NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 19: Percakapan di Tepi Amarah

Udara di dalam pondok itu seolah tidak bergerak. Hanya suara angin dari celah-celah bambu yang berdesir pelan, membawa aroma arak dan kayu tua yang lembap. Liang Chen duduk bersandar di ranjang sederhana, tubuhnya dibalut kain kasar yang masih menyisakan noda darah kering.

Cahaya dari celah atap menimpa wajahnya yang pucat, memperlihatkan bekas luka halus di pipi dan garis rahang yang tegang. Pandangannya kosong, namun di balik mata hitam itu, sesuatu yang lebih gelap tampak berdenyut perlahan, sisa bara dari amarah yang belum padam.

Di sudut ruangan, Guru Kui Xing duduk dengan santai, bersandar pada tiang bambu. Labu arak besar tergantung di tangannya, dan dari setiap gerakannya, tercium wangi tajam yang bercampur dengan bau obat herbal yang sedang direbus di periuk tanah.

Asap tipis mengepul, membentuk tirai kabut di antara mereka berdua. Tidak ada kata-kata, hanya jarak yang terasa berat seperti batu di dada. Liang Chen menunduk, menatap tangannya sendiri, mencoba mengenali tubuh yang kini terasa asing baginya. Dagingnya lebih keras, kulitnya lebih tebal, seolah tubuh itu bukan lagi miliknya.

Ia mencoba mengingat sesuatu, suara ibunya, tawa ayahnya, aroma tanah pagi dari Desa Hijau, tetapi yang muncul hanyalah kilatan api, darah, dan jeritan yang terputus.

Ia mengerutkan kening, menahan gemetar yang naik dari ujung jari. Dadanya terasa hangat, seolah sesuatu di dalamnya masih berdenyut, bukan karena kehidupan, melainkan karena sesuatu yang lebih tua dari kehidupan itu sendiri.

Guru Kui Xing mengangkat labunya, meneguk sekali, lalu menatap ke arah Liang Chen. Pandangan matanya tidak menilai, namun tajam dan dalam, seperti menembus lapisan daging dan mencapai inti jiwa.

Setelah beberapa lama, ia berkata pelan, suaranya serak namun jernih, “Jadi akhirnya kau membuka mata. Dunia ini tidak berubah meski darahmu telah membanjirinya.”

Liang Chen menatap balik tanpa bicara. Ia tidak tahu siapa lelaki tua itu, tidak tahu di mana ia berada, hanya tahu bahwa tubuhnya tidak lagi sama. “Siapa kau,” suaranya serak, hampir seperti bisikan, “dan mengapa aku masih hidup?”

Guru Kui Xing tersenyum samar. “Aku hanyalah pengembara yang tersandung takdir. Aku tidak menyelamatkanmu karena belas kasih, anak muda, hanya karena rasa penasaran. Jarang sekali seseorang bisa hidup setelah disentuh oleh Warisan Asura.”

Kata itu membuat Liang Chen membeku. “Warisan... apa?” suaranya bergetar ringan.

Guru Kui Xing tidak segera menjawab. Ia menaruh labu araknya di lantai, lalu mengulurkan tangan ke arah periuk herbal di dekat tungku. Ia mengaduk perlahan, lalu berkata dengan nada yang seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri, “Tubuhmu menolak kematian.

Kau bukan diselamatkan olehku, melainkan oleh sesuatu yang lebih purba dari segala sekte, sesuatu yang menolak mati.”

Liang Chen mencoba bangkit, tetapi tubuhnya berat seperti besi. Ia merasakan panas samar di dadanya, tempat luka lama tertutup. Setiap denyut jantung membawa gelombang hangat yang menembus tulang, membuat seluruh tubuhnya menggigil.

Ia menatap lelaki tua itu dengan tatapan curiga dan takut, “Apa maksudmu? Aku manusia biasa, aku... aku hanya ingin melindungi keluargaku.”

Guru Kui Xing menghela napas. “Ya, kau pernah menjadi manusia biasa. Tapi dunia jarang memberi kesempatan pada yang biasa untuk bertahan hidup.” Ia menatap api di tungku, matanya memantulkan cahaya jingga yang tenang namun berbahaya.

“Sekarang, dengarkan dengan hati yang tenang. Karena yang tinggal dalam tubuhmu bukan sesuatu yang bisa ditolak dengan penyangkalan.”

Liang Chen menelan ludah. Udara di sekelilingnya terasa semakin dingin. Api di tungku bergetar kecil, seolah ikut mendengarkan. Di luar pondok, angin berhenti.

