NovelToon NovelToon
Lucid Dream

Lucid Dream

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Nikah Kontrak / Beda Usia / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers
Popularitas:526
Nilai: 5
Nama Author: Sunny Rush

Sebuah kumpulan cerpen yang lahir dari batas antara mimpi dan kenyataan. Dari kisah romantis, misteri yang menggantung, hingga fantasi yang melayang, setiap cerita adalah langkah di dunia di mana imajinasi menjadi nyata dan kata-kata menari di antara tidur dan sadar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dia Yang Bersamaku

Jika aku memiliki sesuatu yang ingin dibanggakan, itu adalah diriku sendiri. Mungkin kata orang-orang, diriku tidak berharga dan tidak ada yang bisa dibanggakan. Tapi aku percaya, menghargai diri sendiri adalah sebuah kenyamanan dalam hidup sesuatu yang tak bisa diberikan oleh orang lain, hanya oleh diriku sendiri.

Untuk diriku: terima kasih karena sudah berusaha bahagia walau tidak sempurna. Terima kasih karena mau tersenyum meski dunia terkadang menatapku dengan sinis.

Well, aku ingin menceritakan kisahku, kisah di mana aku bertemu dengannya tanpa bertegur sapa dan tanpa berjabat tangan.

Ya, Dia.

Dia adalah orang itu yang menghargai ku tanpa harus membully. Bukan aku kekurangan anggota tubuh, karena semua ada, hanya saja aku… gendut. Seperti Kudanil. Itulah julukan yang sering mereka lontarkan padaku. Sakit? Tentu saja. Tapi mau bagaimana lagi, kata-kata mereka tidak bisa menghapus rasa nyamanku terhadap diriku sendiri.

Hidupku nano-nano, kadang manis, kadang pahit, terutama keluargaku. Tapi biarlah, nanti kalian akan mengetahuinya, dan mungkin itu memang untuk kebaikan kita juga.

Aku Zulaikha Almaira, si gadis yang harus selalu bersyukur dengan apa yang dijalani. Ibu selalu bilang:

“Hidup itu simple jika kamu menjalaninya dengan rasa syukur, tapi hidupmu akan runyam jika kamu menjalaninya tanpa rasa syukur.”

Ah, sudahlah. Yang penting aku menerimanya dengan lapang dada. Walaupun mulut mereka selalu beradu satu sama lain, terus menghina, merendahkan, dan menilai hanya dari fisikku.

Well, welcome to my life, kawan.

....

“Zulaikha, apa hidupmu akan terus-terusan seperti ini? Badanmu saja yang gede, tapi otakmu kecil. Bangun, Zulaikha!”

Itu adalah alarm tiap pagiku, yang datang dengan suara lantang ibu. Biasanya aku ketiduran setelah subuh, tapi hari ini… beda rasanya.

“Zulaikha!” Ibu langsung menarik selimutku, menyingkapnya dengan cepat. Wajahnya ternganga, mungkin kaget, karena yang tersisa hanya bantal dan guling.

“Selamat, Anda terkena prank!” Aku langsung keluar dari kamar mandi sambil menahan tawa.

Sebenarnya aku tidak berniat melakukannya, tapi entah kenapa takdir sedang berpihak padaku.

“Dasar anak tengik!” Ibu melempar bantal, dan aku sigap menangkapnya dengan satu tangan sambil sedikit membungkuk, menahan tawa.

“Sorry, Ibu sayang. Untuk sekarang, badan ku terbebas dari hujan buatan,” aku sedikit menekuk tubuhku sambil tersenyum nakal. Tidur setelah subuh memang nikmat, walau seharusnya tidak boleh.

Ah, mungkin lebih baik aku membantu ibu di dapur sekarang.

“Bukannya kamu akan pergi ke reuni sekolahmu?”

Ah, baru ingat! Hari ini ada reuni. Tapi, apa aku harus datang?!

“Aku belum glow up lagi, Ibu!” keluhku sambil duduk di tepi kasur, menundukkan kepala dengan ekspresi malas.

“Glow up apa?” Ibu menatapku datar, membuatku semakin merasa bersalah. Aku memasang wajah memelas, berharap bisa menghindar dari reuni itu.

