NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Bos Cassanova

Jerat Cinta Bos Cassanova

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Kehidupan di Kantor / CEO / Percintaan Konglomerat / Menyembunyikan Identitas / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Setelah pingsan

Aldrich berdiri di tepi ranjang minimalis, kedua tangannya bertolak pinggang. Di depannya, Audy yang baru saja sadar terlihat masih pucat. Ia menatap sekeliling dengan pandangan bingung—ruangan itu tidak seperti ruang kerja biasa. Pencahayaannya hangat, dan di sudut ruangan ada lemari kaca berisi buku dan beberapa foto pribadi Aldrich bersama mendiang ayahnya.

“Pak… ini di mana?”

“Ruangan saya,” jawab Aldrich tenang, nada suaranya datar tapi matanya menatap tajam.

“Ruangan… pribadi?”

“Ya. Ruangan darurat. Biasanya untuk tidur jika lembur, tapi hari ini digunakan untuk menyelamatkan karyawan galak dan keras kepala.”

Audy memutar bola matanya. “Jadi saya pingsan di lift lalu dibawa ke... ruangan rahasia Bapak? Sungguh, ini terdengar tidak profesional, Pak.”

Aldrich hanya mengangkat alis. “Mau profesional bagaimana jika kau sudah nyaris tidak bernapas? Aku tak sempat konsultasi ke HRD, Audy.”

“Tapi—”

“Dan ya,” potong Aldrich santai, “aku melepas sepatumu. Kau ingin aku biarkan saja kakimu kram dengan heels setinggi itu?”

“Pak Aldrich!” suara Audy meninggi, wajahnya merah padam.

“Apa lagi?” Aldrich menatap dengan senyum miring. “Kau bahkan tidak sadar aku sudah memijat tanganmu dengan minyak angin supaya sirkulasi darahmu normal.”

“Apa?! Bapak menyentuh tangan saya?!”

“Santai saja, aku belum mengajukan lamaran resmi, jika itu yang kau khawatirkan.”

Audy langsung menatapnya tajam, pipinya semakin panas. “Bapak ini benar-benar tidak tahu malu.”

“Salah. Aku tahu malu. Tapi sayangnya malu itu tidak berlaku saat nyawa orang sedang di ujung.”

Audy menghela napas berat, lalu memutar tubuhnya hendak berdiri, namun keseimbangannya belum pulih. Ia oleng sedikit—dan refleks, Aldrich menahan bahunya.

“Pelan-pelan, Nona Sinclair.”

Audy mendongak kaget. “Apa tadi, Pak?”

Aldrich mengedip, sadar lidahnya nyaris terpeleset. “Maksud, Audy Shafira.”

“Bapak salah sebut nama belakang saya barusan,” ucap Audy mencurigai.

“Benarkah? Mungkin efek kau masih pusing.” Aldrich berdeham kecil, lalu berbalik ke meja. “Aku akan minta sekretaris membawakan air putih.”

Audy memelototinya, tapi tubuhnya memang belum kuat. Ia duduk lagi, menyilangkan tangan di dada. “Saya tidak butuh air putih. Saya butuh penjelasan kenapa lift perusahaan sekelas ini bisa rusak begitu saja!”

“Kau bisa tanyakan ke bagian teknisi nanti,” jawab Aldrich santai sambil menuang air ke gelas. “Tapi jika aku jujur… aku justru bersyukur liftnya rusak.”

“Hah?”

“Jika tidak begitu, aku tidak akan tahu bahwa asisten pribadiku ternyata punya riwayat panik di ruang sempit.”

Audy menatapnya dengan mata menyipit. “Bapak sengaja menikmati penderitaan saya, ya?”

“Aku menikmati pemandangannya, bukan penderitaannya.”

“Pak Aldrich!”

“Nah, itu lagi. Aku suka saat kau memanggilku dengan nada marah begitu. Ada semangatnya.”

Audy memejamkan mata, menahan diri agar tidak melemparkan bantal ke wajah bosnya itu. “Saya minta izin kembali ke meja saya, Pak.”

“Silakan,” ujar Aldrich, melirik jam tangannya. “Tapi jika kau pingsan lagi di meja, jangan salahkan jika nanti aku gendong ke sini pakai tandu.”

“Pak!”

“Ya, Audy?”

“Saya serius!”

“Aku juga,” jawab Aldrich dengan nada ringan yang membuat jantung Audy berdetak lebih cepat dari biasanya.

Audy mengangkat dagunya tinggi-tinggi, menahan harga diri yang nyaris terkikis oleh godaan bosnya itu. Ia berjalan menuju pintu, namun sebelum keluar, ia menoleh cepat.

“Terima kasih… untuk minyak angin dan… pertolongan tadi.”

“Tentu. Jika kau pingsan lagi, aku tahu harus ambil yang aroma mint atau kayu putih.”

“Pak Aldrich!”

“Ya?”

“Berhenti menggoda saya!”

Aldrich tertawa kecil, melihat pintu tertutup di belakang Audy.

“Gadis itu… benar-benar tidak biasa,” gumamnya sambil menatap gelas air yang belum disentuh Audy. “Dan sayangnya, aku semakin penasaran.”

_____

Sore itu kantor mulai sepi. Cahaya matahari menembus kaca tinggi gedung, memantul di lantai marmer yang mengkilap. Suasana di sekitar meja Audy terasa tenang… hingga suara klik-klak sepatu hak tinggi terdengar mendekat dari arah lift eksekutif.