Guru Kui Xing menatapnya sekali lagi. “Anak muda, kau hidup karena kekuatan yang menolak kematian. Tapi kekuatan itu tidak datang tanpa harga. Hari ini kau masih bernapas, tapi mungkin bukan karena kau yang memilih hidup.”

Hening panjang menyusul. Liang Chen hanya menatap lantai, kedua tangannya mengepal di atas kain kasar yang menutupi kakinya. Di dalam dadanya, denyut itu terasa semakin kuat, panas dan asing, seolah darahnya sendiri sedang berjuang menolak keberadaan dirinya.

Guru Kui Xing meneguk arak sekali lagi, lalu menutup matanya. “Aku akan memberitahumu apa yang telah mengakar di tubuhmu, tapi kau harus siap mendengarnya tanpa kehilangan dirimu. Karena kebenaran kadang lebih berat dari pedang.”

Liang Chen menunduk, menarik napas dalam-dalam. “Katakan,” ucapnya dengan suara rendah. “Aku tidak akan mundur lagi.”

Guru Kui Xing perlahan bangkit dari duduknya. Tubuh tuanya tampak rapuh, namun setiap langkahnya seolah menekan udara di dalam pondok itu. Ia berdiri di depan Liang Chen, menatap wajah muda yang penuh luka dan ketegangan.

“Dengarkan baik-baik,” katanya pelan, suaranya datar namun mengandung sesuatu yang berat, “Tubuhmu kini bukan lagi fana. Kau telah menampung sesuatu yang bukan milik dunia ini.”

Liang Chen menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyeruak di dada. “Aku tidak mengerti,” ujarnya dengan napas tersengal. “Aku tidak meminta apa pun. Aku tidak ingin ini.”

Guru Kui Xing menatapnya lama. “Tidak ada yang meminta kutukan. Tapi takdir jarang menunggu persetujuan.”

Ia mendekat, menepuk dada Liang Chen perlahan. “Di balik tulangmu, di balik darah yang mengalir, mengendap Warisan Asura, jalur pembantaian, kekuatan yang menolak kematian dan merendahkan keilahian. Ia bukan kekuatan suci, tapi kekuatan dendam.”

Liang Chen membeku. Kata-kata itu menggema dalam kepalanya seperti pukulan. Ia menggeleng keras. “Tidak... Tidak mungkin. Aku... aku hanya manusia. Aku tidak membunuh siapa pun sebelumnya”

Suara itu pecah di tenggorokannya, berubah menjadi desahan yang serak dan getir. “Sebelum mereka membunuh keluargaku.”

Guru Kui Xing tidak menanggapi segera. Ia mengambil labu arak dari lantai dan meneguk sedikit, membiarkan keheningan menekan ruangan.

“Aku tahu penderitaan itu,” katanya akhirnya, “dan mungkin karena itulah kau dipilih. Warisan Asura tidak memilih orang kuat, tapi orang yang kehilangan segalanya. Karena dari kehampaan, dendam tumbuh paling murni.”

Liang Chen menatapnya dengan mata melebar. “Kau menyebutnya kutukan, tapi kau berkata seolah itu hadiah.”

Suara itu bukan kemarahan murni, melainkan ketakutan yang terbungkus logam amarah. “Aku bukan monster. Aku tidak ingin kekuatan mereka. Aku tidak ingin darah.”

Guru Kui Xing tersenyum tipis, senyum yang tidak mengandung ejekan, hanya pengakuan pada kenyataan pahit. “Anak muda, para monster jarang tahu bahwa mereka adalah monster.

Tapi dengar ini, kau masih punya waktu untuk memilih.” Ia mengulurkan tangan, menunjuk ke arah samping ranjang.

Pedang hitam pekat tergeletak di sana, diam namun memancarkan hawa dingin seperti malam yang hidup. Bilahnya bergetar pelan, seolah mendengar nama yang baru disebutkan.

“Lihat itu,” kata Guru Kui Xing lirih. “Pedang ini bukan logam biasa. Ia adalah cerminan dari jiwamu yang baru. Saat amarahmu mencapai puncak, ia terlahir. Saat darahmu menolak berhenti, ia meminum kehidupan di sekitarnya. Itu bukan benda mati lagi, tapi perwujudan dari jalur yang telah memilihmu.”

Liang Chen menatap pedang itu. Dalam pantulannya, ia melihat wajahnya sendiri, namun tidak sepenuhnya. Ada bayangan lain yang berputar di matanya, warna merah samar yang memancar lembut seperti bara di abu. Ia mundur sedikit, tangannya gemetar. “Aku... aku tidak ingin ini. Aku ingin mereka kembali. Aku ingin rumahku. Aku ingin menjadi manusia lagi.”

