NovelToon NovelToon
KEHUDUPAN KEDUA

KEHUDUPAN KEDUA

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Junot Slengean Scd

Seorang kultivator legendaris berjuluk pendekar suci, penguasa puncak dunia kultivasi, tewas di usia senja karena dikhianati oleh dunia yang dulu ia selamatkan. Di masa lalunya, ia menemukan Kitab Kuno Sembilan Surga, kitab tertinggi yang berisi teknik, jurus, dan sembilan artefak dewa yang mampu mengguncang dunia kultivasi.
Ketika ia dihabisi oleh gabungan para sekte dan klan besar, ia menghancurkan kitab itu agar tak jatuh ke tangan siapapun. Namun kesadarannya tidak lenyap ,ia terlahir kembali di tubuh bocah 16 tahun bernama Xiau Chen, yang cacat karena dantian dan akar rohnya dihancurkan oleh keluarganya sendiri..
Kini, Xiau Chen bukan hanya membawa seluruh ingatan dan teknik kehidupan sebelumnya, tapi juga rahasia Kitab Kuno Sembilan Surga yang kini terukir di dalam ingatannya..
Dunia telah berubah, sekte-sekte baru bangkit, dan rahasia masa lalunya mulai menguak satu per satu...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB.19 Sembilan Matahari Dan Penjaga Emas

Langit merah keemasan seolah terbakar.

Sembilan matahari melayang di cakrawala, bergerak perlahan dalam lintasan yang tak terduga kadang menyatu, kadang terpisah. Cahaya mereka memantul di permukaan padang ilahi, membentuk kabut bercahaya yang lembut namun sarat kekuatan.

Xiau Chen berdiri di tengah padang luas itu, tubuhnya masih bergetar oleh sisa kekuatan dari Fragmen Pusaka Ketiga.

Udara di sini berbeda tidak ada angin, tidak ada panas, tapi setiap helaan napas terasa mengandung energi spiritual yang tak terhingga.

“Tempat ini...” gumamnya perlahan, menatap langit yang tak mengenal malam,

“...bukan lagi dunia fana.”

Perempuan berambut putih yang menemuinya masih berdiri di hadapannya.

Wajahnya indah dan anggun, tapi matanya memantulkan kedalaman waktu yang tak bisa diukur. Ia adalah Aurelia, Penjaga Emas, entitas abadi yang menjaga keseimbangan Dunia Tengah.

“Kau pasti memiliki banyak pertanyaan, Xiau Chen,” ucap Aurelia pelan, suaranya bagai lantunan nyanyian dari masa lampau.

“Ini adalah Dunia Tengah ruang antara alam fana dan langit ilahi. Hanya mereka yang menantang hukum takdir yang bisa sampai ke sini.”

Xiau Chen menatap sekeliling.

Padang yang tak berujung itu dipenuhi bunga-bunga emas yang memancarkan aura kehidupan, namun di setiap kelopaknya bersembunyi bayangan tipis, seperti residu jiwa-jiwa yang gagal menyeberang.

“Jika ini dunia antara,” katanya lirih, “apakah aku masih hidup?”

“Tubuhmu di dunia bawah sudah lenyap bersama pusaran energi Pusaka Ketiga. Tapi jiwamu... selamat karena hukum waktu mengakui keberadaanmu.”

Aurelia mengulurkan tangannya.

Cahaya emas lembut mengalir di antara jari-jarinya, membentuk gambar samar simbol sembilan matahari yang berputar mengelilingi satu titik gelap di tengahnya.

“Inilah rahasia Dunia Tengah Sembilan Matahari adalah sembilan hukum penciptaan, dan titik gelap itu adalah pusat kehancuran. Dunia ini hidup karena keseimbangan di antara keduanya.”

Aurelia melangkah perlahan ke depan, jubah emasnya bergoyang lembut bagai gelombang cahaya.

“Kau tahu, Xiau Chen... Dunia Tengah pernah menjadi tempat kelahiran para Dewa Lama. Namun setelah perang surgawi, para Dewa jatuh — tubuh mereka menjadi gunung, dan jiwa mereka menjadi matahari.”