Audy yang tengah menata berkas langsung menoleh sekilas.

Seorang wanita muncul dari balik lorong—berpakaian elegan dengan blazer putih pas badan, rok span hitam, dan sepatu berhak tinggi mengkilat. Wangi parfumnya bahkan sampai ke meja Audy sebelum wanita itu bicara.

“Aldrich ada di dalam?” suaranya lembut tapi menggoda, dengan senyum yang bisa membuat siapa pun menunduk.

Audy mengerjap cepat. “Ada, silakan masuk, Bu.”

Wanita itu menatap Audy dari ujung rambut sampai ujung sepatu—satu tatapan yang membuat Audy merasa seperti sedang diukur harga bajunya. Setelah itu, wanita itu membuka pintu ruangan Aldrich tanpa mengetuk, melangkah masuk dengan percaya diri.

Begitu pintu tertutup, Audy menatap layar komputernya kosong.

“Ya Tuhan… jangan bilang aku akan mendengar adegan yang tidak-tidak lagi…” gumamnya pelan sambil menggigit ujung pulpen.

Ia pura-pura sibuk menata map yang sebenarnya sudah rapi sejak sejam lalu. Tapi rasa penasaran menguasai. Dari balik meja, matanya bisa melihat sedikit bayangan melalui kaca buram di pintu Aldrich. Wanita itu terlihat berdiri terlalu dekat dengan Aldrich, tangannya menyentuh lengan jas pria itu.

Audy mendecak dalam hati, “Astaga, baru tadi aku pingsan, sekarang mentalku pingsan lagi jika melihat pemandangan seperti itu…”

Namun sesuatu berbeda kali ini.

Alih-alih seperti biasanya yang membalas godaan, Aldrich tampak… menjaga jarak. Ia sedikit menunduk, menggeser kursinya, dan sesekali menatap jam tangan seolah ingin segera mengakhiri pertemuan itu.

“Huh… tumben sekali dia tidak meladeni,” gumam Audy. “Apa dia sedang sakit? Atau… tobat mendadak?”

Beberapa menit kemudian, dari dalam ruangan terdengar suara berat Aldrich, “Audy, masuk sebentar.”

Audy langsung menegang. Hah?! Aku?!

Ia menatap pintu ruangan bosnya dengan wajah pucat. Ini jangan-jangan taktik jebakan… aku dipanggil lalu dijadikan tameng… atau korban…?

Namun akhirnya, dengan langkah kaku, Audy berdiri, mengetuk perlahan, dan masuk.

Di dalam, wanita glamour itu masih berdiri di dekat meja. Ia menoleh sebentar ke arah Audy, senyumannya tipis namun sinis.

“Oh, ini asistenmu?” katanya.

“Benar,” jawab Aldrich singkat, lalu menatap Audy. “Audy, tolong ambilkan file presentasi yang saya simpan di laci luar.”

Audy cepat-cepat mengangguk. “Baik, Pak.”

Saat ia berbalik, wanita itu bersuara manja, “Asisten yang cantik… seleramu tetap bagus, Aldrich.”

Audy nyaris tersedak udara. Apa-apaan itu, Bu?!

Namun Aldrich hanya tersenyum tipis, dingin. “Terima kasih, tapi aku mempekerjakannya karena kemampuannya, bukan penampilannya.”

Wanita itu tampak terdiam sesaat—wajahnya sedikit berubah, mungkin tak terbiasa ditolak.

“Oh… baiklah. Aku pamit dulu, Aldrich,” ucapnya akhirnya, suaranya mulai kehilangan nada menggoda.

Begitu wanita itu keluar, Audy menatapnya sampai hilang di balik pintu lift, baru ia menoleh ke arah Aldrich dengan alis berkerut.

“Pak, itu siapa?”

“Rekan lama,” jawab Aldrich singkat sambil menutup map.

“Rekan bisnis atau rekan… bisnis lain?”

“Kau terlalu banyak tanya, Audy,” ucap Aldrich, matanya melirik nakal.

Audy mendengus. “Saya hanya ingin memastikan, Bapak tidak mengulangi kesalahan… ruangan bersofa panjang yang dulu.”

Aldrich terkekeh. “Kau hafal betul ruangan itu, ya?”

“Tentu. Trauma saya belum sembuh, Pak.”

“Baiklah,” katanya sambil berdiri. “Sebagai kompensasi, nanti malam kau ikut aku menghadiri makan malam dengan klien. Anggap saja latihan pengalihan trauma.”

“Pak, itu terdengar bukan kompensasi. Itu hukuman.”

“Anggap saja kombinasi keduanya,” balas Aldrich dengan senyum tengilnya yang khas.

Audy menghela napas berat, lalu keluar dari ruangan sambil mengomel dalam hati.

“Benar-benar… bos satu itu tidak pernah bisa ditebak. Hari ini dingin, besok mungkin menyuruhku jadi sopir cadangan.”

Dari balik meja, ia masih sempat melirik pintu ruangan Aldrich yang sudah tertutup. Tapi entah kenapa, senyum kecil muncul di wajahnya. Setidaknya hari ini, dia tidak seperti pria yang kulihat pertama kali di sofa itu.

1
Itse
penasaran dgn lanjutannya, cerita yg menarik
Ekyy Bocil
alur cerita nya menarik
Stacy Agalia: terimakasih 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!