Guru Kui Xing menatapnya lama. “Tidak ada jalan kembali bagi yang telah melihat darah orang tuanya tertumpah di tanah.”

Nada suaranya tidak dingin, melainkan penuh belas kasihan yang tidak sentimental.

“Tapi jangan salah, Liang Chen. Jalan di depanmu tidak harus menjadi jalan iblis. Jalan Asura memang terlahir dari darah, tapi yang menentukan ke mana ia mengalir adalah tangan yang menggenggamnya.”

Liang Chen menunduk, menggenggam lututnya. Bahunya bergetar halus. “Kau tidak tahu rasanya kehilangan segalanya,” katanya lirih, “kau tidak tahu seperti apa bau darah ibu sendiri.”

Guru Kui Xing menatapnya. “Aku tahu. Karena aku pernah membunuh muridku sendiri demi menyelamatkan dunia dari kegilaannya.”

Kata-kata itu jatuh seperti batu ke permukaan air yang hening.

Liang Chen mengangkat wajahnya perlahan, matanya penuh tanya, namun Guru Kui Xing sudah memalingkan pandangan ke luar jendela, menatap kabut yang melingkupi gunung.

“Dunia ini selalu haus darah, anak muda,” katanya pelan. “Hanya saja sebagian darah disebut korban, sebagian disebut keadilan. Kau akan segera tahu perbedaannya.”

Hening kembali merayap. Hanya suara detak air dari panci herbal yang pecah di udara. Liang Chen menatap pedang itu lagi, dan untuk pertama kalinya, ia tidak hanya melihat kegelapan, ia melihat dirinya di dalamnya.

Bagian Ketiga: Tantangan Etika dan Penerimaan yang Suram

Udara di pondok itu mulai berat. Aroma arak yang biasa membawa ketenangan kini berubah menjadi wangi getir yang menekan dada. Guru Kui Xing berdiri di hadapan Liang Chen, bayangannya jatuh panjang menutupi lantai bambu, seperti kabut yang tak bisa diusir.

Ia memandangi pemuda itu lama, lalu berkata pelan, “Dendam adalah api, Liang Chen. Ia dapat menerangi jalanmu, atau membakarmu hidup-hidup.”

Liang Chen menatapnya, mata gelapnya berkilat di bawah sinar redup. “Aku tidak peduli terbakar,” katanya dengan suara serak. “Selama aku bisa membakar mereka yang menghancurkan rumahku.”

Setiap kata keluar seperti pisau yang diasah oleh kehilangan.

Guru Kui Xing tidak menghardik. Ia meneguk araknya perlahan, kemudian duduk bersila di depan Liang Chen. “Kau berbicara seperti seseorang yang telah kehilangan segalanya. Tapi dengarkan aku, anak muda. Warisan Asura adalah sungai darah yang tak mengenal ujung.

Ia akan menuntunmu pada kekuatan, tapi kekuatan itu lahir dari kebencian. Semakin kau membenci, semakin kuat ia tumbuh. Namun di saat yang sama, setiap amarah yang kau lepaskan akan mengikis jiwamu. Hingga suatu hari, kau tidak akan tahu apakah kau membunuh karena harus… atau karena kau menyukainya.”

Liang Chen menggenggam seprei bambu, tangannya bergetar. “Kau pikir aku takut kehilangan jiwaku? Aku sudah kehilangan segalanya.”

Guru Kui Xing menatapnya dengan mata setenang batu sungai yang telah mengikis waktu. “Justru karena itu kau berbahaya, Liang Chen. Manusia yang kehilangan segalanya tidak lagi takut pada apa pun, dan mereka itulah yang paling mudah dipeluk oleh kegelapan.”

Hening menggantung. Angin gunung berembus perlahan melalui celah dinding bambu, membawa aroma herbal dan sisa arak.

Guru Kui Xing mengangkat tangannya, lalu menepuk bahu Liang Chen dengan lembut. Namun dari sentuhan itu, Liang Chen merasa tekanan luar biasa, seolah gunung menunduk menimpa dirinya.

Dada Liang Chen bergetar, aura merah samar yang tertidur di tubuhnya mulai meronta.

Guru Kui Xing menatap perubahan itu tanpa gentar. “Rasa takutmu adalah jangkar, anak muda. Jalan Asura adalah lautan amarah. Tanpa jangkar, kau akan tenggelam. Kau harus menjinakkan amarahmu, bukan membunuhnya.”

Liang Chen menatap lurus ke mata sang guru. Dalam tatapan itu, terdapat keinginan membantah, tetapi juga kebingungan dan kehilangan arah. “Bagaimana menjinakkan sesuatu yang ingin membunuh setiap kali aku mengingat wajah mereka?”

