SEASON 1!
Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.
Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...
Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.
Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.
Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?
Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?
Happy reading 🌷🌷
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAYAP DAN UJUNG TEBING
Mereka... terus mengejar, itu sangat mengganggu!
Di balik pepohonan, langit siang tampak muram, seperti menyembunyikan rahasia yang tak ingin diungkap.
Kuda-kuda mereka berlari kencang menyusuri tanah liat licin dan akar-akar pohon yang menjuntai seperti perangkap.
"Sial!" desis Jaden, melihat banyak sekali yang mengejar.
Orang-orang berjubah gelap dengan senjata asing dan gerakan memburu seperti bayangan. Mereka tidak menyerah, tapi kuda-kuda mereka lebih cepat… dan keberuntungan belum meninggalkan rombongan kecil itu.
Dalam derapan kuda yang sangat cepat, burung kerajaan itu melesat di depan mereka, sayapnya berkilau seperti bayangan cahaya terakhir sebelum malam menelan segalanya.
"Ke arah sana!" seru Gerald.
Namun saat mereka melewati semak rimbun, burung itu menghilang. Di depan mereka, sebuah celah batu menjulang seperti mulut hitam dari tanah purba. Diam. Menanti.
“Tempat ini... tidak biasa,” gumam Jaden.
Gerald menarik napas dalam. “Kita masuk.”
Tapi belum sempat ia melompat turun, Daren sudah lebih dulu melompat dari kudanya. Tubuh kecil itu melesat cepat ke dalam celah batu, matanya terpaku... bukan karena keberanian, tapi seperti ditarik oleh sesuatu.
“Daren!” seru Benson. “Anak itu benar-benar...”
Mereka bertiga menyusul cepat, memasuki lorong batu yang sempit dan dingin. Di dalam, dindingnya dihiasi ukiran tua: gambar burung bersayap raksasa, singgasana batu, dan... seorang anak kecil dengan rambut perak memegang simbol aneh.
Daren terdiam di tengah ruangan bundar, memegang kalung tuanya yang sederhana. Di depan matanya, burung kerajaan itu telah menunggu.
Ia melayang turun pelan, mendarat di lantai batu.
Sayapnya terlipat.
Lalu ia berlutut.
Leher panjangnya membungkuk rendah ke arah Daren. Paruhnya menyentuh lantai. Makhluk yang agung dan langka itu… tunduk.
Tak ada suara. Hanya detak jantung mereka sendiri.
Jaden menegang.
Benson melongo.
Dan Gerald… terdiam. Matanya tak bisa lepas dari Daren, anak kecil yang berdiri di hadapan seekor makhluk legendaris yang sang sangat agung.
Teryata ucapan paman benar.
Bisikan dalam hati Gerald tidak menemukan jawab.
Pemilik burung kerajaan itu.... adalah Duke utara Xander. Jadi... kurasa burung itu akan mengetahui darah keturunan Xander. Pikirannya melayang pada kata-kata Kanel.
Dan di saat keheningan itu membungkus mereka seperti kabut, suara di luar kembali terdengar.
Raungan. Derap kaki.
Daren menoleh. Ia tidak bicara apa-apa. Tapi ia menyentuh kepala burung itu pelan, dan burung itu membuka sayapnya lebar, membentuk perisai cahaya samar yang melindungi mereka dari pintu masuk.
Burung kerajaan itu tetap membungkuk di hadapan Daren, namun saat ia membuka sayapnya lebih lebar, tetesan darah jatuh ke batu di bawahnya.
Daren terperangah. Sayap kanannya robek, bulu-bulunya yang semula sempurna kini acak-acakan dan meneteskan darah keunguan. Luka itu tidak baru, tapi belum pulih, seolah... burung itu telah bertarung demi bisa sampai ke sini.
"Dia terluka," bisik Daren, suaranya lirih tapi sarat iba.
Gerald segera maju, lututnya menyentuh lantai tanah bebatuan, menatap luka itu dengan dahi berkerut. "Luka seperti ini… tidak mungkin dari binatang biasa."
Jaden menarik napas, matanya awas pada lorong masuk. “Kita harus bergerak. Sekarang juga.”
Dan saat itu juga, suara derap kaki dan teriakan samar terdengar dari kejauhan. Mereka mendekat. Banyak. Terlalu banyak.
Benson melihat ke sekeliling. "Ada jalan lain?!"
cakar burung itu perlahan menggulirkan sesuatu ke lantai... selembar kertas tua, tepiannya robek dan kecokelatan, seperti telah dibawa melintasi badai, darah, dan waktu.
