NovelToon NovelToon
Gadis Centil Milik CEO Dingin

Gadis Centil Milik CEO Dingin

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: siti musleha

Di dunia ini, tidak semua kisah cinta berawal dari tatapan pertama yang membuat jantung berdegup kencang. Tidak semua pernikahan lahir dari janji manis yang diucapkan di bawah langit penuh bintang. Ada juga kisah yang dimulai dengan desahan kesal, tatapan sinis, dan sebuah keputusan keluarga yang tidak bisa ditolak.

Itulah yang sedang dialami Alira Putri Ramadhani , gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA. Hidupnya selama ini penuh warna, penuh kehebohan, dan penuh canda. Ia dikenal sebagai gadis centil nan bar-bar di lingkungan sekolah maupun keluarganya. Mulutnya nyaris tidak bisa diam, selalu saja ada komentar kocak untuk setiap hal yang ia lihat.

Alira punya rambut hitam panjang bergelombang yang sering ia ikat asal-asalan, kulit putih bersih yang semakin menonjolkan pipinya yang chubby, serta mata bulat besar yang selalu berkilat seperti lampu neon kalau ia sedang punya ide konyol.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siti musleha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 19 Ciuman pertama

Rencana yang Diperdebatkan

Malam itu, ruang kerja Adrian dipenuhi ketegangan. Kertas-kertas berserakan, laptop terbuka menampilkan berbagai data, namun perhatian Adrian hanya tertuju pada pesan ancaman yang baru diterimanya.

“Besok malam. Hotel Imperial. Datang sendiri. Atau foto-foto istrimu akan tersebar ke publik.”

Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala.

Alira berdiri di belakangnya, menatap layar dengan wajah panik. “Mas, aku ikut.”

Adrian langsung menoleh, tatapannya keras. “Tidak.”

“Tapi Mas—”

“Tidak ada tapi, Alira,” potong Adrian. Suaranya datar, tapi jelas menyimpan amarah. “Saya tidak akan mempertaruhkanmu.”

Alira menggembungkan pipinya. “Mas, justru aku yang jadi alasan mereka ngelakuin ini. Kalau aku nggak ada, mereka nggak punya senjata buat ngancem Mas. Jadi aku harus ikut.”

Adrian berdiri, mendekatinya dengan langkah pasti. “Kau pikir saya sanggup melihatmu berada di tempat yang penuh bahaya itu?”

Alira menatapnya balik, tidak gentar. “Kalau Mas pergi sendirian, aku malah lebih takut. Aku nggak mau duduk di rumah dengan perasaan bodoh karena nunggu kabar. Aku harus ada di samping Mas.”

Hening.

Sorot mata mereka bertemu, panas, penuh gengsi dan rasa khawatir.

Akhirnya Adrian menghela napas berat. “Kau selalu keras kepala.”

Alira menyunggingkan senyum tipis. “Ya, kan aku istrinya Mas.”

Momen Romantis yang Tertahan

Adrian terdiam lama, lalu tiba-tiba mengangkat tangan, menyentuh pipi Alira dengan lembut.

“M-mas…” Alira refleks salah tingkah, tubuhnya kaku.

“Jangan pernah ragukan perlindungan saya,” suara Adrian rendah, dalam, membuat bulu kuduk Alira meremang sekaligus hatinya berdebar keras.

Tatapan Adrian begitu intens, membuat Alira tak bisa berpaling. Ia bisa merasakan nafas hangat suaminya begitu dekat.

“Mas… jangan lihat aku kayak gitu… aku bisa pingsan,” gumam Alira gugup.

Adrian tidak menjawab. Ia hanya semakin mendekat.

Dan untuk pertama kalinya, bibir Adrian menyentuh bibir Alira.

Ciuman itu tidak kasar, tidak terburu-buru. Justru pelan, hati-hati, seolah Adrian ingin memberi tahu dengan jelas: kau milikku.

Alira membelalakkan mata, lalu perlahan memejamkannya. Tubuhnya gemetar, pipinya panas luar biasa. Ia bahkan tidak tahu harus bernafas bagaimana.

