Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.
Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.
Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 - MICHIKKO - Bagian Kedua
Michikko tidak menjawab. Di sudut bibirnya yang tersembunyi di balik uraian rambut panjang menyungging senyuman tipis misterius. Ia mengangkat bonekanya dan menimang – nimang setelah itu dengan penuh kasih sayang mendudukkannya pada sebuah kursi batu. Gadis itu mendekatkan telinganya pada mulut boneka, mulut boneka itu bergerak naik turun dan Michikko mengangguk – anggukkan kepala. Sebuah pemandangan yang tidak lazim, seolah – olah dua sosok di hadapan lima pemuda itu bercakap – cakap.
Michikko termenung sesaat, ‘Watashi wa sorera o korosubekidesu ka?’ ( “Apa aku harus membunuh mereka ?” ) tanyanya dalam bahasa Jepang yang tidak dimengerti oleh Seto dan kawan – kawan.
Mendadak terdengar suara parau, namun, suara itu hanya didengar oleh Michikko seorang, ‘Anata ga karera o korosanakereba, karera wa anata o koroshimasu. Anata wa karera no yōna kurutta hitobito no te de oroka ni shinubekidesu ka’
( “Jika kau tak membunuh mereka, merekalah yang akan membunuhmu. Haruskah kau mati konyol di tangan orang – orang gila seperti mereka ?” ).
Michikko menggeleng – gelengkan kepalanya, keningnya berkerut,
‘Īe. Kore wa tadashiku arimasen, karera wa tada tanoshinde imasu... Watashi wa sore o suru koto ga dekimasen, gomen'nasai ‘
( “Tidak. Ini tidak benar, mereka hanya iseng saja... aku tak bisa melakukannya, maaf,” ).
‘Orokana shōjo! ! ! Karera wa dōbutsu no kokoro o motta ningendesu. Sorera ni taisho suru koto wa, tadashī ka machigatte iru ka o hanasu tame ni mohaya hitsuyōde wa arimasen! Watashi no meirei ni hantai shimasu ka!!'
( “GADIS TOLOL !!! Mereka adalah manusia – manusia berhati binatang. Berhadapan dengan mereka tidak perlu lagi bicara benar atau salah ! Apa kau hendak menentang perintahku !!” )
Michikko tersentak, tahu – tahu ia sudah berada di tempat lain. Tempat itu gersang, banyak sekali tumbuh – tumbuhan kering dan meranggas [ luruh secara massal (tt dedaunan), baik krn sebab-sebab alami maupun krn serangan hama dan penyakit ]. Tanah di sekitar tempat itu kering dan retak – retak bagaikan terbakar oleh sengatan matahari di musim kemarau yang panjang dan di hadapannya berdiri seorang nenek tua bongkok, berpakaian hitam, berambut awut – awutan, tangan kanannya memegang sebuah tongkat berwarna hitam dengan ukiran ular melingkar sementara kepalanya adalah kepala tengkorak manusia.
Dua kilatan cahaya kecil memancar dari sela – sela rambutnya yang kelabu dan menutupi hampir seluruh wajahnya. Kilatan cahaya itu begitu tajam menusuk, membuat Michikko tak berani menatapnya lama – lama.
`Gozonji no yō ni, orokana shōjo… o bāchan no Takano Ria ni awanakattara, koko made sumu koto ga dekinakattadarou. Watashi ga subete no chisei o kare ni okutta nochi, kore wa anata no hōshūdesu ka?'
( “Ketahuilah, gadis tolol... jika aku tak melihat nenekmu Ria Takano, mungkin kau takkan bisa hidup sampai saat ini. Inikah balasanmu setelah kuturunkan semua ilmu kepandaianku padanya ?” ), suaranya menyakitkan telinga, serak dan parau bagaikan burung gagak.
Dengan kedua belah tapak tangannya Michikko menutup sepasang telinganya sambil berseru keras, `Takano Ria ga darena no ka wakaranai! Anatahadaredesu ka, watashi o kinishinaide kudasai! Ike!’
( “Aku tak mengenal siapa itu Ria Takano ! Siapa kau, jangan ganggu aku ! Pergi !” ).
`Kare... Kare... Kare... Kare... Kare... Anata wa watashi o oidasu yūki ga arimasu ka? Watashi ga ikite iru ma, dare mo watashi o chūmon dekinai koto o shitte imasu ka, anata no ningyō o mite kudasai. Dare ga kono ningyō o kureta no ka oboete imasu ka?'
( “He... he... he... he... he... kau berani mengusirku ? Tak tahukah kau bahwa selagi aku masih hidup, tak seorangpun boleh memerintahku, lihatlah bonekamu. Ingatkah kau, siapa yang memberimu boneka ini ?” ).
`Misakko wa watashinohaha kara no okurimonodesu. Kanojo wa watashi ga shitakunai koto o suru yō ni watashi ni iu koto ga dekimasen.'
