🌺Judul sebelumnya Pesona Cleopatra🌺
Cleopatra, wanita yang biasa dipanggil Rara menghipnotis banyak kaum adam termasuk kakak beradik Fahreza dan Zayn.
Tepat di detik-detik pernikahan Rara dan Reza, Zayn merenggut kehormatan Rara.
Rasa cinta Reza yang besar tak menyurutkan langkahnya untuk tetap menikahi gadis cantik bak ratu mesir di zaman dahulu itu. Namun, noda yang ada pada sang istri tetap membekas di hati Reza dan membuat ia lemah untuk memberi nafkah batin selama pernikahan.
Apakah Reza benar-benar tulus mencintai Rara? Atau Zayn, pria yang memang lebih mencintai Rara? bagaimana nasib Rara selanjutnya?
Baca sampe tuntas ya guys.
Terima kasih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elis Kurniasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Mirna dan Kemal
Di Paris, Mirna dan Kemal mengemas pakaian ke dalam koper. Mereka ingin menemui Rara dan orang tuanya. Sejak ia berbincang dengan Mia di telepon dan besannya itu berbicara tentang kondisi putrinya, Mirna kembali dirundung rasa bersalah. Kedua putranya yang mencintai putri Mia justru malah menjadi petaka yang membuat putri semata wayang sahabatnya itu menderita.
Mirna sengaja tidak memberitahu keberangkatannya ke tanah air pada Zayn. Ia juga tidak memberitahu tentang kondisi Rara saat ini pada Zayn, karena jika pria itu tahu, Mirna khawatir Zayn akan mengkhawatirkan Rara dan ingin ikut bersamanya pulang ke tanah air.
Di kediaman Kemal di tanah air, Rara tengah menyiapkan sarapan untuk sang suami. Reza pun masih belum ingin berangkat ke kantor. Ia masih ingin mengerjakan pekerjaannya dari rumah saja.
Reza keluar dari kamar dan langsung menuju dapur. Aroma masakan itu sudah tercium sejak ia keluar dari kamar.
“Hey.” Reza melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Rara dan mengendus-ngendus lehernya.
Reza memang paling senang bercumbu dengan sang istri. Tapi ingat, hanya bercumbu. Jika mereka ingin melakukan lebih, justru Reza menghindar dan Rara tidak mengerti mengapa begitu?
“Kak, jangan dekat-dekat! Aku belum mandi,” ucap Rara yang tidak percaya diri saat ini, karena merasa tubuhnya dipenuhi dengan aroma bawang dan bumbu.
“Eum ...” Kepala Reza menggeleng sembari bibirnya terus menelusuri leher jenjang yang sedikit berkeringat itu.
Sungguh sebenarnya ia sangat bergairah dengan tubuh sang istri, mungkin jika kejadian itu tidak pernah terjadi, mungkin Reza sudah menjadi suami yang mesum dan meminta jatahnya lebih dari satu kali setiap hari.
“Kak,” rengek Rara sembari tertawa dan mencoba menghindar. “Aku masih belum bisa melayanimu.” Ucap Rara yang merasa sesuatu tengah terbangun di bawah sana.
“Aku juga tidak ingin meminta lebih, hanya ingin mencumbumu.”
Rara mematikan kompor dan membalikkan tubuhnya. “Kamu tahu. Tubuhku bau sekali.”
“Oh, ya? Mana coba aku cium lagi.” Reza memiringkan kepalanya dan mengendus leher itu. “Hmm ... iya kecut.”
“Kak.” Rara merengek sembari memukul dada Reza pelan. “Kakak, rese banget.”
Reza tertawa.
“Tapi aku suka. Aku juga suka bau kecut ini.” Reza mengangkat satu tangan Rara ke atas dan mencium ketiaknya, kebetulan Rara memang menggunakan kaos tanpa lengan.
“Kak, ih.” Rara langsung menurunkan paksa tangannya, setelah Reza mengecup bagian itu sekilas. “Jorok.” Rara memonyongkan bibirnya.
Reza semakin tergelak dan memeluk tubuh itu. “Gemesin banget sih kalau cemberut gini.”
“Gemesin apa?” tanya Rara memancing suaminya.
Terkadang Rara mempertanyakan cinta sang suami untuknya, jika ingat bahwa dirinya yang jarang mendapatkan sentuhan hubungan suami istri. Menurut teman-temannya ‘si ibu-ibu rumpi’, rumah tangga yang harmonis itu dilihat dari seberapa sering mereka bercinta dan untuk melihat suami masih cinta apa tidak, juga dapat sejauh mana mereka sering mangajak bercinta, karena antara cinta dan gairah sifatnya simbiosis mutualisme, mereka saling berkaitan. Gairah lahir dari sebuah cinta, kalau pun gairah yang hadir bukan dari cinta, itu namanya nafs*. Dan, Rara sepakat hal itu.
“Gemesin mau cium.”
“Bukan mau makan aku?” tanya Rara lagi dengan suara sensual.
Reza tersenyum dan menyentuh ujung hidung Rara. “Nakal.” Lalu, ia meluyur pergi. Dari sana, meninggalkan Rara yang masih mematung di tempatnya dengan senyum kecut.
Setiap kali, ia membaca novel roman yang bergenre dua puluh satu plus. Ia sering mendapati kata-kata dari si suami yang ingin memakan istrinya di pagi hari. Lalu, si suami itu pun melakukannya, tapi tidak dengan Reza, suaminya tidaklah mesum seperti di novel-novel. Padahal Rara ingin sekali dimesumi.
