Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Aira ngibrit melewati ruang tengah, ruang depan, terus sampai teras.
Pak Hadi dan Ustadz Fathur yang sedang duduk langsung kaget. Bu Maryam menyusul di belakang, tapi masih santai... sudah biasa.
Dari dalam, terdengar suara Aira yang panik setengah mati: “Tokek! Tokek!! Maaa… ini bukan cicak biasa! Dia gede! Kepala doang kayak tahu bulat!”
Aira berlari sampai teras, lalu jongkok mendadak, memeluk lutut erat-erat, wajahnya pucat ketakutan.
“Mamaaaaa! Takut! Nanti dia ngejilat aku!”
Bu Maryam keluar sambil geleng-geleng. “Ra, itu tokek, bukan harimau. Nggak akan ngejar kamu.”
Aira menggeleng cepat, wajahnya nempel di lutut. “Tokek tuh bisa loncat, Ma! Aku liat di YouTube!”
Pak Hadi hampir tersedak teh menahan tawa.
Sementara Ustadz Fathur… tak berkedip memandang Aira yang panik.
Bukan karena lucu.
Tapi karena…
Ya Allah… itu calon istrinya duduk meluk lutut sambil tangan penuh busa, rambut berantakan, mata berkaca-kaca gara-gara tokek.
Tiba-tiba Aira sadar ada orang lain. Perlahan ia mengangkat wajah…
Pandangan matanya langsung bertabrakan dengan tatapan Ustadz Fathur.
Keduanya sama-sama kaget.
Aira berdiri reflek. “Astagfirullah… Ustadz?!”
Spons busanya jatuh ke lantai, pluk.
Aira ingin lari balik ke dalam... tapi ingat tokek masih di sana. Jadinya dia berdiri kaku di tempat, tangan masih belepotan sabun.
Sementara Ustadz Fathur, yang biasanya tenang, hanya bisa memalingkan wajah sambil batuk-batuk kecil menahan malu…
Dan deg-degan. Sangat deg-degan.
Ustadz Fathur akhirnya memberanikan diri bicara, suaranya lembut seperti biasa... bahkan lebih lembut dari angin pagi yang lewat di teras.
“Itu… tokek saja, Aira.” Ia tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Biasanya memang ada di rumah Mak Darmi. Mungkin dia cuma keluar cari makan.”
Aira mendelik, masih meringis takut sambil mengangkat kaki seolah tokek itu akan menggigit jempolnya setiap detik.
Pak Hadi yang tak tahan akhirnya menimpali sambil ngakak kecil. “Lagian kamu ngajak duel cicitnya tadi, Ra. Ya wajar ratunya keluar.”
“Papa ih!” Aira manyun setengah jerit. “Mana ada aku ngajak duel... itu cicak yang mulai duluan! Dia yang jatuh dari atap pas aku lagi fokus nyuci piring!”
Bu Maryam cuma geleng-geleng, menahan tawa.
Aira masih kesal, apalagi kini dia baru sadar dia panik di depan calon suami.
Dengan refleks (yang makin mempermalukan dirinya), Aira menatap Ustadz Fathur dan mengomel:
“Lagian kenapa sih nggak ketok-ketok pintu dulu kalo mau masuk rumah? Ini main nongol aja di depan mata. Kaget tau!”
Pak Hadi langsung ngomel pelan, “Ra… itu tokek, bukan orang. Mau ketok pintu bagaimana?”
BLUSH...
Pipi Aira memerah. Ia mati gaya.
Ustadz Fathur menunduk menahan tawa, bibirnya tertarik halus.
“Maaf… bukan tokeknya. Saya.” Ustadz Fathur akhirnya bicara pelan, menyadari Aira sedang ngomel… ke dirinya.
Aira mendadak kaku.
Wajahnya makin merah macam tomat rebus.
Pak Hadi dan Bu Maryam bersamaan berseru: “AIRAAAA—!”
Aira ingin kabur tapi… Tokek itu pasti masih di dapur.