Xiau Chen mengerutkan kening.

“Sembilan Matahari... adalah sembilan jiwa dewa?”

“Benar. Dan salah satunya... kini bersemayam di dalam dirimu.”

Suasana mendadak sunyi.

Aurelia menatap lurus ke matanya pandangan yang tajam namun lembut.

“Fragmen Pusaka Ketiga yang kau bawa bukan sekadar kunci. Itu adalah wadah dari Matahari Jiwa Ketiga, salah satu dari sembilan sumber penciptaan. Ketika pusaka itu terbuka, sebagian hukum waktu masuk ke tubuhmu.”

Xiau Chen menarik napas dalam.

“Itu sebabnya aku bisa menembus ruang dan waktu tanpa hancur...”

Aurelia mengangguk.

“Namun itu juga berarti, mulai saat ini, keberadaanmu bukan lagi hanya milikmu sendiri. Kau adalah bagian dari keseimbangan alam semesta.”

Tiba-tiba, bumi bergetar.

Dari balik cahaya keemasan di cakrawala, muncul sosok-sosok bersenjata para Penjaga Matahari, makhluk spiritual berbadan perunggu dengan sayap logam dan mata bercahaya merah. Mereka bergerak serempak, membentuk formasi spiral mengelilingi Xiau Chen.

“Apa artinya ini?” tanya Xiau Chen, bersiap.

“Ujian,” jawab Aurelia dengan nada lembut tapi tegas.

“Setiap jiwa yang membawa hukum para dewa harus melewati Ujian Matahari. Jika gagal... jiwanya akan lenyap untuk menjaga keseimbangan dunia.”

Xiau Chen menatap ke arah langit.

Sembilan matahari perlahan berputar, dan salah satunya memancarkan cahaya keemasan murni yang turun seperti hujan cahaya.

Penjaga-penjaga itu bergerak cepat, senjata mereka menebas udara dengan kilatan suci.

Xiau Chen menarik napas, tubuhnya bergetar.

Ia menekan tangannya ke tanah, mengalirkan qi ke seluruh nadinya.

“Teknik Giok Abadi... Langkah Langit Kedua!”

Cahaya putih berkilat di bawah kakinya tubuhnya menghilang dari tempat semula, muncul di antara dua penjaga, lalu berputar tajam.

Satu serangan ringan, tapi cukup membuat armor perunggu penjaga itu retak.

Namun setiap kali satu penjaga roboh, dua lagi muncul dari cahaya matahari.

Jumlah mereka tak terhingga.

“Mereka tidak bisa dikalahkan,” kata Aurelia. “Ujian ini bukan untuk menghancurkan mereka... tapi untuk menyeimbangkan dirimu.”

Xiau Chen berhenti menyerang.

Ia menutup matanya, merasakan setiap getaran dari tanah, setiap percikan cahaya dari langit. Dalam keheningan itu, sesuatu bergetar di dalam dirinya — denyut halus dari kekuatan yang sama seperti saat ia pertama kali membaca Kitab Kuno Langit Jiwa.

“Keseimbangan... bukan menolak gelap atau terang,” bisiknya.

“Keseimbangan adalah menerima keduanya.”

Ketika Xiau Chen membuka matanya, irisnya bersinar ganda — separuh putih, separuh hitam.

Ia menurunkan pedangnya, dan kali ini tidak menyerang. Sebaliknya, ia membuka kedua tangannya.

Cahaya putih dari qi-nya berpadu dengan bayangan hitam dari pusaka, membentuk pusaran spiral di udara.

Penjaga-penjaga yang menyerangnya berhenti bergerak.

Satu per satu mereka berlutut, lalu melebur menjadi cahaya yang naik ke langit, kembali ke matahari asalnya.

Aurelia tersenyum tipis.

“Kau telah melewati Ujian Matahari Ketiga.”

Xiau Chen menghela napas.