Gerald langsung maju, mengambilnya sebelum sempat disentuh tanah terlalu lama. Ia membuka gulungan itu dengan hati-hati, matanya menyipit saat membaca tulisan tangan yang samar namun masih bisa dikenali:
Saatnya menumpahkan darah istana.
Gerald menelan ludah. Tangannya menggenggam kuat surat itu, hampir robek karena tekanan jemarinya. Ia menatap Daren, lalu ke burung itu, lalu kembali ke surat lusuh.
“Ini… ini bukan kebetulan.”
Jaden membaca cepat dari belakangnya. “Surat ini... peringatan."
Gerald menatap tajam ke depan. Helaan napasnya tertahan di tenggorokan, matanya menyipit menembus kelam hutan yang mulai ditelan malam.
Dia bergumam pelan, nyaris tak terdengar oleh yang lain, “Darah? Sekarang mereka pasti...”
Namun sebelum kecemasan berubah jadi panik, Daren menoleh cepat ke sisi kiri gua. Di sana, tersembunyi di balik tirai lumut dan batu, ada sebuah sangkar besar berkilau—terbuat dari emas, disatukan bukan oleh besi, tapi sulur akar yang telah berubah menjadi logam.
Sangkar itu terbuka.
Cukup besar untuk menampung burung kerajaan.
Tanpa menunggu perintah, Daren berlari, menyentuh dada burung itu. "Ayo... kau harus masuk ke sana. Kami akan melindungi."
Seolah mengerti, burung itu menyeret sayapnya yang luka dan masuk perlahan. Begitu tubuh besarnya masuk, sangkar itu menyala samar dan menutup sendiri, bukan mengurung, tapi seperti menenangkan dan melindungi. Bulu-bulu burung itu mulai menyala lembut, tanda kekuatannya mulai pulih perlahan.
Gerald menatap semua ini dalam diam. Wajahnya sulit dibaca, antara takjub, dan khawatir.
"Tidak mungkin aku mati sekarang." bisiknya tanpa sadar.
Dan di balik batu tempat mereka masuk tadi, suara langkah kini semakin dekat.
Jaden mencabut pedangnya.
Gerald berdiri, tubuhnya memutar ke arah pintu.
Benson menggenggam erat tombaknya.
Di dalam sangkar, burung itu tertidur, dan Daren berdiri di depannya, seperti penjaga kecil dari legenda yang belum ditulis.
“Kita harus pulang secepatnya. Istana akan mendapat peperangan… entah dari suku mana,” ucap Gerald cepat, suaranya menekan panik yang nyaris menyelinap. Sorot matanya tajam, menatap ke arah langit yang semakin pekat, seolah waktu sudah tak bisa diajak berkompromi.
Tanpa ragu, ia berlutut di depan Daren dan mengangkat tubuh kecil itu ke pelana kudanya. Gerakan Gerald cepat, sigap, seperti seorang prajurit sekaligus kakak yang ingin memastikan tak ada satu pun yang tertinggal.
“Pegang erat,” bisiknya, dan Daren menurut, tangannya melingkar di pinggang Gerald, wajahnya tegang namun diam-diam menyimpan keberanian.
Di sisi lain, Jaden mengangkat sangkar emas yang berisi burung kerajaan dengan kedua tangannya. Meski tubuhnya kokoh, berat sangkar dan keagungan isi di dalamnya terasa menekan pundaknya secara berbeda. Ia menatap burung itu sejenak, sayapnya masih terlipat, luka di salah satu sisinya masih menghitam.
“Benson! Bersiaplah!” seru Gerald.
“Sudah, sudah! Aku bahkan siap bertarung dengan naga kalau perlu!” jawab Benson dari atas kudanya, namun suaranya sedikit bergetar karena beban kenyataan.
Kuda-kuda mereka melesat bagaikan bayangan yang mengoyak heningnya malam. Suara derap sepatu kuda menghantam tanah basah, bercampur napas berat dan degup jantung yang tak bisa lagi dipisahkan dari suara alam.
Mereka pergi.
Melesat menjauh dari tempat di mana takdir baru saja berbisik… namun tak mereka sadari, bahaya lain sedang menggenggam pedangnya.
Di kejauhan, di atas dahan pohon tinggi yang melengkung seperti penjaga bisu, seorang pria berjubah hitam itu, kembali mendekati mereka.
Ia tidak bergerak.
Hanya menatap ke arah cahaya samar yang menjauh.
"Bunuh Putra Mahkota.... sekarang!"
Suaranya tenang. Tapi kalimat itu memotong udara seperti pisau yang telah ditajamkan dengan dendam lama.
Dari balik bayang-bayang, siluet-siluet bersenjata mulai muncul, bergerak cepat, tanpa suara, tanpa ampun. Mereka mulai menyerbu dan mengejar.