Beberapa detik kemudian, ciuman itu terlepas.

Adrian menatapnya dalam, wajahnya tetap serius. “Sekarang, mengerti? Kau terlalu berharga untuk saya lepaskan.”

Alira masih ternganga, pipinya merah padam. “M-mas… itu barusan… ciuman, kan? Ciuman beneran?”

Adrian mengerjap pelan. “Tentu saja.”

Alira menutup wajah dengan kedua tangan. “Astaga, Mas! Aku… aku belum siap mental. Aku kan masih gadis polos, Mas. Bisa-bisa aku nggak bisa tidur seminggu!”

Adrian hanya menggeleng kecil, tapi ada senyum samar di ujung bibirnya.

Lucunya Alira

Beberapa menit kemudian, Alira masih menutup wajah dengan bantal.

“Mas…” suaranya teredam.

“Hm?”

“Kalau Mas tiba-tiba nyium aku lagi, aku bisa mati beneran.”

Adrian menatapnya datar. “Kau terlalu dramatis.”

Alira menurunkan bantal, matanya berbinar. “Tapi serius, Mas… itu tadi… indah banget. Aku kira Mas bakal kaku, tapi ternyata…”

Ia menggigit bibir, malu-malu. “Mas jago juga.”

Adrian hanya menghela napas. “Kau memang tidak bisa diam.”

Alira terkekeh. “Ya namanya juga aku. Kalau diem, nanti Mas kangen sama suaraku.”

Adrian menatapnya lama, lalu berjalan mendekat. “Kalau begitu, kau harus siap kalau saya menutup mulutmu lagi dengan cara yang sama.”

Alira langsung terlonjak, wajahnya makin merah. “Mas! Jangan nakut-nakutin aku gitu!”

Adrian hanya menoleh ke meja lagi, berusaha menyembunyikan senyumnya sendiri.

Setelah momen itu, suasana berubah lebih serius. Adrian duduk kembali, menatap laptop dengan ekspresi keras.

“Kita tidak bisa datang tanpa persiapan. Saya harus tahu siapa saja yang ada di balik ancaman ini.”

Alira duduk di sampingnya, menatap layar penuh angka dan data. Ia mengerutkan kening. “Mas… aku nggak ngerti sama sekali. Bisa nggak kalau Mas jelasin pakai bahasa manusia biasa?”

Adrian menoleh sekilas. “Bahasa manusia?”

“Iya. Bahasa yang bisa dimengerti sama gadis polos yang lebih suka drama korea ketimbang laporan keuangan.”

Adrian menarik napas. “Intinya, Seto tidak mungkin bekerja sendiri. Dia punya jaringan, orang dalam, bahkan mungkin ada direktur yang berpihak padanya. Jadi besok malam bukan hanya tentang dia, tapi tentang seluruh permainan yang dia rancang.”

Alira menatapnya serius. “Kalau gitu, Mas jangan datang sendirian. Kita harus punya sekutu juga.”

Adrian menatapnya lama. “Kau bilang kita?”

Alira mengangguk mantap. “Iya. Aku bagian dari Mas sekarang. Kita harus bareng.”

Adrian tidak menjawab, hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak—campuran kagum dan cemas.

Waktu terus berjalan. Jam menunjukkan hampir tengah malam. Adrian masih sibuk menyiapkan dokumen dan rencana cadangan.

Alira merebahkan diri di sofa, menatap suaminya. “Mas… boleh aku jujur?”

“Hm?”

“Aku takut.”

Adrian menghentikan ketikannya, menoleh.

“Aku takut kehilangan Mas. Takut kalau besok ada yang nyakitin Mas. Aku… aku nggak tahu harus gimana.”

Adrian bangkit, berjalan mendekatinya. Ia duduk di samping Alira, lalu meraih tangannya.

“Alira,” ucapnya pelan, “saya berjanji. Tidak ada yang akan memisahkan kita.”

Alira menatapnya, matanya berkaca-kaca. “Janji, ya?”

