NovelToon NovelToon
Balas Dendam Putri Mahkota

Balas Dendam Putri Mahkota

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Salsabilla Kim

Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perang Bayangan

"Jadi," suara Yi Seon membelah keheningan, lembut tetapi mematikan, "ini 'Ramuan Bulan Merah' yang kau cari, Putri Mahkota?"

Udara di ruangan itu seakan membeku. Tatapan Yi Seon, dingin dan menusuk, jauh lebih mengancam daripada angin gunung yang baru saja menerpa wajah Hwa-young. Inilah jurang itu. Satu getaran di , satu kedipan ragu di matanya, dan ia akan jatuh. Di benaknya, terlintas wajah ibunya dan sumpah yang ia emban, kegagalan berarti kematian bagi warisan mereka.

"Ya, Yang Mulia," jawab Hwa-young,  berhasil ia buat lemah, bergetar di ambang tangis. Ia menggigit bibir dalamnya, memaksa matanya memanas. Waktunya untuk mengenakan kembali topeng Putri Mahkota yang rapuh dan sedikit gila,  peran yang selama ini Yi Seon izinkan untuk ia mainkan.

"Ampuni saya," isaknya, menggeser tubuhnya sedikit, sebuah gerakan putus asa untuk menutupi gulungan-gulungan sandi di lantai. "Saya tahu ini ... ini gila. Tapi saya gagal."

Yi Seon tidak bergeming. Matanya terpaku pada untaian manik-manik giok hijau yang berkilauan di antara kekacauan itu. Ia membungkuk, bukan untuk mengambilnya, tetapi hanya untuk mengamatinya lebih dekat. "Manik-manik giok? Untuk menyembuhkan batuk? Atau untuk kesuburan? Kau pikir aku sebodoh itu?"

"Ini bukan manik-manik biasa!" Suara Hwa-young meninggi, diwarnai histeria yang terkontrol sempurna. Ia menyambar untaian itu, memeluknya ke dada seolah itu adalah jimat penyelamat hidupnya. "Ini ... ini adalah warisan dari seorang dukun yang sangat dipercaya oleh Ibunda saya!"

Alis Yi Seon terangkat. "Dukun?"

"Ya! Di luar kota. Kami menemuinya diam-diam," Mae-ri menimpali,  gemetar tetapi tepat waktu, seolah baru saja menemukan kembali keberaniannya. "Katanya, manik-manik ini harus diukir mantra setiap malam, lalu direndam dalam ramuan Bulan Merah. Untuk meningkatkan ... kesehatan kewanitaan Yang Mulia."

Yi Seon mendengus, tetapi kilat di matanya sedikit meredup. Isu kesuburan adalah luka menganga dalam politiknya, titik lemah yang bisa dieksploitasi siapa saja.

"Dan sampah-sampah ini?" Yi Seon menendang salah satu gulungan dengan ujung sepatunya. Sandi ekonomi yang rumit itu kini tergeletak tak berdaya. "Resep sup herbal?"

Air mata Hwa-young kini mengalir deras, kali ini terasa tulus karena campuran antara ketakutan dan kelegaan. "Itu ... instruksi. Dukun itu bilang, saya harus menuliskan semua ketakutan saya, semua kutukan dari musuh Istana, lalu membakarnya saat Bulan Merah tiba!"

Ia mengangkat wajahnya, menatap Yi Seon dengan tatapan putus asa yang dipoles dengan sempurna. "Yang Mulia, saya ketakutan! Kita sudah menikah sekian lama, tapi saya belum juga ... Saya takut Ibu Suri akan membuang saya! Saya takut Anda akan menceraikan saya karena mandul! Para dayang berbisik Ibu Suri sedang mencarikan selir baru untuk Anda. Saya putus asa! Makanya saya mencari dukun itu!"

Ia melemparkan nama Ibu Suri Kang seperti perisai. Sebuah kebohongan yang brilian, karena menyasar dua ketakutan terbesar Yi Seon,  kelangsungan garis keturunan dan cengkeraman ibunya yang tiran.

Yi Seon terdiam lama, mengamati Hwa-young dari ujung rambut yang acak-acakan hingga ujung pakaiannya yang kotor. Ia melihat keputusasaan yang nyata, tetapi di baliknya, ia mencium aroma kebohongan yang tajam. Namun, kebohongan ini ... berguna. Jika Hwa-young melakukan semua ini karena tekanan dari Ibu Suri Kang, itu tidak hanya menjelaskan kegilaannya, tetapi juga menjadikannya pion yang bisa ia kendalikan. Dan yang terpenting, ini bisa menjadi senjata untuk melukiskan ibunya sebagai mertua yang kejam.

