NovelToon NovelToon
DIARY OF LUNA

DIARY OF LUNA

Status: tamat
Genre:Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Cintapertama / Mengubah Takdir / Tamat
Popularitas:673
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."

Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PAMIT

Luna melangkah cepat begitu pintu klinik terbuka, hatinya berdebar kencang. Ia tidak sempat bertanya pada resepsionis—Pa Rendi sudah lebih dulu mengantarkannya, menenangkan langkahnya.

Koridor klinik terasa panjang di matanya. Lampu putih di atas memantulkan bayangan langkahnya di lantai yang bersih, dingin, dan berkilau. Suasana sepi, hanya terdengar suara detak jam dan desisan tipis dari alat pendingin ruangan. Setiap langkahnya bergema ringan, membuat hatinya makin tidak tenang.

“Kesini, Luna,” kata Pa Rendi sambil menunjuk ke ujung koridor.

Luna mengangguk pelan dan melangkah mengikuti arah yang ditunjukkan. Napasnya masih tersengal, tapi langkahnya cukup mantap meski hatinya dipenuhi rasa yang semakin cemas.

“Di sini, Luna,” Kata Pa Rendi lembut ketika mereka sampai di depan pintu ruang perawatan.

Luna mengangguk lagi, menahan napas, lalu perlahan mendorong pintu masuk.

Begitu Luna melangkah masuk, langkahnya seketika terpaku. Pa Rendi yang mengikuti dari belakang juga berhenti di tempat, tubuhnya tegang tanpa sadar.

Di ruang perawatan, beberapa wajah sudah familiar menunggu—Bu Sari, istri Pa Rendi, berdiri dengan tangan terkepal di depan dada, mata berkaca-kaca. Pak Syarif, ketua RT setempat, berdiri di sudut ruangan, tampak tegang namun mencoba menahan emosi. Namun bukan mereka yang membuat Luna dan Pa Rendi membeku di tempat.

Matanya tertuju pada sosok di ranjang. Ayahnya—Herman—terbujur lemas, kaki tak lagi mampu menapak, tubuhnya kaku. Napas yang seharusnya terdengar, kini hilang. Wajah yang selama ini selalu menenangkan, kini pucat dan sunyi.

Luna tersentak, jantungnya seperti berhenti sejenak. Kaki gadis itu bergetar hebat, dan air mata mulai menetes deras, turun tanpa bisa ditahan. Tangisnya tersendat, suara tercekat di tenggorokan. Dunia di sekelilingnya terasa runtuh—lampu putih ruang perawatan seperti berubah menjadi terang yang menusuk mata, suara alat elektronik dan detak jarum jam memudar menjadi gema kosong, dan udara malam yang sejuk kini terasa dingin menusuk kulit dan hati.

Segala yang ia kenal, semua yang ia andalkan, seakan hilang dalam satu detik. Dunia yang semula penuh rutinitas, harapan, dan sedikit kehangatan, tiba-tiba menjadi hampa, gelap, dan tak berarah.

Pa Rendi berdiri di belakangnya, mulutnya tercekat, tidak mampu berkata apa-apa. Hanya diam, menyadari bahwa tidak ada kata yang pantas di saat ini.

"Ayah…" Gumam Luna pelan, suaranya nyaris tak terdengar, tenggorokannya kering dan tersendat. Langkahnya terasa berat, seolah setiap otot di tubuhnya menolak bergerak. Namun, ia tetap melangkah maju, kaki gemetar tapi hati dipenuhi tekad untuk mendekat.

“Ayah… Ayah bangun… Ayah, tolong bangun…” Suaranya semakin tercekat, hampir menangis. Jemarinya menatap tepi ranjang sebelum akhirnya gemetar ia ulurkan, ingin menyentuh tubuh Ayah, memastikan bahwa yang dilihatnya bukan sekadar mimpi buruk.

Pa Rendi, Bu Sari, dan Pak Syarif diam, membiarkan Luna, memahami bahwa tidak ada kata yang bisa meredakan duka sesaat itu. Semua orang tahu—saat ini Luna hanya perlu merasakan, menangis, dan menghadapi kenyataan yang begitu pahit.

“Pak Herman mengalami serangan jantung yang mendadak,” Ucap dokter pelan. “Kondisinya sangat kritis saat dibawa ke sini. Kami sudah melakukan semua tindakan medis yang memungkinkan, tapi… sayangnya, beliau tidak tertolong.”

Luna menggeleng, menolak keras pernyataan itu. "Enggak, Ayah jangan tinggalin Luna. Ayah bangun, Ayaaaaah...!"

Dunia Luna malam itu runtuh total. Setiap detik terasa hampa. Semua harapan yang ia genggam—tentang Ayah yang selalu menjadi pelindung, tentang rumah yang aman dan hangat—lenyap begitu saja.

"AYAAAAAAAH!!"

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!