Kita tidak pernah tau bagaimana Tuhan akan menuntut langkah kita di dunia. Jodoh.. meskipun kita mati-matian menolaknya tapi jika Tuhan mengatakan bahwa dia yang akan mendampingimu, tidak akan mungkin kita terpisahkan.
Seperti halnya Batu dan Kertas, lembut dan keras. Tidaklah sesuatu menjadi keindahan tanpa kerjasama dan perjuangan meskipun berbeda arah dan tujuan.
KONFLIK, SKIP jika tidak sanggup membacanya..!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Obat mabuk.
Rumah sudah nampak rapi. Setelah membersihkan diri dan sholat ashar, Jena langsung tidur sedangkan Bang Shano segera melihat keadaan dan keamanan sekitar rumah. Ia membiarkan istrinya beristirahat lebih dulu untuk memulihkan tenaganya.
Bang Shano melihat kompor disana masih menggunakan kompor minyak tanah. Sebagai seorang Danki baru tentu ada juga fasilitas kompor gas tapi ia pun tau pasti harga gas disana juga tidak murah meskipun dirinya sanggup saja membelinya. Bang Shano membuka pintu belakang rumah, di balik batas pagar sudah rimbun semak belukar. Mungkin seniornya lebih suka rapi hanya bagian area dalam pagar hingga rumah saja yang terlihat rapi.
Kakinya lanjut melangkah melihat sekeliling. Udara sangat dingin di puncak gunung. Kabut sudah mulai terlihat turun. Ia takut Jena tidak nyaman berada di area sekitar. Aliran sungai melewati area rumah panggungnya di dalam pagar.
"Tetap saja jadi sarang ular. Deras begini airnya. Bahaya juga kalau Jena terpeleset." Batinnya dalam hati.
...
Menjelang adzan maghrib, Bang Shano membangunkan Jena meskipun istrinya masih enggan untuk membuka mata.
"Sholat sebentar saja, yuk. Setelah itu makan dan balik tidur lagi." Bujuk Bang Shano.
"Jena nggak pengen makan. Semua rasanya pahit." Tolak Jena. Ia langsung memeluk Babg Shano sebagai 'obat' pereda mualnya.
"Satu atau dua sendok saja nggak apa-apa yang penting perutnya terisi. Kalau perutmu terus kosong pasti akan semakin mual." Jawab Bang Shano.
Jena menggeleng sebagai penolakan dan jelas hal itu membuat Bang Shano sangat cemas.
Bang Shano mulai berpikir keras. Dirinya sedang mengusahakan agar Jena bisa makan tapi di tempat terpencil seperti ini jelas tidak banyak pedagang makanan yang berjualan aneka menu yang mungkin bisa menjadi pilihan.
"Kamu pengennya apa? Mungkin ada makanan yang kamu mau."
Jena kembali menggeleng, betapa pusingnya pikiran dan hati suami Jena saat itu.
Bang Shano sampai mengurut pangkal hidungnya. Buntu sampai stress memikirkan Jena.
"Buka baju, Bang..!!" Pinta Jena.
Tanpa banyak bicara Bang Shano membuka kaos oblongnya. Tak disangka Jena langsung menyambarnya dan tenang dalam pelukannya.
'Apa ini?? Jena yang pengen atau memang bawaan bayi?'
Tapi jujur Bang Shano menikmatinya juga meskipun pasti merasakan bingung.
"Mau??" Sedikit banyak Bang Shano pasti terpancing oleh suasana.
Lebih tak menyangka lagi saat Jena mengangguk memberi lampu hijau. Sontak saja Bang Shano tersenyum dan melonggarkan tali pinggang celana pendeknya, reaksi tubuhnya sudah menegang dan memanas. Ia pun membebaskan tawanan dan siap maju ke medan pertempuran.
"Abang mau apa?" Tanya Jena dengan wajah polos tanpa dosa.
"Katanya mau. Kamu minta sama Abang, kan??" Bang Shano sudah waspada setengah kecewa takut malah dirinya yang salah arti.
"Jena cuma mau di peluk Abang."
Seketika rasa rindu Bang Shano yang sudah melambung tinggi kini terbanting keras ke bawah.
"Nanti, sholat maghrib dulu." Kata Bang Shano datar sambil menyambar kaosnya lalu berjalan meninggalkan kamar dan merapatkan kembali tali celana pendeknya.
...
Bang Shano melipat sajadahnya setelah itu menuju dapur dan membuat kopi. Wajahnya masih cemberut sambil menuang serbuk kopi dan susu. Jena pun mengikutinya.
"Kembali tidur, nanti Abang siapkan makan malam dan wajib di makan..!!"
