Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19. Kerang dan Su_su
19
"Seperti biasa, kerangmu selalu enak. Su_sumu selalu segar. Aku suka sayang." Bibir keriput Ranvir sedang sibuk menye_sap bagian paling sen_sitif mi_lik istri belianya itu. Sambil mere_mas su_su Ayumi dengan ge_mas, li_dahnya terus bermain kompak dengan bi_birnya menikmati hidangan yang segar.
Sementara Ayumi berusaha keras untuk berfan_tasi untuk melengkapi suasana itu agar lebih te_gang. Pasalnya, Ranvir hanya bisa memu_askan dengan cara itu, tidak lebih. Sudah lama ia kehilangan kemampuan untuk memu_askan istrinya dengan alat vi_talnya.
Tidak bisa berdiri lama-lama. Karena tergerus usia dan berbagai penyakit yang pernah menggerogoti, benda yang seharusnya menjadi kebanggaan itu tak lagi bisa menjelajah dengan baik.
Tapi jiwa li_arnya masih tersisa meski stamina sudah tak lagi prima. Ia tetap berusaha meman_jakan Ayumi semampunya. Memang, Ayumi mengaku pu_as serta ditandai dengan area in_timnya yang ba_sah, tapi itu hanya pengakuan di bibir saja. Tetap saja Ayum menginginkan sebuah penya_tuan. Gempuran di bentengnya dari pria yang ia inginkan.
Malam itu kamar utama terasa begitu sepi meski lampu kristal di langit-langit masih memancarkan cahaya lembut keemasan.
Ayumi duduk di sisi ranjang, menatap pria tua di sampingnya yang sudah lebih dulu terlelap setelah meminum obatnya. Suaminya, seorang produser ternama yang pernah begitu disegani di masanya, kini tampak rapuh. Nafasnya pelan, kadang tersengal. Untuk urusan pekerjaan pun ia percayakan pada beberapa orang kepercayaannya.
Dengan sabar Ayumi menyelimutinya, merapikan posisi bantal, lalu mematikan lampu di sisi tempat tidur. Ia menatap wajah itu lama, wajah seseorang yang dulu memberinya dunia gemerlap, namun kini tak lagi mampu membalas kebutuhan paling sederhana, rasa dekat, hangat, dan dicintai secara utuh.
Di balik senyum lembutnya, tersimpan getir yang ia pendam rapat.
Ia masih muda, masih berenergi, dan kadang tubuhnya menuntut sesuatu yang tak bisa lagi dijawab oleh lelaki di sampingnya. Tapi Ayumi tahu, mengeluh tak akan mengubah apa pun.
"Apa aku minta cerai aja ya? Aku gak tahan hidup kayak gini. Aku butuh laki-laki perkasa." Ayumi menggumam sambil mengusap su_su dan area vi_talnya bergantian pertanda ia sedang sangat menginginkan bela_ian.
Ia berdiri perlahan, melangkah menuju jendela besar dan membuka tirainya sedikit. Di luar sana, langit malam begitu indah, bintang bertaburan di atas kota yang belum tidur. Namun keindahan itu hanya membuat dadanya semakin kosong.
“Semua ini mewah, tapi kenapa rasanya hampa…” gumamnya lirih, hampir tanpa suara.
Ia menatap bayangan dirinya di kaca, sosok perempuan anggun, cantik, berkelas, tapi matanya menyimpan letih yang tak bisa ditutupi oleh perhiasan atau gaun sutra sekali pun.
Lalu, perlahan, ia kembali ke sisi ranjang, duduk dan menarik napas panjang.
Ia menepuk lembut tangan suaminya yang sudah renta, seolah berkata bahwa ia masih setia, meski di dalam hatinya bergolak rasa yang tak bisa ia bagi kepada siapa pun.
***
Malam itu udara di vila tepi pantai terasa lembut. Desiran ombak terdengar samar di balik jendela kaca besar yang terbuka sebagian. Di kamar utama yang disulap menjadi ruang kerja darurat, tiga orang masih terjaga.
Liang duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya, sementara Allen mencatat sesuatu di tablet kecil. Aldrich sendiri bersandar santai di sofa empuk, mengenakan kaus tipis warna abu dan celana pendek santai, tapi tetap memancarkan aura selebritas papan atas.
“Jadi jadwal promosi akan dimulai dua minggu lagi?” tanya Allen, memeriksa kalender digitalnya.