"Jenderal Kim," panggil Yi Seon,  kembali tajam.

Jenderal Kim, yang sejak tadi berdiri diam seperti patung di ambang pintu, melangkah maju. "Yang Mulia."

"Kau lihat ini?" Yi Seon menunjuk Hwa-young dengan dagunya. "Putri Mahkota tertekan hingga mencari takhayul murahan. Kau saksikan sendiri betapa konyolnya gulungan-gulungan ini."

"Saya menyaksikannya, Yang Mulia," jawab Kim, wajahnya tanpa ekspresi.

"Memalukan!" Suara Yi Seon meninggi, seolah berbicara pada dinding dan para mata-mata yang mungkin bersembunyi di baliknya. "Kau telah mempermalukan Istana Timur! Kau berbohong tentang sakitmu! Tapi ... aku mengerti penderitaanmu."

Ia melangkah mendekat. Untuk pertama kalinya, tangannya mendarat di bahu Hwa-young. Cengkeramannya dingin, menekan, seolah menandai miliknya. "Jenderal Kim, bakar semua kertas konyol ini sampai menjadi debu. Dan manik-manik ini," Yi Seon merebut untaian giok dari pelukan Hwa-young, "aku yang simpan. Aku tidak akan membiarkanmu terjerumus lebih dalam pada omong kosong ini."

Napas Hwa-young tertahan. Yi Seon mengambil Chungmae.

"Jika Anda mengambilnya, ritual saya..." rengeknya, mencoba memainkan perannya sampai akhir.

"Ritualmu sudah selesai," potong Yi Seon dingin. "Sekarang ganti pakaianmu. Kau menjijikkan. Aku tidak akan membiarkan Ibu Suri menggunakan kegilaanmu sebagai senjata melawanku. Kau istriku. Bertingkahlah selayaknya."

Yi Seon berbalik, untaian giok melilit di tangannya seperti ular yang tertidur. Saat melewati ambang pintu, Jenderal Kim berhenti sejenak dan menatap Hwa-young. Tatapannya seolah berkata, Aku tahu ini lebih dari sekadar takhayul, tapi aku akan menjalankan perintah.

Begitu pintu tertutup, Mae-ri langsung roboh di samping Hwa-young. "Yang Mulia, manik-manik itu! Dia mengambilnya!"

Hwa-young menghela napas panjang, campuran aneh antara lega dan frustrasi. "Aku tahu. Tapi kita selamat. Dan yang lebih penting, kita membeli waktu."

"Waktu untuk apa?"

"Untuk bergerak," Hwa-young bangkit, energinya kembali. "Yi Seon tidak akan menghancurkan manik-manik itu. Dia terlalu cerdas dan terlalu curiga. Dia akan mempelajarinya. Tapi dia tidak akan pernah bisa memecahkan sandinya tanpa kunci yang ada di kepalaku." Ia menunjuk tumpukan kertas yang akan dibakar. "Kita hanya kehilangan salinan. Informasi terpenting sudah ada di sini," katanya sambil menunjuk pelipisnya.

Aroma dupa cendana yang menenangkan memenuhi ruang kerja Yi Seon, kontras dengan ketegangan yang baru saja terjadi. Ia melemparkan untaian giok ke atas meja kayu eknya. Bunyi gemerincingnya terdengar janggal, seperti tawa yang tertahan.

"Sudah dibakar?" tanyanya pada Jenderal Kim tanpa basa-basi.

"Menjadi abu, Yang Mulia."

"Bagus." Yi Seon bersandar di kursinya, jemarinya mengetuk-ngetuk meja. "Sekarang, katakan padaku apa yang sebenarnya kau lihat, Jenderal."

Jenderal Kim tetap diam, menunggu.

"Dia pergi ke toko obat bobrok, kembali dengan manik-manik aneh ini, dan mengarang cerita tentang dukun karena takut pada Ibu Suri," lanjut Yi Seon, nadanya rendah dan berbahaya. "Apa kau percaya satu kata pun?"

"Putri Mahkota tampak tertekan, Yang Mulia," jawab Kim hati-hati.

"Itu bukan jawaban." Yi Seon mengambil salah satu manik, memutarnya di bawah cahaya lilin. "Aku melihat ukiran di setiap manik ini. Ini bukan simbol mantra. Ini ... sandi."

"Sandi untuk apa, Yang Mulia?"

"Intelijen? Perdagangan? Itulah yang harus kau cari tahu," perintah Yi Seon. "Selidiki toko obat 'Bunga Teratai Malam'. Jangan hanya tokonya, selidiki pemiliknya. Siapa dia, apa hubungannya dengan mendiang Ratu, dan kenapa aku yakin seratus persen dia sudah menghilang saat ini juga."

