Jhonatan Wijaya, seorang Kapten TNI yang dikenal kaku dan dingin, menyimpan rahasia tentang cinta pandangan pertamanya. Sembilan tahun lalu, ia bertemu dengan seorang gadis di sebuah acara Akmil dan langsung jatuh cinta, namun kehilangan jejaknya. Pencariannya selama bertahun-tahun sia-sia, dan ia pasrah.
Hidup Jhonatan kembali bergejolak saat ia bertemu kembali dengan gadis itu di rumah sahabatnya, Alvino Alfarisi, di sebuah batalyon di Jakarta. Gadis itu adalah Aresa, sepupu Alvino, seorang ahli telemetri dengan bayaran puluhan miliar yang kini ingin membangun bisnis kafe. Aresa, yang sama sekali tidak mengenal Jhonatan, terkejut dengan tatapan intensnya dan berusaha menghindar.
Jhonatan, yang telah menemukan takdirnya, tidak menyerah. Ia menggunakan dalih bisnis kafe untuk mendekati Aresa. Ketegangan memuncak saat mereka bertemu kembali. Aresa yang profesional dan dingin, berhadapan dengan Jhonatan yang tenang namun penuh dominasi. Dan kisah mereka berlanjut secara tak terduga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Setelah sholat Subuh, Arian menghampiri Aresa di kamar. Aresa yang sedang duduk di kasur menengok.
"Dek, hati-hati ya," ujar Arian, tatapannya penuh kekhawatiran yang jarang ia tunjukkan.
"Iya, Mas. Mas tenang saja," balas Aresa lembut.
"Jujur, Mas enggak tenang, Dek," aku Arian.
"Kenapa, Mas?"
"Mas takut wanita licik itu mengirim mata-mata buat kamu. Mas enggak suka kamu jadi target," kata Arian.
Aresa tersenyum meyakinkan. "Sudah, biarin saja, Mas. Aku enggak salah, aku juga enggak ada hubungan apa-apa dengan Kapten Jhonatan. Dianya saja yang kepanasan. Tapi aku akan tetap mainkan peran ini dengan sempurna."
"Iya, Dek. Jaga diri ya selama di perjalanan. Ingat, jangan mudah percaya sama orang," pesan Arian.
"Iya, Mas."
Mereka berpelukan sebentar, menyalurkan rasa sayang dan khawatir. Setelah melepas pelukan, Arian mengajak Aresa sarapan.
"Yuk, sarapan dulu," ajak Arian.
"Ayok."
Mereka menuju ruang makan. Di meja makan hanya tersedia roti tawar dengan selai cokelat dan dua gelas susu. Keduanya makan dalam keheningan yang tenang.
"Mas nanti juga mau pulang ke apartemen sendiri," kata Arian setelah selesai makan.
"Oh iya, Mas. Terus Vero kapan balik?" tanya Aresa.
"Nunggu kelar urusan di sana, Dek. Mungkin beberapa hari lagi."
"Oh, iya Mas."
"Sana mandi, siap-siap. Nanti Mas antar ke terminal," tawar Arian.
"Nggak usah diantar. Aku sudah pesan ojek, Mas. Biar cepat dan enggak ribet," tolak Aresa halus.
"Oh, ya sudah," Arian beranjak. "Mas ke kamar dulu."
Di meja makan, Aresa merapikan bekas makannya dan pergi ke kamar untuk bersiap. Setelah bersiap dengan ranselnya yang minim pakaian namun penuh skincare, Aresa menghampiri Arian yang sudah siap di ruang tengah.
"Pergi dulu, Mas. Assalamualaikum," pamit Aresa.
"Iya, Waalaikumsalam. Hati-hati," balas Arian.
Aresa melambaikan tangannya sebelum keluar dari apartemen.
****
Sementara itu, di batalyon, Jhonatan sudah bersiap. Ia mengecek keadaan mobilnya dengan teliti. Ia tahu bus Aresa berangkat pukul 7 pagi. Jauh di lubuk hatinya, ia sebenarnya ingin sekali menjemput Aresa ke apartemennya dan pergi bersama, tetapi ia sadar, ia tak mau membuat Aresa merasa tak nyaman.