Aldrich mengangguk sambil menghela napas. “Ya. Dan aku harus memastikan semuanya berjalan mulus sebelum kembali ke kota. Aku gak mau ada kesalahan teknis seperti tahun lalu.”
Liang menutup laptopnya, matanya sudah setengah sayup. “Kupikir sudah cukup untuk malam ini. Besok pagi kita bisa bahas lagi rundown acaranya.”
“Baik,” jawab Aldrich tanpa banyak komentar.
Liang berdiri sambil meregangkan badan. “Allen, kamu lanjut saja bantu Aldrich menyusun detail terakhir. Aku udah gak kuat nahan kantuk.”
Allen hendak membuka mulut, ingin juga pamit, tapi Aldrich sudah menatapnya sambil berkata lembut,
“Gak apa, Ko Liang. Biar Allen di sini sebentar. Masih ada beberapa hal kecil yang ingin kubicarakan.”
Liang hanya mengangguk, lalu pergi menuju kamarnya. Tinggallah mereka berdua dalam ruangan yang tiba-tiba terasa lebih hening dari sebelumnya.
Allen menelan ludah, mencoba tetap fokus pada layar tablet. “Apa yang masih perlu aku bantu, Mas?”
Aldrich tersenyum tipis. “Santai aja. Jangan terlalu formal, Allen. Kita udah lumayan lama bekerja bersama, bukan?”
Allen ikut tersenyum kaku. “Baik, Mas.”
Pria itu beranjak dari sofanya, berjalan pelan ke arah jendela, menatap laut yang gelap. “Kamu tahu? Dulu, setiap kali selesai syuting, aku selalu minta asistenku memijat punggungku. Dia pinter banget. Bisa membuat rasa tegang hilang seketika.”
Allen memiringkan kepala, sedikit bingung arah pembicaraan itu. “Oh… gitu ya, Mas. Mungkin Ko Liang bisa mencarikan terapis khusus kalo... ”
Belum sempat ia melanjutkan, Aldrich berbalik dan berkata santai, “Kamu aja, Allen. Tolong bantu aku malam ini.”
Allen menatapnya kaget. “A-Aku?”
“Ya, kamu baca perjanjian kerja kita gak?” jawab Aldrich, tertawa kecil. “Aku gak akan gigit kamu kok. Aku cuma butuh sedikit pijatan di punggung. Rasanya pegal sekali setelah snorkeling tadi.”
Allen menatap sekeliling, berharap ada alasan untuk menolak, tapi tak ada siapa pun di sana selain mereka berdua. “Aku… aku gak terlalu pandai mijat, Mas. Takut malah salah urat nanti.”
Aldrich menatapnya dengan tatapan teduh, tapi menyimpan sedikit nada menggoda. “Gak apa. Asal niatmu tulus, aku yakin hasilnya gak buruk. Lagian kamu udah pernah mijet pundak sama lenganku juga. Hasilnya lumayan ngefek.”
"Iya, Mas. Tapi ini punggung lho, itu artinya kamu harus buka baju. Astaga, di ruangan tertutup gini aku sama cowok yang gak pake baju. Apa kata dunia." Di dalam hati Allen menggumam.
"Ayo, Al!" Suara Aldrich dari arah tempat tidur menyentakkan kebisuan Allen yang tak sadar bahwa Aldrich sudah membuka kaosnya.
Allen menelan ludah, lalu menghela napas panjang. “Baik, Mas… tapi cuma sebentar, ya.”
"Kalo aku ketiduran, kamu silahkan balik ke kamar kamu." Sahut Aldrich.
"Hmm... Gimana jadinya kalo pijatanku justru gak enak dan dia gak tidur-tidur." Lagi-lagi Allenenggumam dalam hatinya.
Ia bangkit perlahan dan mendekat. Aldrich sudah tiduran di ranjang, membelakangi Allen, dengan posisi mengge_maskan. Kaosnya yang tadi jadi penghalang kini tidak ada lagi, hingga menampakkan ku_lit pung_gung yang kekar dan mu_lus namun tampak lelah.
"Ya Tuhan, kenapa cobaan datang bertubi-tubi sih." Bisik batin Allen.
Allen berusaha menahan diri agar tidak terlihat canggung. Ia mulai menekan lembut pung_gung Aldrich, mencoba meniru cara pi_jat refleksi yang pernah ia lihat di internet.