"Menghilang?"

"Tentu saja. Jika dia penghubung, dia pasti sudah diperingatkan." Yi Seon menatap Jenderal Kim lekat-lekat. "Lakukan ini diam-diam. Gunakan orang-orangmu di luar istana. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya dicari istriku di sana. Dan Jenderal," tambahnya, matanya berkilat dingin, "jika kau menemukan sesuatu yang mengarah pada kekayaan, perdagangan, atau Ibu Suri Kang ... laporkan langsung padaku. Jangan biarkan informasi ini bocor ke sayap Barat."

"Perintah diterima, Yang Mulia."

Setelah Jenderal Kim pergi, Yi Seon kembali menatap untaian giok itu. Hwa-young sedang bermain dengan api. Tapi mungkin, pikirnya, api itu bisa diarahkan untuk membakar musuh-musuh mereka bersama. Untuk saat ini, ia akan membiarkan api itu menyala di bawah pengawasannya.

Di sayap Barat, Ibu Suri Kang meremukkan gulungan laporan di tangannya. Wajahnya yang dipoles bedak tebal menegang, menampilkan topeng kemarahan.

"Bunga Teratai Malam?" desisnya,  seperti ular.

Kepala mata-matanya, Tuan Choi, berdiri kaku. "Ya, Ibu Suri. Toko kumuh di Hwasan, sarang penyelundup."

"Dan menantuku yang 'sakit-sakitan' itu pergi ke sana untuk mencari 'Ramuan Bulan Merah'?" Ibu Suri Kang tertawa, suara kering tanpa humor. "Yi Seon pasti sudah buta jika menelan kebohongan semurah itu."

"Kami yakin Pangeran Mahkota tidak sepenuhnya percaya, Ibu Suri. Dia menggunakan alasan itu untuk melindunginya dari Anda," lapor Choi.

"Melindunginya?" Ibu Suri Kang menggebrak meja. "Yi Seon selalu meremehkan lawannya! Gadis itu tidak mencari obat, Choi. Dia mencari kontak! Dia membangun kembali jaringannya!" Wajahnya mengeras saat ingatan akan ancaman Hwa-young tentang harga garam kembali menghantuinya. "Sialan! Gadis itu tidak hanya tahu tentang Chungmae, dia mencoba mengaktifkannya!"

Ia mondar-mandir seperti harimau dalam kurungan. "Bunga Teratai Malam. Pasti itu salah satu pos lama milik ibunya. Wanita itu sangat lihai menyembunyikan jaringannya di tempat paling busuk sekalipun."

"Apa yang harus kita lakukan, Ibu Suri?"

"Kita serang sumbernya," desis Ibu Suri Kang, matanya menyala dengan kekejaman. "Kirim timmu yang paling brutal ke toko itu. Bongkar tempat itu sampai ke fondasinya. Aku ingin tahu siapa yang bicara dengannya dan apa yang dia dapatkan selain manik-manik sialan itu."

"Dan jika mereka menemukan pemiliknya?"

Ibu Suri Kang tersenyum, senyum yang membuat bulu kuduk merinding. "Pastikan dia tidak akan pernah bisa bicara lagi. Aku akan mencabut akar rumput liar ini sebelum sempat tumbuh."

Tengah malam di Hwasan. Gang-gang sempit berbau garam dan ikan busuk. Lima bayangan hitam bergerak tanpa suara, menyatu dengan kegelapan. Mereka mendobrak pintu Toko Bunga Teratai Malam dengan satu tendangan terkoordinasi.

Di dalam, obor mereka menyibak pemandangan yang aneh. Toko itu kosong dari manusia, tetapi semua ramuan mahal masih tertata di rak. Seolah pemiliknya pergi terburu-buru, tetapi hanya membawa hal yang paling penting.

Mereka membongkar toko itu dengan brutal. Papan lantai dicungkil, dinding ditusuk, toples-toples dibanting. Setelah satu jam yang sia-sia, salah satu agen berseru.

"Tuan! Lihat ini!"

Ia memegang sebuah toples berisi lumut kering palsu. Di bagian dalam tutupnya, terukir sebuah simbol kecil yang baru dibuat,  setangkai bunga plum terbalik.

"Kode..." bisik pemimpin tim. Dengan tangan gemetar, ia menuang isi toples itu. Sebuah gulungan kertas kecil jatuh bersama remah-remah terakhir.

Ia membukanya. Di bawah cahaya obor, hanya ada lima kata yang tertulis dengan tergesa-gesa.