Setelah selesai mengecek semua perlengkapannya, Tak lupa Jhonatan berpamitan ke rumah Alvino.
"Vin, gue berangkat," kata Jhonatan.
"Iya, hati-hati, Jo. Gue berangkat agak siangan. Lo harus sabar ngikutin bus," ujar Alvino mengingatkan.
"Pasti. Gue pergi Vin, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Jhonatan mengemudikan mobilnya cukup santai ke terminal. Ia ingin berangkat bersamaan dengan bus Aresa. Saat sampai di area terminal, ia tidak keluar dari mobilnya. Tapi ia berharap bisa melihat Aresa sebelum naik kedalam bus. dan keberuntungan berpihak padanya.
Ia melihat Aresa datang naik ojek. Penampilannya sederhana, hanya kaos dan celana kain dipadukan jilbab yang senada, tetapi entah mengapa ia tetap terlihat memikat di mata Jhonatan.
"Kamu cantik, Res," ucap Jhonatan dalam hati. Senyum tipis yang sangat jarang ia tunjukkan terukir di wajahnya.
****
Sementara itu, saat Aresa masuk ke area terminal, ia sempat melihat mobil yang tak asing—mobil yang pernah ia tabrak dengan sepeda listrik bersama Gio. "Itu mobil Kapten Jhonatan! Kenapa ada di sini?" Aresa penasaran dalam hati.
Aresa juga mulai menyadari seperti ada orang yang mengawasinya lagi saat ia turun dari ojek. Tapi ia tak ambil pusing. Ia naik ke dalam bus, mencari kursinya di pinggir jendela. Tak lama, setelah dia duduk bus pun mulai berjalan.
Aresa duduk sambil melihat ke jendela. Hatinya gelisah memikirkan Liam. "Liam benar-benar tak ada kabar. Bahkan teman-temannya pun nggak ada yang tahu dia di mana. Mungkin sudah saatnya aku melepaskan Liam," batin Aresa. Sebelum akhirnya Aresa terlelap.
Aresa terbangun setelah terlelap cukup lama. Ia melihat ke ponselnya, ternyata baru setengah perjalanan. Jarak dari Jakarta ke kampungnya memang lumayan jauh, kurang lebih 12 jam perjalanan.
****
Bus Aresa berhenti di rest area. Jhonatan, yang mengikuti di belakang dengan jarak aman, ikut menghentikan mobilnya. Jhonatan turun, ingin buang air kecil.
Saat di toilet, ia tak sengaja bertemu Aresa yang baru keluar. Jhonatan memasang ekspresi terkejut.
"Loh, Res? Kamu kok di sini?" pura-pura kaget Jhonatan.
"Eh, Kapten Jhonatan. Iya, saya mau pulang kampung," jawab Aresa dengan suara dingin dan datar.
"Sendirian?"
"Iya, Kapten. Saya permisi." Aresa segera melangkah pergi.
"Res, tunggu!" panggil Jhonatan.
Aresa menengok ke belakang.
"Ayo, ikut saya saja naik mobil. Lebih cepat dan nyaman. Nanti saya antar sampai rumah," bujuk Jhonatan.
"Tidak, terima kasih, Kapten," tolak Aresa tegas, lalu pergi.
Jhonatan akhirnya tak memaksa dan masuk ke toilet. Sedangkan Aresa yang sudah di bus lagi merasa heran. "Kenapa Kapten Jhonatan ada di sini? Bukannya kata mas Vino, dia akan berangkat bersamanya naik kereta?" Aresa tak ambil pusing, ia menikmati makanan yang ia beli setelah dari toilet.
****
Di apartemen Arian, sudah ada Azzam yang duduk dengan cemberut dan Alvino yang sengaja datang sebelum ia berangkat ke kampung.
"Jhonatan udah berangkat tadi pagi, Yan," lapor Alvino.
