Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Di Balik Mahkota
Raja Aldric duduk di kursi emasnya, wajahnya keras, janggutnya putih seperti salju. Di tangannya, sepucuk laporan terbuka ditulis terburu-buru, dibawa burung pesan dari utara.
“Pangeran Hale menyalakan api biru di Harrenhall… menyelamatkan rakyat dari serangan bayangan…” suara raja serak saat membaca. Ia menatap para penasihatnya dengan mata tajam. “Apa ini kebenaran, atau dongeng untuk mengangkat namanya?”
Seorang penasihat tua, Lord Veynar, maju dengan tongkat peraknya. “Yang Mulia, terlalu banyak saksi. Rakyat Harrenhall sendiri bersumpah melihatnya. Api biru bukan sekadar dongeng lagi. Pangeran Edrick telah menjadi simbol.”
Seorang lainnya, Lady Marwen, menyipitkan mata. “Simbol, ya. Tapi simbol bisa berubah jadi ancaman. Rakyat utara sekarang menyebut namanya lebih keras daripada nama paduka.”
Raja Aldric menatap tajam, suaranya dingin. “Ia anakku. Putra mahkota. Ia seharusnya menjadi bayanganku, bukan apiku sendiri.”
Lord Veynar menunduk. “Namun, Yang Mulia… mungkin api itu adalah jawaban untuk melawan Malrik.”
Lady Marwen menyela cepat. “Atau mungkin api itu justru gerbang bagi Malrik. Kita tidak tahu apa itu Ashenlight. Senjata yang menyala dengan sihir tak dikenal? Bagaimana kalau itu racun yang menyamar sebagai cahaya?”
Bisik-bisik memenuhi aula. Beberapa penasihat setuju, beberapa ragu.
Raja Aldric berdiri, gaun kebesarannya menyapu lantai. “Kalau benar Hale telah menyalakan api biru, maka ia harus kembali ke istana. Aku ingin melihat dengan mataku sendiri apakah ia pangeranku… atau sesuatu yang lain.”
Ia menoleh ke salah satu kapten penjaga. “Kirim utusan. Katakan pada Hale: raja memanggil darahnya pulang.”
Kapten membungkuk, lalu pergi cepat.
Namun saat pintu aula tertutup, Lady Marwen berbisik pada Veynar. “Kalau Hale pulang dengan api biru itu, mahkota tidak akan lagi bersinar emas. Itu akan bersinar biru. Dan kau tahu, Veynar, tidak ada raja yang rela berbagi cahaya.”
Veynar menatapnya balik dengan mata suram. “Kalau begitu… mungkin sejarah akan memutuskan siapa api, dan siapa abu.”
Di utara, Edrick tidak tahu apa yang sedang diputuskan atas dirinya di istana. Ia hanya tahu satu hal: api biru semakin besar, dan setiap nyalanya membuatnya lebih dekat dengan cahaya… sekaligus lebih dekat dengan kegelapan yang menginginkannya.
Di depan mereka, seorang utusan berzirah perak, helm bersulam mahkota.
Rakyat yang masih berkumpul sejak parade kemarin menunduk, berbisik satu sama lain. Kehadiran utusan kerajaan selalu berarti perintah langsung dari Arvendral.
Edrick menunggu di aula bersama Lord Harren, Selene, dan Sir Alden. Suasana tegang; bahkan Harren yang biasanya angkuh tampak gelisah.
Utusan itu masuk, membungkuk sedikit. “Aku datang atas nama Raja Aldric, penguasa Arvendral, ayahmu, Pangeran Hale. Ia memanggilmu pulang ke istana. Segera.”
Suara utusan bergema di aula batu, meninggalkan keheningan berat.
Lord Harren tersenyum tipis. “Raja sendiri yang memanggil. Tentu saja kau harus segera berangkat. Siapa yang bisa menolak panggilan mahkota?”
Selene menatap Edrick, matanya penuh peringatan. “Kau tahu ini bisa jadi jebakan. Ayahmu mungkin ingin melihat api biru dengan mata kepala sendiri. Tapi kalau ia takut… ia bisa memadamkannya dengan caranya sendiri.”
Sir Alden menggeram rendah. “Kalau itu terjadi, aku akan tebas siapa pun yang menyentuhmu, bahkan kalau itu raja sekalipun.”
Edrick menoleh padanya tajam. “Jangan bodoh, Alden. Pedangmu bisa melawan pasukan bayangan. Tapi pedangmu tidak bisa melawan kerajaan sendiri.”
Utusan itu maju selangkah, suaranya tegas tapi netral. “Yang Mulia tidak ingin menunda. Katanya, semakin lama kau tinggal di utara, semakin jauh jarak antara api biru dan emas mahkota.”
Kata-kata itu membuat bangsawan yang hadir saling melirik.
Lord Harren tertawa pendek, tapi dingin. “Tampaknya bahkan emas pun bisa cemburu pada biru.”