Wajahnya pucat pasi. "Segera lapor pada Ibu Suri!" desisnya,  dipenuhi kengerian. "Jaringan ini sudah bergerak. Ini bukan lagi intelijen. Ini perang."

Di istana, Tuan Choi menyampaikan pesan itu kepada Ibu Suri Kang.

"Apa pesannya?" tuntut wanita itu.

Choi menelan ludah sebelum berbisik, "Akses ke Gerbang Utara."

Ibu Suri Kang terhuyung mundur seolah ditampar. Gerbang Utara! Jalur logistik utama keluarga Kang. Pintu masuk bijih besi, gandum, dan kekayaan mereka. "Tidak!" pekiknya,  pecah. "Gadis itu ... dia tidak membangun jaringan, dia merencanakan invasi ekonomi! Dia ingin memotong urat nadi kita!"

Ia mengepalkan tangannya begitu erat hingga kukunya menancap di telapak tangannya. Perang yang sesungguhnya telah dimulai.

Sementara itu, di Paviliun Bulan Baru, Hwa-young duduk tenang di depan meja rias sementara Mae-ri menyisir rambutnya.

"Bagaimana jika Pangeran Mahkota memecahkan sandinya, Yang Mulia?" bisik Mae-ri.

"Dia tidak akan bisa," jawab Hwa-young. "Kuncinya adalah sajak anak-anak yang diajarkan ibuku. Sesuatu yang tidak akan pernah ia temukan dalam buku manapun."

"Lalu sekarang?" tanya Mae-ri. "Ibu Suri pasti sudah menyerang toko itu."

"Tentu saja," Hwa-young tersenyum tipis pada bayangannya di cermin. "Dan itu artinya, cara komunikasi kita yang lama sudah mati."

"Lalu bagaimana...?"

Tiba-tiba, terdengar tiga ketukan pelan dan cepat di pintu belakang, diikuti jeda sesaat, lalu satu ketukan lagi. Sandi darurat.

Mae-ri bergegas membuka pintu. Seorang pelayan dapur muda berdiri di sana, gemetar hebat. "Nyonya Mae-ri," bisiknya panik. "Ada penyerbuan di pasar. Toko Bunga Teratai Malam ... hancur. Saat saya lari kembali, saya menemukan ini terselip di sepatu saya. Mungkin ... terjatuh?"

Pelayan itu mengulurkan tangannya. Di telapaknya, ada sehelai daun kering yang diikat benang merah.

Hwa-young sudah berada di belakang Mae-ri dalam sekejap, merebut daun itu. Di atasnya, tertulis beberapa kata dengan tinta hitam. Itu adalah jawaban dari jaringan Chungmae. Mereka selamat, dan mereka baru saja memberinya instruksi berikutnya.

Jantungnya berdebar kencang. Ini bukan lagi sekadar bertahan hidup. Ini adalah panggilan untuk menyerang.

Ia meremukkan daun itu hingga menjadi debu, lalu menoleh ke Mae-ri, matanya berkilat dengan tekad yang dingin dan membara.

"Mae-ri," perintahnya,  rendah dan mendesak. "Siapkan semua dana tersembunyi kita. Semuanya."

"Untuk apa, Yang Mulia?"

Hwa-young tersenyum, senyum tajam penuh antisipasi. Ia mengulangi pesan di daun itu, kata-kata yang akan menjadi langkah pertama dalam perang melawan Ibu Suri Kang.

"Kita tidak mencari tempat persembunyian," katanya. "Kita akan membeli Rumah Lelang Sutra Merah."

Mae-ri tersentak. Rumah lelang itu bukan sekadar tempat perdagangan,  itu adalah jantung perputaran uang para bangsawan, tempat reputasi dibuat dan dihancurkan dalam satu malam. Menguasainya berarti menguasai gosip, utang, dan rahasia seluruh ibu kota.

"Tapi, Yang Mulia," bisik Mae-ri ngeri, "itu adalah wilayah kekuasaan Ibu Suri Kang."

"Aku tahu," jawab Hwa-young, senyumnya semakin lebar. "Itulah mengapa kita tidak akan membelinya secara diam-diam. Kita akan membelinya di pelelangan terbuka besok lusa. Biarkan seluruh dunia melihat kita datang.”

1
Putri Haruya
Mohon maaf ya buat yang menunggu aku update. Bulan November ini, aku sibuk dengan acara di rumah. Jadi, aku banyak bantu keluarga juga sampai gak sempat nulis. Aku ada penyakit juga yang gak bisa kalo gak istirahat sehabis bantu-bantu. Jadi, mohon pengertiannya ya. Nanti malam In Shaa Allah aku nulis lagi. Tapi, kalo besok-besok aku gak update berarti aku sedang ada halangan, ya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!