Aku memang malas datang, sudah tahun ke lima atau enam ya, aku lupa dan aku tidak pernah hadir. Alasan? Lagi di luar kota urusan pekerjaan. Padahal… kenyataannya aku hanya rebahan di rumah sambil nonton kartun, hehe.

“Mungkin dulu badanmu dianggap besar, tapi sekarang justru semok.”

Apa semok???!!! Hatiku berdebar mendengar kata itu.

“Apa ibu ingin aku berhenti jadi anak rumahan yang doyan rebahan?!” Aku menegakkan tubuh, menatap ibu dengan setengah cemberut, setengah protes.

“Setidaknya ibu tidak ingin kamu gila sebelum waktunya,” ucap ibu datar, namun matanya tetap menatapku serius.

“Heh, orang tua macam apa yang berkata seperti itu kepada anaknya?”

“Orang tuamu!” Ibu melenggang keluar, meninggalkanku di kamar.

“Dasar orang tua!” gumamku sambil melempar bantal ke kasur.

“Jika kamu pergi, pakailah pakaian yang bahannya lengkap. Jangan yang kekurangan bahan. Masa di dunia sudah menyusahkan, di akhirat juga mau bikin susah orang tuamu?” teriak ibu dari pintu kamar, menyingkap kepala sedikit.

Dengarkanlah, dia adalah ibuku. Sering bicara soal akhirat, tapi selalu benar. Kadang manusia tahu dosa, tapi tetap melakukannya.

Ampuni aku, ya Tuhan!

Seberapa gendut aku?

Tidak terlalu, paling sekitar 65 kg-an. Tapi entah kenapa, saat sekolah dulu, badanku tampak seperti Kudanil di mata teman-temanku.

Aku mencari baju seragam sekolah lama yang pasti masih muat karena badanku tidak banyak berubah. Sengaja dibeli agak besar dulu, supaya gerakanku leluasa.

Aku mengambil tas yang ada di atas lemari—berdebu karena memang aku malas membersihkannya. Uhuk uhuk… debunya beterbangan ke udara. Aku menutup hidung sebentar, lalu membawa tas ke kursi di balkon, supaya debunya tidak mengotori kamar yang baru saja dibersihkan.

Saat kubuka tas itu, bajunya masih lumayan bagus lengan pendek, rok panjang, semua masih rapi. Tapi tiba-tiba, sebuah foto jatuh dari tas. Foto diriku dengan seorang cowok. Seketika, ingatanku melayang ke hari itu. Dia adalah cowok yang ingin membeli ketoprak saat foto itu diambil.

“Angga…” bisikku pelan, satu nama yang membuat dadaku berdegup lebih cepat. Sungguh, tak kusangka foto kecil itu bisa membawa begitu banyak kenangan.

.....

“Maira, cepet larinya!” seru seseorang, tapi aku bingung siapa yang dimaksud. Aku melihat Aira di belakangku, tampak sibuk merapikan rambutnya sambil menatapku dengan ekspresi heran.

“Aira, kamu yang seharusnya lari, bukan malah membenarkan rambutmu,” aku menegur sambil melangkah cepat.

“Ah, iya…” Aira masuk ke barisan dengan tampang nyebelin tapi polos.

Kami dua sahabat yang berbeda lemak. Maksudku, lemak Aira sedikit, aku agak banyak. Jangan bilang gendut, kata orang, cukup bilang “agak berisi” atau “sedikit lebih montok”, hehe.

“Telat lagi kamu, Ra. Seharusnya minta gendong saja sama makhluk ini,” canda Jono sambil menunjuk ke arahku.

“Kasihanlah, nanti malah tambah telat!” timpal Aira sambil tertawa riang.

Ishhh… ish… ish… aku hanya bisa menggeleng, menahan senyum sinis. Bercanda mereka kadang kelewatan.

“Semoga mulutmu dapat hidayah, Jono!” ucapku setengah sinis, setengah bercanda.

“Semoga badanmu mendapat hidayah, Nil!” Aku melempar tas Aira ke arah Jono.

“Heh, tasku itu!” Jono protes sambil mengelap muka kesalnya.

“Semoga kalian berjodoh!” aku berseloroh, menambahkan bumbu dramatis.