Mendengar ucapan datar suaminya, Jena tau Bang Shano sedang kecewa berat dengan kejadian tadi. Mabuknya kembali datang karena belum puas bersandar manja. Ia pun menghampiri Bang Shano.
"Buka kaosnya lagi..!!" Pinta Jena.
Tak ingin berdebat, Bang Shano membuka kaosnya meskipun dengan setengah hati. Melihat Bang Shano bertelanjang dada, Jena langsung memeluknya dari belakang. Bagai ada tersendiri, rasa mualnya berkurang secara drastis.
Bang Shano membiarkannya sambil menuang air panas pada cangkir kopinya juga susu bumil untuk Jena kemudian mengaduknya. Namun dirinya berhenti mengaduk saat tiba-tiba jemari Jena yang nakal menyusuri lekuk tubuhnya. Terang saja tubuhnya langsung merespon.
"Jangan buat Abang salah paham lagi. Daripada kamu kena marah Abang, lebih baik kamu istirahat di kamar..!!" Kata Bang Shano.
Jena tidak menjawab tapi tangannya semakin nakal membuat Bang Shano jelas tidak bisa menahan diri. Ia pun menarik Jena kedalam pelukannya.
"Kamu dengar atau tidak????" Tegur Bang Shano.
Jena mengecup bibir suaminya dengan lembut. "Sudah paham?" Tanyanya.
Tak kalah nakal, Bang Shano membalasnya. Tingkah khas seorang laki-laki yang sedang 'tinggi' dan nyaris lepas kendali.
"Perjelas bagaimana Abang harus paham..!!" Perintahnya mengejar bibir Jena tapi istrinya itu sengaja menghindar.
"Kali ini dalam arena gulat harus bawa senjata." Kata Jena.
"Okeeyyy.. Apalagi, sayang??" Bisik Bang Shano sudah menyerusuk di sela leher Jena.
"Bawa uang..!! Area gulat adalah tempat keluar masuknya uang..!!"
"Tapi kita ini atlet nya. Haruskah pelaku malah membayar??" Tanya Bang Shano sudah semakin terjepit oleh keadaan.
"Registrasi lah."
Nafas Bang Shano semakin memburu dan Jena masih juga belum menyelesaikan ujiannya.
"Ya sudah berapaaa?????" Bisik Bang Shano rasanya sudah tidak tahan lagi.
"Banyak."
"Ya sudah, nanti kita hitung-hitungan. Selesaikan dulu yang ini..!!" Kata Bang Shano kemudian membawa Jena masuk ke dalam kamar.
...
Suami mana yang tidak bertekuk lutut dj hadapan istri seperti Jena. Selain cantik, pintar, Jena juga pintar memuaskan hasrat Bang Shano. Dengan mudah ia mentransfer sejumlah uang yang di minta Jena tanpa banyak bertanya, setelah itu Bang Shano terkapar dan tidur pulas.
"Huuuhh.. Dasar..!!!!!" Gerutu Jena kemudian menghubungi seseorang di seberang sana. "Sudah saya lunasi. Jangan ganggu keluarga saya lagi..!!"
***
Pagi ini senyum Bang Shano begitu sumringah berkenalan dengan anggota barunya namun berbeda dengan Jena yang menahan pusing dan mual sampai rasanya tidak sanggup berbicara.
"Mohon maaf Danton, pejabat Kompi, rekan senior dan rekan sekalian. Saya pribadi bukannya mau memamerkan kemesraan dan sok romantis. Tidak ada sedikitpun niat saya seperti itu. Istri saya sedang hamil muda, ngidamnya sedikit rewel. Mungkin si kecil sedang ingin nempel dengan Papanya. Apapun yang kurang pantas, sekali lagi saya mohon maaf yang sebesar-besarnya..!!" Kata Bang Shano di hadapan para anggota.
Tepuk tangan seisi ruangan menyambut baik berita tersebut. Gaung yang terdengar adalah sambutan rasa bahagia untuk ibu Danki baru yang sedang hamil.
"Ijin Danki, selamat atas kehamilan ibu. Semoga sehat ibu dan bayinya hingga tiba saatnya persalinan." Do'a Danton baru, Letda Elgran Rinald. Pria yang baru saja turun gunung usai mengawal wakil Panglima.
Jena kembali menutup mulut dengan kedua telapak tangan sampai akhirnya terhuyung. Beberapa anggota pun sigap memberikan kursi untuk ibu Danki mereka yang baru.
"Terima kasih semuanya. Tapi......." Bang Shano tersenyum tipis kemudian memeluk Jena untuk beberapa saat. Jena pun balas memeluknya sampai lumayan tenang kemudian baru memintanya untuk duduk perlahan.
.
.
.
.
makanya bang cerita ma istri biar ga salah paham
si Hananto jg ikutan aja mlh bikin makin panas
penyesalan datang belakangan