Adrian mengangguk. “Janji.”

Alira tersenyum kecil, lalu tiba-tiba berkata, “Mas…”

“Hm?”

“Kalau Mas mau bikin aku diem besok, boleh nyium aku lagi.”

Adrian menatapnya tanpa ekspresi, lalu berkata singkat, “Kau benar-benar gila.”

Alira tertawa kecil, mencoba menutupi rasa takutnya sendiri.

Tepat saat suasana mulai mereda, ponsel Adrian kembali bergetar. Kali ini bukan pesan, tapi panggilan video.

Nama di layar membuat Adrian menyipitkan mata: Mr. Seto.

Alira menelan ludah. “Mas… jangan diangkat.”

Adrian menatap layar beberapa detik, lalu menekan tombol hijau.

Wajah Seto muncul di layar, dengan senyum licik. “Halo, Adrian. Halo juga, Alira. Wah, kalian tampak mesra malam ini.”

Alira tercekat. “Dia… dia bisa lihat kita?!”

Adrian langsung berdiri, matanya penuh amarah. “Di mana kau?! Bagaimana bisa kau memantau kami?!”

Seto hanya tertawa. “Besok malam, Adrian. Jangan sampai terlambat. Kalau tidak… dunia akan tahu sisi lain dari istrimu yang polos itu.”

Sambungan terputus.

Alira menatap Adrian dengan wajah pucat. “Mas… dia pasang mata-mata di rumah ini?”

Adrian mengepalkan tangan, rahangnya menegang. “Mulai malam ini, tidak ada lagi kata main-main. Ini sudah masuk ke dalam rumah kita.”

Adrian tidak tinggal diam setelah panggilan video itu. Begitu layar ponsel padam, ia segera menekan beberapa nomor rahasia. Wajahnya berubah, tidak lagi hanya dingin, tapi penuh aura tajam yang membuat Alira merinding.

“Mas…” panggil Alira pelan. “Mas mau ngapain?”

Adrian menoleh, sorot matanya menusuk. “Kalau dia sudah berani masuk ke rumah saya, artinya batas sudah dilewati. Saya tidak bisa lagi hanya menunggu. Saya harus menyerang lebih dulu.”

Alira tercekat. “Mas… jangan… jangan terlalu ekstrem. Aku takut Mas kenapa-kenapa.”

Adrian menggenggam tangannya erat, begitu kuat sampai Alira bisa merasakan urat nadi di pergelangan tangannya berdenyut kencang. “Kau hanya perlu percaya pada saya. Saya tidak akan membiarkan dia menyentuhmu, sekalipun dengan bayangan.”

Tanpa banyak bicara lagi, Adrian menghubungi tim keamanan pribadinya. Perintah singkat, tegas, tanpa keraguan.

“Lacak sinyal panggilan barusan. Segel semua akses keluar masuk rumah. Pastikan tidak ada alat penyadap satupun tersisa. Dan…” suaranya merendah, penuh ancaman, “kalau kalian menemukan siapa yang menanamnya, bawa ke saya hidup-hidup.”

Alira menelan ludah, tak pernah mendengar Adrian dengan nada sekejam itu. Biasanya ia dingin dan formal, tapi kali ini… ada aura yang membuat ruangan seakan membeku.

Beberapa menit kemudian, salah satu anak buah melapor lewat headset. “Pak, kami menemukan dua perangkat penyadap di ruang tamu, satu lagi di taman belakang. Sudah diamankan.”

Adrian mengepalkan tangan, matanya berkilat. “Bagus. Sampaikan pesan saya pada orang yang menaruhnya: jika mereka pikir bisa mempermainkan saya, mereka sudah salah besar.”

Alira meremas jemari suaminya. “Mas… aku takut lihat Mas seperti ini.”

Adrian menoleh, wajahnya sedikit melunak. “Kau tidak perlu takut pada saya, Alira. Takutlah pada orang-orang yang mencoba menyakitimu. Karena untuk melindungimu, saya bisa lebih kejam daripada mereka.”