“Berdoalah sesuai keinginan masing-masing, Jono bukan tipeku!” sangkal Aira. Memang, Jono bukan orang yang disukai Aira; hatinya sudah jatuh ke Rifal.

“Berbahagialah, Jon, karena hatimu ditolak!” ucapku, menatap Jono dengan tatapan nakal. Jono hanya menghela napas panjang, tak berkata sepatah kata pun.

Inilah kami, duduk di bangku SMA. Kami tidak terkenal karena cantik aku terkenal karena ada “Kudanil” di antara kami. Maksudku… hanya aku. Mereka memang good looking, tapi otaknya… ya, Jono sedikit sinting, Aira tidak. Tapi kemiripan mereka membuat kedekatan mereka denganku terasa unik.

“Heh, awas Kudanil lewat!” teriak salah satu siswi dengan nada mengejek. Aku menoleh, antara ingin tertawa dan kesal. Mungkin di rumahnya tidak punya kaca, atau kacanya terlalu kecil untuk mengukur tubuhnya sendiri.

“Kudanil, Kudanil. Bahkan badanmu melebihi Kudanil!” balasku sinis, melangkah dengan kepala tegak, menahan amarah sekaligus geli.

“Apa kamu bilang?” Mira, si pengganggu, langsung menarik bajuku sampai kancingnya lepas satu, dua, tiga!

Aku menahan napas melihat itu. Maira langsung menutupi bajunya agar tidak terekspos.

“Mira, aku tahu kamu tidak sengaja merusak kancing baju ku, tapi berhentilah berkata ‘Kudanil’ seolah kamu bukan emaknya! Pergunakan uangmu untuk menyedot lemak, bukan menyogok teman supaya betah berteman denganmu. Dasar gila!” ucap Maira kesal sambil menatap Mira dengan tatapan tajam.

Mira pergi, tapi aku bisa merasakan kegelisahan di dadanya. Hidupnya ekstrim. Bagaimana bisa uang berkuasa membuat orang bersikap seperti itu?

Maafkan aku, Tuhan. Maafkan aku, Mira… semoga dia mendapat hidayah.

“Lagian, tenaga si Mira macam kuli saja dia,” ucap Aira sambil menertawakan cerita baruku. “Lalu, darimana kamu mendapatkan sweater ini?”

Aku menjelaskan, “Aku menemukannya saat keluar dari toilet tadi.”

“Di mana?” tanya Aira penasaran.

“Di gagang pintu toilet!” jawabku sambil menunjuk dengan jari.

“Bagaimana kalau itu milik orang?”

“Pergunakanlah sebaik-baiknya!” jawabku sambil tersenyum nakal. Aira menatap tulisan di sweater dan akhirnya mengangguk, “Oh…” katanya polos.

Untung dia kawanku. Kalau bukan… sudah aku biarkan dia dengan Jono menikah, haha.

Aku tidak tahu siapa orang itu, tapi semoga hidupnya diberkahi.

....

“Mau kemana kamu?” tanya ibu sedang asyik menonton TV dengan mantan pacarnya.

“Mau ke depan, Bu, cari cemilan untuk perutku,” jawabku sambil mengelus-elus perutku sendiri.

“Apakah perutmu kekurangan lemak? Badan sudah segede gentong, masih cari cemilan,” ledek ibu sambil tersenyum nakal.

“Tidak apa-apalah, Pak gentongnya saja tidak marah, iya gak Pak?” kataku, menoleh ke arah bapak.

“Biarkan saja, Bu. Yang penting jangan lupa bawakan Bapak ketoprak sama nasi goreng ya,” sahut bapak sambil tersenyum.

“Siap, Pak gentong!” jawabku sambil memberi hormat lucu.

“Pakai rok panjang, nanti ada angin orang-orang nonton gratis paha Kudanilmu,” teriak ibu. Aku langsung memanjangkan rok dengan malu-malu.

“Sudah, yang mulia ratu gentong. Aww.” Ibu melempar bantal sofa tepat sasaran, bapak tersenyum melihatnya, sementara aku mengusap kepala karena lumayan keras kena bantal.

....

Aku masih duduk di kursi, mengunyah ketoprak sambil menatap sekeliling. Mungkin kita sering bertemu, tapi aku tidak menyadari bahwa dialah bagian dari hidupku.