Edrick berdiri, menatap utusan itu. “Katakan pada ayahku, aku akan datang. Tapi bukan untuk membuktikan siapa aku. Aku akan datang untuk memperingatkan: bayangan sudah masuk ke rumah kita, bahkan sampai ke Harrenhall.”
Utusan menunduk singkat. “Aku hanya pembawa pesan. Tapi aku akan sampaikan kata-katamu.”
Ia berbalik, meninggalkan aula dengan langkah berat.
Begitu pintu tertutup, Selene langsung bicara cepat. “Kau tidak bisa pergi sendirian. Kalau ini jebakan, kita harus siap. Aku ikut.”
Sir Alden mengangguk. “Aku juga.”
Lord Harren menatap mereka dengan senyum samar. “Pergilah. Tapi ingat, utara baru saja belajar bersorak pada api biru. Kalau kau padam di selatan… mereka akan kembali pada kegelapan. Dan aku tidak akan menyalakan lilin untuk mereka.”
Edrick menatapnya dalam, lalu menjawab pelan. “Kalau api biru padam, Harren… tidak ada lilin yang cukup besar untuk menyelamatkanmu.”
Malam itu, Edrick berdiri di balkon, memandang bintang. Ashenlight bergetar lembut di sampingnya. Ia tahu perjalanannya berikutnya bukan melawan bayangan asing, tapi melawan darahnya sendiri dan mungkin, mahkota yang seharusnya menjadi warisannya.
Rombongan kecil berangkat dari Harrenhall pada fajar. Hanya Edrick, Selene, Sir Alden, dan belasan prajurit pengawal yang disediakan Harren lebih mirip pengiring simbolis daripada pasukan sungguhan.
Udara dingin menggigit. Jalan menuju selatan melewati hutan lebat, lembah berkabut, dan sungai yang membelah tanah.
Sir Alden menunggang di depan, matanya selalu menyapu pepohonan. “Ini jalan paling pendek, tapi juga paling berbahaya. Kalau aku bayangan, aku akan menunggu di sini.”
Selene menghela napas. “Kalau aku bangsawan selatan, aku juga akan menunggu di sini. Musuhmu sekarang bukan hanya Malrik, Edrick. Tapi juga darahmu sendiri.”
Edrick menunduk sedikit, menatap Ashenlight di pelana kudanya. Pedang itu bergetar pelan, seolah tahu mereka sedang diawasi.
Malam pertama, mereka berkemah di pinggir hutan. Api unggun menyala, menyingkirkan kabut.
Seorang prajurit pengawal hendak mengambil air di sungai, tapi belum sampai tepi, panah hitam menembus dadanya. Ia jatuh tanpa suara.
“Tutup api!” teriak Alden.
Prajurit lain bergegas, tapi panah demi panah melesat dari kegelapan.
Edrick berdiri cepat, Ashenlight menyala, cahayanya biru terang menyingkap pohon-pohon di sekeliling.
Di antara batang kayu, sosok berjubah hitam muncul, belati berasap di tangan.
“Bayangan,” gumam Selene, matanya menyala dengan mantra siap dilepaskan.
Tapi dari arah lain, kuda-kuda berderap. Penunggang berbaju besi hitam, tanpa lambang, keluar dari kabut. Mereka bukan bayangan mereka manusia, tapi wajah mereka ditutup helm penuh.
Alden menghunus pedang, menggeram. “Ini bukan hanya bayangan… ini pembunuh bayaran. Mereka dikirim untuk memastikan kita tidak sampai ke selatan hidup-hidup.”
Pertempuran pecah.
Api biru melesat, menelan dua bayangan sekaligus. Selene mengangkat tongkatnya, petir menghantam penunggang kuda, membuatnya terlempar ke tanah.
Alden bertarung seperti singa, menebas musuh kiri dan kanan. Darah mengalir di tanah beku.
Namun jumlah musuh terlalu banyak. Dari balik kabut, mereka terus berdatangan.
Edrick berputar, matanya menyala. “Kalau mereka ingin api padam di sini… maka biarlah hutan ini jadi bukti sebaliknya.”
Ia menancapkan Ashenlight ke tanah. Api biru menyembur, menjalar di sepanjang tanah, membentuk lingkaran cahaya yang memisahkan musuh dari mereka.
Bayangan menjerit, tubuhnya terbakar saat melewati garis api. Prajurit manusia mundur, kudanya meringkik ketakutan.
Dalam cahaya itu, hanya rombongan kecil Edrick yang masih berdiri.
Ketika asap mereda, puluhan mayat tersebar di hutan. Sebagian terbakar, sebagian tertebas.
Sir Alden terengah, darah menetes dari pelipisnya. “Kalau ini penyambutan pertama… apa yang menunggu kita di istana?”
Selene menatap Edrick serius. “Musuh terbesarmu bukan lagi Malrik. Musuhmu adalah ketakutan orang-orang terhadap apa kau akan jadi dengan api itu.”
Edrick memandang api biru yang masih berkobar di tanah. “Kalau mereka takut… biarlah mereka takut. Asal mereka juga tahu, aku lebih berbahaya bagi kegelapan daripada bagi mereka.”