---

### **Seto Terjebak**

Keesokan malamnya, sesuai undangan, Adrian benar-benar datang ke Hotel Imperial. Namun berbeda dari bayangan Seto, Adrian tidak datang sendirian. Tim keamanannya sudah lebih dulu menyebar, menyamar sebagai tamu hotel. Jalur masuk dan keluar diawasi ketat.

Alira ikut mendampingi, meski tangannya dingin karena gugup. Adrian menggenggamnya erat, seakan berkata tanpa suara: *tenang, saya di sini.*

Di ruang pertemuan mewah, Seto sudah menunggu dengan segelas anggur. Senyum liciknya mengembang ketika melihat pasangan itu masuk.

“Adrian. Dan, oh… istrimu yang cantik. Aku senang kau membawanya.”

Alira menunduk, mencoba menyembunyikan rasa muak sekaligus takut. Adrian menuntunnya duduk, lalu menatap Seto lurus-lurus. “Katakan apa maumu.”

Seto menyeringai. “Sederhana. Serahkan saham barumu padaku. Kalau tidak, foto-foto manis istrimu akan—”

Belum sempat ia menyelesaikan kalimat, pintu ruangan terbuka lebar. Dua pria berbadan tegap masuk, mendorong seseorang yang terikat dengan wajah babak belur.

Adrian tidak mengalihkan pandangan dari Seto ketika berkata, “Kenal dengan orang ini? Dia yang kau kirim untuk menaruh penyadap di rumah saya.”

Wajah Seto berubah pucat seketika.

Adrian melangkah maju, suaranya rendah tapi tajam seperti pisau. “Kau pikir saya akan membiarkan ancaman murahanmu? Kau terlalu meremehkan saya, Seto.”

Seto mencoba bangkit, tapi dua penjaga segera menahan bahunya. “A-Adrian… ini hanya kesalahpahaman. Kita bisa bicarakan baik-baik—”

“Tidak ada lagi kata baik-baik.” Adrian menunduk, wajahnya dekat sekali dengan Seto. “Kau berani mengusik rumah saya. Kau berani menyentuh nama istri saya. Itu adalah dosa terbesar yang bisa kau lakukan.”

Alira menahan nafas. Wajah suaminya kini bukan hanya dingin, tapi benar-benar kejam.

Adrian berdiri tegak, memberi isyarat pada anak buahnya. “Bawa dia. Pastikan dia tidak pernah bisa mengusik lagi, dengan cara apa pun.”

Seto berteriak protes, tapi suaranya ditelan langkah kaki para penjaga yang menyeretnya keluar.

Hening memenuhi ruangan.

Adrian menoleh ke Alira, sorot matanya kembali melunak. “Sudah selesai.”

Alira masih gemetar. “Mas… Mas beneran ngeri kalau lagi marah.”

Adrian menghela napas, lalu mengusap pipinya lembut. “Saya hanya ngeri pada musuh. Tapi untukmu, saya akan selalu jadi tempat paling aman.”

---

### **Penutup Menggantung**

Malam itu, mereka meninggalkan hotel dengan perasaan campur aduk. Alira berusaha tersenyum, tapi hatinya masih berdebar kencang karena melihat sisi lain suaminya yang begitu dingin dan kejam.

Di mobil, Alira akhirnya bersuara pelan. “Mas…”

“Hm?”

“Kalau Mas bisa segitu kejamnya sama orang lain… apa Mas juga bisa begitu ke aku, kalau suatu hari aku bikin Mas marah?”

Adrian menoleh cepat, menatapnya dengan sorot tajam yang membuat Alira kaku. Tapi kemudian, ia mendekat, berbisik di telinganya.

“Tidak. Karena kau satu-satunya alasan saya tidak hancur sepenuhnya.”

Alira terdiam, pipinya merona, jantungnya berdebar tak karuan.

Namun sebelum ia sempat membalas, suara ponsel Adrian kembali berbunyi. Pesan masuk, kali ini bukan dari Seto—tapi dari nomor tak dikenal dengan satu kalimat:

“Permainan baru saja dimulai.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!