Reza duduk di sofa. Ia kembali menenangkan diri, menetralisir godaaan dari sang istri.
“Kalau saja lu ngga ngerusak semua, Zayn. Gue mungkin ngga jadi pria yang ngga normal seperti ini,” gumam Reza ketika ia mulai membuka kembali laptopnya.
Pekerjaan, memang satu-satunya hal yang mampu mengalihkan apapun yang Reza rasakan, sakit hati, gairah, atau pun kesedihan.
****
“Mama mau kemana?” tanya Zayn yang melihat kedua orang tuanya berpakaian rapih di meja makan. sedangkan Zayn masih menggunakan kaos oblong dan celana pendek.
“Mama dan Papa berangkat hari ini ke Indonesia,” jawab Mirna.
“Apa?” tanya zayn terkejut. “Mengapa tiba-tiba? Apa ada sesuatu hal di sana?” tanyanya panik.
“Tidak ada apa-apa, Zayn. Kami hanya ingin bersilaturahmi dengan Mia dan Sanjaya. Sudah dua tahun kami tidak mengunjungi mereka,” ucap Kemal.
“Oh.” Zayn membulatkan bibirnya semabri mengoleskan selai straubery pada roti yang berada di telapak tangannya.
“Siapa yang mengantar Mama dan Papa ke Bandara?” tanya Zayn.
“Kami naik taksi saja. Kamu kan sibuk.”
“Tidak, Ma. Zayn tidak sibuk. Jam berapa pesawat kalian berangkat? Tunggu, Zayn akan mengganti baju.”
“Zayn, sudahlah tidak apa-apa. Papa dan Mama akan naik taksi, lagi pula akhir-akhir ini kamu sibuk dan sering pulang larut. Istirahatlah saja.” Kemal menepuk bahu Zayn yang hendak berdiri dari kursi meja makan itu, kebetulan Kemal duduk di samping putra bungsunya.
“Ayolah, Pa. Kapan Papa dan Mama merepotkanku. Yang ada, Zayn yang selalu merepotkan kalian.” Zayn tersenyum.
Mirna dan Kemal pun ikut tersenyum. Walau Zayn bukan putra kandung mereka, tetapi sikap Zayn sejak kecil sangat manis, memang berbanding terbalik dengan Reza yang justru anak mereka sendiri. Walau mereka tahu bahwa kedua putranya sama-sama menyayangi mereka.
Setelah memakan dua lembar roti, Zayn pun segera mengganti pakaiannya dan mengantarkan kedua orang tua angkatnya menuju bandara.
“Zayn, Papa belum mengucapkan selamat atas keberhasilanmu. Karirmu menaik sangat pesat,” ucap Kemal ketika ia, Mirna, dan Zayn berada dalam satu mobil.
“Belum seberapa, Pak. Zayn masih banyak belajar.”
“Tapi kemampuanmu sudah banyak di akui orang, Zayn,” kata Kemal lagi.
Pandangan Zayn tetap lurus ke arah jalan sembari mengangguk dan tersenyum. “Itu semua berkat Mama dan Papa. Jika Mama dan Papa tidak mendukungku, mungkin malah aku akan berakhir di rumah sakit jiwa.”
“Zayn.” Mirna memukul bahu sang putra dari belakang.
Zayn tertawa. Ia ingat betapa terpuruk dirinya saat kesalahan itu terjadi. Kesalahan yang akhirnya mengungkap siapa Zayn sebenarnya, hingga ia menemukan asal usulnya dan menetap di negeri ini.
“Zayn, Mama titip butik Mama ya. Mama sudah mendelegasikan pada Susan. Dan, Mama juga sudah bilag padanya bahwa dia harus bekerja sama denganmu. Mama mempercayakan produk baru Mama padamu ya.”
“Susan? Ah, aku sungguh malas beekrja sama dengannya, Ma. Dia wanita paling menyebalkan.”
“Karena dia menyukaimu, Zayn.” Kemal menoleh ke arah sang putra dan tertawa meledek.
“Ck. Zayn tidak suka wanita agresif.”
“Pokoknya, Mama ingin produk Mama dipakai oleh Celine. Model terkenal itu. kamu janji kan bisa memabawanya bekerjasama dengan Mama.”
“Ya, ya. Huft, aku ahrus berurusan dengan dua wanita agresif,” kata Zayn sembari menghelakan nafas dan menggelengkan kepala.
Mirna dan Kemal hanya tertawa. Mereka ingin salah satu dari wanita itu mampu membuat Zayn melupakan Rara.
Zayn memberhentikan mobilnya tepat di lobby. Ia membatu mengeluarkan barang bawaan kedua orang tuanya yang berada di bagasi mobil.
“Hati-hati ya, Ma, Pa.” Zayn mengecup pipi Mirna dan berpelukan pada Kemal.
“Oleh-oleh apa yang kamu inginkan dari sana?” tanya Mirna semabri merapihkan rambut Zayn yang tertiup angin.
“Hmm ... Bawa Rara ke sini boleh?” tanya Zayn sambil nyengir.
“Zayn,” panggil Mirna untuk memperingatkan.
“Kalau begitu tidak perlu, yang penting kalian kembali ke sini dengan selamat. Sampaikan salamku pada Kak Reza. Itu pun jika dia menerima.”
Mirna dan kemal tak mampu berkata, mereka hanya menepuk bahu Zayn dan pergi meninggalkan pria itu yang masih mematung menatap pria dan wanita paruh baya yang sangat ia sayangi itu.