Jadi dia hanya bisa berdiri di tempat, tangan penuh busa, wajah memerah, dan malu semalu-malunya di hidupnya.
Ustadz Fathur, yang melihat itu semua, hanya menunduk lagi… menahan degup jantungnya yang entah kenapa makin kencang.
Belum sempat suasana benar-benar tenang setelah drama tokek, tiba-tiba…
“PRRAAAK... PRRAAAK... KUKURUYUUUK!!”
Seekor ayam betina mendadak terbang dari kolong dapur ke halaman, sayapnya mengepak liar, suaranya membelah udara sore.
“ALLAHU AKBAR, MAMA!” Aira langsung loncat.
“Ini rumah apa tempat pemberdayaan binatang sih?! Huaaa...!”
Tanpa mikir panjang, Aira langsung ngibrit turun ke halaman dengan sandal yang asal nyemplung ke kaki. Tangannya masih belepotan busa sabun, spons cuci piringnya dia ambil kembali.
Ayam itu berputar-putar, seolah bangga baru saja melahirkan satu mahakarya dunia.
“Mama! Ayamnya dikasih makan! Berisik banget!” teriak Aira sambil membuka keran air di halaman dan mencuci tangannya dengan gerakan cepat, sesekali nengok takut ayam itu balik menyerang.
Bu Maryam muncul di ambang pintu dapur, wajahnya datar. “Kayak kamu nggak tahu aja kalau ayam habis bertelur.”
“Ya tapi nggak perlu selebrasi juga, Ma!” Aira mendengus kesal. “Ini ayam atau MC hajatan?”
Bu Maryam sudah terlalu lelah untuk menanggapi. Ia masuk kembali ke dalam rumah sambil bergumam pelan, “Astaghfirullah… anak ini.”
Sementara itu, di ruang depan…
Pak Hadi dan Ustadz Fathur kembali duduk di sofa.
Suasana di luar riuh, tapi di dalam… justru sunyi canggung.
Pak Hadi terkekeh kecil, menggeleng-geleng.
“Begitulah, Tadz. Hidup sama Aira nggak pernah sepi.”
Ustadz Fathur tersenyum tipis. Matanya sempat melirik ke arah halaman... ke Aira yang sedang mengibas-ngibaskan tangan basahnya sambil ngomel sendiri ke ayam.
“Iya, Pak…” Ia menarik napas pelan. “…tapi jujur, rasanya hangat.”
Pak Hadi menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum lebih lebar.
Di halaman, Aira masih mengomel, “Dasar ayam kampung, drama banget hidupnya…”
Dan tanpa ia sadari, ada sepasang mata di ruang depan yang melihat kekacauannya bukan sebagai masalah... melainkan sebagai rumah.
***
Setelah merasa tidak ada lagi yang hatus diobrolkan, Ustadz Fathur berdiri dari sofa, merapikan sarungnya, lalu menunduk sopan.
“Kalau begitu saya pamit dulu, Pak, Bu. Sebentar lagi dzuhur.”
Bu Maryam yang baru selesai mengelap piring terakhir menoleh sambil tersenyum ramah. “Iya, Ustadz. Hati-hati di jalan.”
Pak Hadi ikut berdiri. “Terima kasih sudah mampir, Nak.”
Di saat yang sama, dari arah dapur, Aira masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat. Tangannya sudah bersih, rambutnya masih sedikit lembap. Tanpa menoleh ke ruang depan, ia langsung masuk ke kamarnya dan menutup pintu.
Brak!
Bu Maryam melirik sekilas ke arah kamar Aira, lalu kembali fokus ke Ustadz Fathur yang sudah melangkah ke teras.
Ustadz Fathur jongkok, hendak memakai sandalnya.
Satu detik.
Dua detik.
Keningnya berkerut.
Ia menoleh ke kiri. Ke kanan.
“Loh…” gumamnya pelan..“Ke mana sandal itu?” Tangannya mengusap wajahnya pelan, matanya menyisir lantai.
