukan untuk sekedar menjaga reputasi nama baik keluarga dan harga diri mereka.
Sama halnya seperti seseorang yang mendirikan sekolah dan memberi bantuan meskipun ia meremehkan mereka sebagai orang miskin.
"Ibu, aku akan bicara dengan Catherine soal itu," sahut Larissa.
"Jika begitu kami tinggal bercerai saja, Grandma. Kalian juga tidak perlu memungutku kembali." Ivy berkata sambil berdiri dari kursinya. "Aku pulang sekarang. Calix sudah perjalanan pulang ke rumah."
"Lihat anak itu. Tidak pernah sopan pada neneknya!" Carol menghardik geram.
Ivy hanya mengabaikannya. Lebih baik cepat-cepat pergi dari sini daripada mendengarkan keluarga yang bisa menjatuhkan mentalnya.
"Kita ke mana setelah ini, Nyonya?" tanya Sopir setelah membuka pintu mobilnya. Jangan tanya kenapa sopir ini di sini, orang itu ternyata mengikutinya ke perusahaan.
"Pulang."
Baru saja ia akan masuk ke mobil, seseorang datang memanggil namanya. Seorang wanita muda dengan perut besar berjalan cepat mendekatinya.
"Ivy, mungkin lebih baik kau menjaga sikap dengan Grandma."
Gwen Willow, putri dari pengusaha properti yang kini telah menjadi menantu dari keluarga Joevanca. Wanita itu telah menikah dengan kakak laki-lakinya, Alec Joevanca dan kini telah mengandung selama tujuh bulan setelah satu tahun pernikahan mereka.
"Kau tahu? Aku bersyukur kau hamil. Jika tidak, keluarga itu mungkin akan sibuk mendepakmu dari rumah, tapi lebih baik jika tidak."
"Maksudmu?"
“Kau tahu jelas maksudku, Gwen. Kau akan bahagia jika tidak tinggal di sini," jawab Ivy seadanya. "Aku tahu Alec tidak begitu baik padamu." Ucapan Ivy cukup membuat Gwen terdiam.
"Aku tahu kau takut, tapi cobalah untuk tidak terlalu patuh — demi kebaikanmu sendiri. Aku berkata begini karena kita mirip," pesan Ivy sebelum masuk ke mobilnya.
Selama perjalanan pulang, Ivy hanya menatap ke luar jendela.
Hanya masalah waktu saja.
Iya, memang benar ini hanyalah masalah waktu sampai — nasibnya berubah di masa depan. Sampai kapan pernikahannya bertahan, nenek yang menuntutnya sempurna, dan orang tua yang melihatnya seperti pajangan indah bernilai tinggi.
"Aku punya banyak uang, tapi uang itu bukan milikku," gumamnya kecil. "Jika Calix menceraikanku, Grandma pasti akan mengusirku, lalu aku akan jadi miskin." Pikirannya berlarian.
"Anda bilang sesuatu, Nyonya?"
"Tidak."
Aku harus mengumpulkan uang! Pikiran konyol itu muncul di benaknya.
...~o0o~...
mungkin si ivy klo melek jg bakal meleyot ya /Applaud/emhh manisnya abang cal/Kiss/
semangat kaka sehat selalu
pliss thor jangan sampai hiatus lagi yaa and jaga kesehatan selalu
smangat 💪💪💪