Guru Kui Xing menatapnya lama, lalu menatap Pedang Kesunyian Malam di sisi ranjang. Ia menarik pedang itu perlahan dan meletakkannya di antara mereka. “Dengan mengingat bukan hanya wajah mereka saat mati, tapi juga saat hidup.

Kau tidak bisa hidup hanya untuk menebus kematian. Kau harus hidup untuk menjaga makna dari hidup yang telah mereka berikan padamu.”

Liang Chen menatap pedang hitam itu. Bilahnya gelap, tetapi di dasar pantulannya ia melihat bayangan cahaya kecil yang bergetar, seperti sisa nyala lilin di ruang gelap.

Ia mengingat senyum ibunya, suara ayahnya yang memalu besi di pagi hari. Suara itu kembali menggema, pelan tapi jelas, seolah memukul hati yang telah lama beku.

Tangannya perlahan bergerak, menyentuh gagang pedang itu. Bilahnya dingin, namun terasa hidup, seolah menunggu keputusan.

Guru Kui Xing berkata dengan nada berat namun tenang, “Warisan Asura akan memberimu kekuatan melalui penderitaan. Setiap luka, setiap kematian, setiap air mata yang kau saksikan akan memperkuat tubuh dan jiwamu.

Tapi kekuatan itu akan memintamu membayar dengan hal-hal yang tidak bisa dikembalikan. Jika kau ingin menggunakannya, kau harus menerima bahwa hidupmu bukan lagi milikmu sepenuhnya.”

Liang Chen terdiam. Detik berjalan lambat, hanya diisi suara napas dua manusia yang duduk di hadapan takdir yang berat.

Akhirnya, Liang Chen mengangkat kepalanya.

Matanya tak lagi sekadar penuh amarah, melainkan mengandung sesuatu yang lebih dalam, keteguhan. “Kalau begitu, aku akan meminjam hidup ini untuk menegakkan keadilan. Aku tidak akan menjadi monster yang mereka katakan. Aku akan membunuh monster, bukan menjadi satu.”

Guru Kui Xing menatapnya tanpa senyum kali ini, hanya pandangan yang dalam. “Kau akan mencoba menyalakan obor di tengah badai darah. Tapi ingat, api yang terlalu dekat dengan angin akan padam, dan yang terlalu jauh akan membeku.”

Ia bangkit perlahan, berjalan ke arah rak bambu, mengambil labu araknya, lalu kembali menatap Liang Chen yang kini memegang Pedang Kesunyian Malam di pangkuannya.

“Sekarang,” katanya, “kau adalah muridku. Aku akan membimbingmu bukan untuk menjadi dewa, bukan pula iblis, tapi untuk tetap manusia di tengah darah yang mendidih di dalam dirimu.”

Ia meneguk araknya, lalu tersenyum samar.

“Namun kau harus mulai dari awal. Jalan Panjang Umur menolakmu, Jalan Asura belum menerimamu sepenuhnya. Kau berdiri di tepi jurang dua dunia, dan di sanalah setiap langkahmu akan menentukan siapa kau sebenarnya.”

Liang Chen mengangguk perlahan. Di matanya, cahaya merah samar masih bergetar, namun kini tidak liar. Ia menatap pedang hitam di pangkuannya, dan untuk pertama kalinya, genggamannya tidak goyah.

Di luar pondok, kabut mulai turun. Gunung tertutup awan tipis yang menggulung perlahan. Hujan pertama setelah tragedi turun dengan suara lembut, membasuh daun-daun yang patah di sekitar pondok.

Guru Kui Xing menatap ke luar jendela dan bergumam, “Kadang, langit pun menangis untuk jiwa-jiwa yang menolak menyerah.”

Ia menoleh ke murid barunya, yang kini duduk diam memandangi hujan. Dalam keheningan itu, dua generasi yang dipisahkan oleh luka menandatangani perjanjian yang tak terucap, perjanjian untuk melawan nasib.

Guru Kui Xing meneguk araknya sekali lagi dan berkata tanpa menatap, “Mulai besok, kau akan belajar menahan diri sebelum memukul. Karena orang yang mampu menahan diri di tengah darah, ialah orang yang paling berbahaya di dunia ini.”

Liang Chen tidak menjawab. Ia hanya menatap hujan di luar, dan untuk sesaat, dunia seakan berhenti. Dalam dingin itu, darahnya terasa hangat, bukan karena amarah, melainkan karena tekad.

Dan dalam kesunyian yang menelan pondok, terdengar bisikan lembut, mungkin dari hatinya sendiri, mungkin dari Warisan Asura yang bersemayam di dadanya.

“Lindungi, jangan hancurkan.”

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!