Pak Hadi yang melihat gelagat itu langsung menghampiri. “Kenapa, Ustadz?”
Ustadz Fathur tersenyum kikuk sambil menggaruk kepalanya. “Sandal saya, Pak. Perasaan tadi saya meninggalkannya di sini.” Ia menunjuk ke lantai. “Di samping sandal Bapak.”
Pak Hadi ikut menunduk, ikut mencari. Benar. Sandal Pak Hadi ada. Sandal Ustadz Fathur… hilang.
“Loh…” Pak Hadi ikut heran. “Tadi jelas ada di sini.”
Bu Maryam ikut keluar ke teras. “Sandal apa yang hilang?”
“Sandalnya Ustadz, Ma.” jawab Pak Hadi.
Bu Maryam melongok ke halaman, ke ruang tamu, ke kolong bangku.
“Apa kebawa ayam?” celetuknya refleks.
Pak Hadi tertawa kecil. Ustadz Fathur ikut tersenyum, meski jelas kebingungan.
Di dalam kamar, Aira yang sedang duduk di tepi kasur mendadak berhenti menyisir rambutnya.
Ia mengerjap.
Pelan-pelan… ia melirik ke bawah ranjang.
Sepasang sandal hitam sederhana terlihat di sana.
Mata Aira membesar. “…Astaghfirullah.”
Ia teringat.
Tadi, saat panik gara-gara ayam ribut, ia asal nyamber sandal di teras. Yang penting bukan sandal Papa.
Aira menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Mati gue…” gumamnya lirih.
Di luar, suara Pak Hadi masih terdengar. “Aneh… masa bisa hilang sendiri.”
Aira menelan ludah.
Sandal itu… ada di kamarnya.
Dan pemiliknya… calon suaminya.
Aira berdiri kaku di dalam kamar. Matanya bolak-balik menatap sandal di bawah ranjang dan pintu kamar.
“Gimana ini…” gumamnya panik.
Pelan-pelan, Aira jongkok, mengambil sandal itu seolah sedang memegang barang bukti kejahatan. Ia mengintip ke arah pintu, memastikan aman.
Sunyi.
Dengan langkah setipis bayangan, Aira membuka pintu kamar sedikit saja.
Klik…
Ia mengintip ke teras.
Pak Hadi masih berdiri di dekat pintu. Bu Maryam ada di sampingnya. Ustadz Fathur… berdiri sambil tersenyum kikuk, jelas masih menunggu sandalnya.
Aira menelan ludah. “Bismillah…” Ia melangkah keluar perlahan, menunduk, sambil menyembunyikan sandal di belakang punggung.
Satu langkah.
Dua langkah.
Belum sampai teras...
“Aira?”
Deg!
Aira refleks berhenti. Tubuhnya menegang seperti ketahuan bolos.
Bu Maryam menoleh penuh selidik. “Kamu bawa apa, Ra?”
Aira kaget, sandal di tangannya langsung terlihat jelas.
Hening sepersekian detik.
Pak Hadi mengangkat alis. Ustadz Fathur terdiam… lalu matanya ikut menangkap sandal itu.
Wajah Aira langsung berubah.
Merah.
Merah banget.
Merah seperti kepiting rebus yang baru diangkat dari panci.
“E-emm… itu, anu, Ma…” Aira salah tingkah, tangannya makin kaku. “Tadi… aku… kepakai…”
Bu Maryam menghela napas panjang, lalu menggeleng-gelengkan kepala pelan.
Bukan marah. Lebih ke pasrah.
“Sabar, Ra.” Nada suaranya santai, tapi menohok. “Beberapa hari lagi bukan sandal yang kamu bawa ke kamar.”
Aira mendongak.
Bu Maryam menambahkan dengan tenang tapi mematikan, “Tapi orangnya.”
Blush!
Wajah Aira langsung makin merah. Sampai ke telinga.
“Maa! Astaghfirullah…” protesnya lirih sambil menutup wajahnya.
Pak Hadi tertawa lepas. “Itu namanya refleks calon istri, Ma.”
Bersambung