“Bener gini gak, Mas?” tanyanya pelan.
Aldrich mengeluarkan suara pelan, seperti desahan lega. “Hmm… ya, seperti itu. Sedikit lebih kuat di bagian belikat kiri.”
Allen menyesuaikan tekanan tangannya, sementara pikirannya berusaha tidak melayang ke mana-mana. Ia menatap lurus ke arah dinding, tak berani melihat ku_lit hangat yang disen_tuhnya.
“Gak nyangka liburan singkat ini justru membuatku lebih tegang dari syuting film laga,” gumam Aldrich pelan. “Kamu tahu, Allen… aku jarang ngerasa nyaman kayak gini.”
Allen tersenyum kikuk. “Y-ya, mungkin karena udara pantai yang tenang.”
“Bukan,” sahut Aldrich, setengah berbisik. “Mungkin karena orang yang melakukannya.”
Allen langsung berhenti memijat. “Mas Aldrich…”
Pria itu tertawa kecil. “Hei, aku becanda. Jangan tegang gitu. Lanjutin aja. Itu udah terasa jauh lebih baik.”
Allen menarik napas, melanjutkan dengan hati-hati. “Kamu suka ngisengin orang ya, Mas?”
Aldrich menoleh setengah. “Itu kebiasaanku kalau sedang rileks. Tapi aku gak akan melampaui batas kok.”
Hening beberapa saat. Yang terdengar hanya detak jam dinding dan desiran ombak dari luar.
Akhirnya Aldrich berkata pelan, “Kamu punya tangan yang lembut, Allen. Gak seperti asisten lamaku yang kasar banget.”
Allen buru-buru menarik tangannya. “A-Aku rasa udah cukup, Mas. Apa Mas belum ngantuk?”
Aldrich menatapnya lama, lalu tersenyum. “Belum, Al. Ayo lanjutin.”
Allen mengeluh dalam hati. “Aku gak kuat, Mas. Otakku travelling nih.”
“Allen… jangan terlalu canggung. Aku gak mau kamu ngerasa takut kerja bareng aku.”
Allen tersenyum tipis. “Aku gak takut. Cuma… masih canggung aja. Mungkin.”
Aldrich mengangguk. “Dan itu alasan kenapa aku mempercayaimu. Kamu sangat menjaga sikap. Itu tandanya kamu orang baik. Tapi kamu harus belajar banyak dari Koko. Dia udah kayak keluargaku. Jangan canggung lagi ya.”
Allen mengangguk meski hatinya tak sepenuhnya bisa menerima. Karena ia akan memaknai 'tidak canggung' itu dalam arti yang lain. Bagaimanapun juga, setiap perempuan pasti akan memikirkan hal yang sama saat berada di posisinya. Aldrich terlalu memukau untuk diabaikan. Secara fisik, ia benar-benar layak menjadi idol. Tampang dan posturnya nyaris sempurna. Tak heran jika ia selalu menjadi trending topic dimana-mana.
"Ya Tuhan, leganya. Akhirnya dia tidur juga. Aku bisa kabur sekarang." Allen berdecak senang.
Di luar kamar, ia memegangi dadanya, mencoba menenangkan napas.
Entah mengapa, meski tadi ia hanya membantu memijat punggung, ada sesuatu dalam tatapan Aldrich yang membuatnya tak bisa berhenti memikirkan pria itu.
.
YuKa/ 221025
aku traveling sama petrick deh ih ..masak cuma di gosok doang dah nyembur 🤣
Entah itu yang disebut cinta atau hanya simpati karena mereka menganggap mu seperti saudaranya sendiri..
Gitu loh Mas Aldrich.. 🤣🤣
makin penasaran aku jadinya
apakah Aldrich sdh tahu kebenarannya?
tapi dia pura-pura saja
berlagak tidak mengetahuinya
geregetan banget aku dibuatnya
semoga segera tiba waktunya
Aldrich membongkar penyamaran Allea
pasti kutunggu momennya
love love kak Yuka ❤❤❤
Terima kasih up nya🥰🥰🥰
tenang Len, awalnya hanya mimpi, tapi pelan tapi pasti akan jadi kenyataan
Untung aja Koko baik hati, setidaknya beban Allen sedikit ringan. Kalopun Aldrich tau semoga reaksinya kaya Koko.
Mulai seru nih.. lanjut Mak 💪😍