“Jasa foto keliling!” seru seorang abang di depan warung. Aku menatapnya sambil menahan tawa.

“Neng, jasa foto keliling cuma goceng?”

“Buat makan anak neng di rumah!” balasku.

“Ya sudah, bang, ayo!” Aku mengiyakan sambil membenarkan rambut yang berterbangan.

Maira langsung mencari tempat yang bagus, menyesuaikan sudut agar pencahayaannya pas, tapi tetap saja fotonya diambil di dekat ketoprak yang sejajar dengan nasi goreng. Ia menghela napas pelan, menahan sedikit kesal tapi juga geli.

“Bang, harus kelihatan agak kurus ya, jangan kucel juga hehe,” kata Maira sambil tersenyum canggung ke si abang tukang foto.

“Sesuai keadaan ya, neng!” jawab si abang, membuat Maira agak cemberut. Rasanya seperti ditegur, tapi ya memang begitu kenyataan.

“Ya bang, sesuai keadaan aja, tanpa editing,” sahutnya sambil menahan tawa kecil. Ia mencoba terlihat santai, meski jantungnya berdegup lebih cepat karena kamera mengarah padanya.

Maira bersiap berpose dengan dua jari, gaya khasnya, tapi tiba-tiba terdengar suara cowok yang akan membeli ketoprak.

“Bang, ketoprak satu bungkus!” katanya sambil sedikit melirik ke arah Maira. Tubuhnya kaku sejenak, wajahnya memerah malu, tapi ia tetap mencoba tersenyum.

Tukang foto keliling itu langsung mengambil foto mereka berdua. Foto itu ternyata terlihat cukup bagus, menangkap ekspresi Maira yang natural dan sedikit grogi.

“Ini, neng,” kata abang tukang foto sambil menyerahkan foto itu. Tapi sebelum diberikan, ia menulis nama dulu di bagian belakang.

“Saya belum siap, Abang!” Maira sedikit protes, wajahnya masih memerah. Tapi apa boleh buat, ia menerima saja.

“Sudah, saya mau keliling dulu,” kata si abang, sambil melirik tasnya. “Siapa nama kalian berdua?” tanya dia sambil mengambil pulpen.

“Maira, Angga,” jawab mereka serempak, sedikit tersipu.

“Ini potonya!” si abang memberikan foto itu ke mereka berdua.

“Ini uangnya, terima kasih!” Maira menyerahkan uangnya sambil tersenyum lega, kemudian langsung mengambil ketoprak dan nasi gorengnya, lalu pergi begitu saja.

Aneh, bukan?! Tapi memang begitulah kehidupan. Kadang aneh, kadang lucu. Yang penting, jalani dengan lurus, tanpa tikungan, meski ada sedikit malu atau canggung di tengahnya.

...

“Zulaikha, lo sudah siap-siap belum?” teriak Aira, membuyarkan lamunanku.

“Asem lo, ngagetin saja,” jawabku sambil menyimpan foto dan mengambil bajuku.

Dia teman SMA-ku, sahabatku. Ya, kami masih dekat, walau pikirannya sering kemana-mana tentang modis, anggun, cantik, dan menguras uang terus.

“Dua jam lagi acaranya mulai, Zulaikha! Cepat siap-siap, kita harus lihat laki-laki keren!” katanya antusias, matanya bersinar.

“Maksud lo, si Jono?” tanyaku, Aira langsung cemberut.

“Ishhh, jangan si Jono lah,” katanya duduk di tepi ranjangku sambil selfie ria.

“Baju lo dan rok lo gak salah ukuran?” tanyaku, meletakkan tas kembali.

“Tidak. Apa ini terlihat menggoda?” katanya, sedikit menggoyangkan dadanya sambil senyum.

“Lumayan. Lo gak ketemu ibu?” tanyaku.

“Tidak,” jawabnya.

“Cepet ganti baju, gue tunggu di sini,” kataku. Aira masih santai selfie ria, tanpa mempedulikan waktu.

.....

“Astagfirullah haladzim!”

Siapa yang beristigfar dari bawah tangga? Mungkin kaget melihat sesuatu yang tak disukainya.

1
Idatul_munar
Tunggu kelanjutan thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!