"Oke, Mas." Arian menengok ke Azzam. "Gimana, Zam? Orang suruhan lo udah ada di bus yang sama dengan Aresa kan?"
"Aman, Yan. Mereka udah standby di bus. Orang suruhan Sella juga ikut menguntit ke terminal tadi," lapor Azzam. "Tapi Aresa pintar banget. Dari kemarin kalau pergi dia naik ojek dari kos-kosan depan pabrik. Mungkin orang suruhan Sella mengira Aresa tinggal di sana, jadi mereka enggak curiga apartemen mewah ini."
"Adik gue memang jenius," puji Arian bangga.
Alvino tersenyum. "Terus rencana kalian gimana?"
"Kita nanti mau nguntit Sella," jawab Arian.
Azzam langsung mendengus keras. "Arian, please! Udah tahu weekend, lo malah ajak gue main mata-mata!"
Alvino tertawa. "Yang penting bayaran double, Zam. Jangan mengeluh."
"Gue cuma nurutin dia karena uang Mas. Kalau enggak, udah gue smack kepala si Arian," gerutu Azzam.
"Kayaknya berani aja, lo," ledek Arian.
Alvino melirik jam. "Gue pamit. Sudah waktunya gue nyusul Resa. Hati-hati kalian berdua."
****
Pukul 9 pagi, Arian dan Azzam mulai bergerak. Mereka meluncur menuju rumah Sella yang mereka tahu lokasinya dari orang suruhan mereka.
Rumah Sella mewah dengan pagar menjulang, di depannya terparkir mobil-mobil mewah. Tak lama, Sella keluar dari rumah dan masuk ke mobilnya. Arian dan Azzam yang memantau dari luar melihatnya dan mulai mengikuti dari jarak aman.
"Mau ke mana juga itu orang?" tanya Azzam penasaran.
"Udah enggak usah berisik, ikuti aja," jawab Arian.
Mobil Sella berhenti di sebuah restoran mewah. Sella turun. Arian dan Azzam pun ikut turun dan duduk di kursi belakang mereka, menyamar sebagai pelanggan biasa. tapi mereka masih bisa mendengar percakapan di meja Sella. Sella duduk dihadapan seorang wanita paruh baya yang terlihat seperti ibu-ibu sosialita.
"Maaf, Tante, nungguin lama ya," kata Sella.
"Enggak, Sayang. Baru sebentar kok," jawab wanita itu.
Sella mengambil ponselnya dari tas dan memperlihatkannya ke wanita itu. "Ini, Tante, perempuan yang membuat Jhonatan menolak aku. Penampilannya sangat kampungan, kan?"
Wanita itu bereaksi sesuai harapan Sella. "Astaga, seperti gembel! Sangat tidak cocok dengan Jhonatan."
Mereka terus mengobrol, dan Arian serta Azzam tersenyum. Mereka berinteraksi melalui mata, menebak kalau wanita itu adalah ibunya Jhonatan dan mereka sedang membicarakan Aresa.
Saat Sella dan wanita itu pergi, Azzam baru bersuara.
"Adik lo emang terlihat sederhana, tapi biyuhh, gajinya banyakan dia dari pada gue," ujar Azzam menggeleng.
"Iya, gue juga heran. Aresa itu punya gaji besar, bahkan tinggal di Eropa, tapi penampilannya terlihat biasa aja. Tapi jangan salah, baju dia mahal-mahal," jelas Arian.
"Terlihat sederhana tapi bukan sembarang harga," simpul Azzam.
"Iya, gue mah biasa aja mau dia kaya gimana. Yang penting dia bahagia dengan hidupnya," kata Arian tulus.
"Mau lanjut apa gimana?" tanya Azzam.
"Udah, lah. Kita udah dapat informasi yang kita mau. Pulang aja," kata Arian. Mereka tersenyum puas, mengetahui bahwa umpan mereka bekerja dengan sempurna.
yu kak saling sapa mampir beri dukungN ke karyaku juga