Tubuhnya terasa ringan, namun di dalam dirinya, kekuatan baru mulai bersemi — kekuatan waktu yang bisa melipat jarak dan menunda kematian sesaat.

Namun bersamaan dengan itu, ia juga mendengar suara lain, samar namun jelas, berbisik di telinganya:

“Kau pikir bisa menahan hukum para dewa dalam tubuh fana, Xiau Chen? Aku menunggumu... di akhir langit.”

Suara itu dingin dan akrab suara Mo Tian, sisi gelap yang dulu ia segel ribuan tahun lalu.

Langit bergetar hebat, sembilan matahari berputar lebih cepat, hingga satu per satu cahaya mereka memudar, menyisakan hanya satu matahari raksasa di tengah. Dari dalamnya, muncul simbol kuno yang sama seperti yang tertulis di Kitab Kuno Langit Jiwa.

Aurelia menatap Xiau Chen dengan sorot serius.

“Mo Tian telah menembus ruang batas antara Dunia Tengah dan Dunia Roh. Dia mencari Matahari Kedelapan untuk membuka gerbang kehancuran.”

“Kalau begitu... aku harus menghentikannya.”

“Ya. Tapi sebelum itu, kau harus menguasai tiga hukum: waktu, roh, dan kehendak.”

Ia mengangkat tangannya — dari langit turun sehelai daun emas, melayang di udara di depan Xiau Chen.

“Ini adalah Daun Cahaya Abadi, penuntun menuju kuil rahasia di jantung Dunia Tengah. Di sanalah, pusaka keempat menunggumu.”

“Dan apa yang ada di kuil itu?”

“Sebuah cermin... yang memantulkan bukan wajahmu, melainkan masa depan yang mungkin.”

Aurelia berbalik perlahan.

“Ingat, Pendekar Suci. Dunia Tengah bukan tempat untuk bertarung... tapi tempat untuk mengenali apa yang akan kau korbankan.”

Cahaya emas menyelubunginya, lalu ia lenyap menyisakan Xiau Chen sendirian di padang ilahi yang kini mulai memudar.

Ketika cahaya terakhir sirna, Xiau Chen kembali berdiri di tempat asing.

Langit di atasnya tampak seperti cermin pecah, dengan celah-celah cahaya biru bergetar halus. Dari kejauhan, terdengar suara nyanyian rendah seperti doa kuno yang dilantunkan ribuan suara.

Ia memandangi Daun Cahaya Abadi di tangannya.

Daun itu berputar pelan, lalu menunjuk ke arah utara ke tempat kabut ungu berkumpul membentuk menara cahaya yang menjulang ke langit.

“Kuil Rahasia Dunia Tengah...”

“Pusaka Keempat menunggu.”

Xiau Chen menatap ke langit.

Sembilan matahari kini hanya tinggal bayangan samar.

Namun di antara retakan langit, sesosok siluet hitam berdiri tegak tinggi, bermahkota api, dengan sepasang mata merah yang menatap langsung ke arahnya.

Suara dingin bergema di udara:

“Kau masih hidup, Xiau Chen.

Tapi kali ini... akulah yang menulis ulang takdirmu.”

Xiau Chen menggenggam pedangnya erat.

Hatinya bergetar — bukan karena takut, tapi karena untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa pertarungan ini bukan hanya melawan musuh di luar… tapi juga melawan dirinya sendiri.

“Baik, Mo Tian,” bisiknya perlahan,

“kalau takdir harus ditulis ulang, maka aku akan menulisnya... dengan darahku sendiri.”

1
Nanik S
Lanjutkan Tor
Nanik S
Bagus... walau dulu sektemu hancurkan saja kalau menyembah Iblis
Nanik S
Xiau Chen... hancurkan Mo Tian si Iblis pemanen Jiwa
Nanik S
Lebih baik berlatih mulai Nol lagi dan tidak usah kembali ke Klan
Nanik S
Hadir 🙏🙏
Girindradana
tingkatan kultivasinya,,,,,,,
Rendy Budiyanto
menarik ceritanya min lnjutin kelanjutanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!