( “Missukko, adalah pemberian ibuku, dia tak mungkin menyuruhku melakukan hal – hal yang tak kuinginkan,” ), sambil berkata demikian Michikko menggendong dan menimang – nimang bonekanya, sementara bibirnya bersenandung lirih :
‘Komori-uta, komori-uta... Nenaito ka ni sasa rete…’
Itu adalah lagu nina bobo yang dinyanyikan dalam bahasa Jepang. Mendadak angin berhembus perlahan, memainkan setiap helai rambut panjang Michikko. Gadis itu menengadah ke langit dan suasana yang tandus dan gersang itu perlahan – lahan berubah menjadi sebuah tempat yang penuh dengan bunga sakura dan sepasang mata Michikko menyapu ke sekitar dan terhenti pada sesosok tubuh wanita berkimono putih. Rambutnya hitam panjang disanggul dengan rapi, sanggulan pertama seakan menutupi bagian belakang kepala, sanggulan kedua sedikit lebih kecil dari sanggulan pertama begitu pula sanggulan ketiga dan keempat semakin ke atas semakin kecil dan sebuah tusuk konde berwarna merah dengan ukiran bunga sakura menancap pada sanggulan paling atas sebagai aksesoris.
Wanita itu berkulit kuning langsat, cantik mempesona, sebagian wajahnya tertutup oleh bayangan payung merah muda dengan corak bunga sakura.
‘Anatahadare? Watashi wa anata o shitte imasu ka?’
( “Siapa kau ? Apakah aku mengenalmu ?” ), tanya Michikko.
Wanita itu menoleh perlahan, sepasang matanya bulat menatap Michikko dengan lembut, ia tersenyum lalu berkata,
`Anata wa michikko no tadashī koto o shimashita. Watashi wa anata o hokori ni omou,’
( “Kau melakukan hal yang benar Michikko. Aku bangga padamu,” ).
Sepasang mata bulat dan indah Michikko beralih ke arah boneka yang disodorkan oleh Seto. Hanya sesaat saja, ia kembali memain-mainkan Missukko dan tidak lagi peduli dengan Seto yang kini menunjukkan air muka tidak senang, “Hei, Michikko ... aku sedang berbicara padamu, tidak bisakah kau menghargaiku walau sedikit saja !”
Diam. Habis sudah kesabaran Seto, lalu dengan kasar ia merebut Missukko dari tangan pemiliknya dan melemparkan jauh-jauh. Air muka Michikko berubah menjadi tidak senang, “Apa salah Missukko hingga diperlakukan seperti itu ?” tanyanya sambil berdiri hendak meraih bonekanya.
Saat tangannya hampir meraih boneka yang tergeletak di dekat kaki Pandu, Pandu menendangnya jauh-jauh. Boneka itu melayang tinggi ke udara dan saat hendak jatuh Lino meraihnya dan melemparkannya tinggi-tinggi ke udara, saat hendak mendarat sebuah tangan lain menyambar dan kembali melemparkannya tinggi-tinggi ke udara.
Boneka itu dibuat mainan oleh 5 orang itu sementara Michikko berteriak-teriak meminta agar bonekanya dikembalikan. Tapi, tak ada yang peduli hingga 5 orang itu berlari meninggalkan tempat itu sambil memain-mainkan Missukko. Michikko mengejar dan bermaksud merebut kembali bonekanya, tapi, lagi-lagi Pandu, dan kawan-kawan masih terus melakukan perbuatan iseng dan nakalnya sambil tertawa-tawa.
Kejar-mengejar terjadi hingga menuju ke halaman sekolah. Michikko tertinggal cukup jauh. Karena tak berhasil mengejar Seto dan kawan-kawan, ia putus asa. Dalam keputus asaannya ia jatuh terduduk dan menangis, membiarkan dirinya menjadi tontonan para siswa-siswi lain. Tanpa disadari, sebuah tangan lembut memegang bahu Gadis Jepang itu, “Mereka keterlaluan sekali,”
Michikko menoleh, tampak olehnya seorang siswi jelita tengah menatapnya dengan perasaan iba. THALIA, sahabat karib Michikko satu-satunya, “Biar aku yang menanganinya,” sambil berkata demikian ia berdiri dan melangkah ke arah Seto dan kawan-kawannya yang berdiri agak jauh dari Michikko berada.
“Kalian keterlaluan sekali, merebut paksa boneka kesayangannya. Mana ... mana boneka itu kembalikan padaku atau kuhajar kalian,” ujar Thalia geram.
“Mengapa kau membela gadis Jepang itu ? Apa kau jatuh cinta padanya dan ingin menjadi lesbiannya ?” sahut Pandu.
“Tutup mulut kotormu, Pandu. Mana ? Kemarikan boneka itu,” tegas Thalia.
Lino memberikan Missukko pada Thalia, dengan sigap Thalia meraihnya, “Jangan sekali-kali kalian mengganggunya lagi atau kalian berurusan dengan guru BP,” ancamnya lalu meninggalkan Seto dan yang lain. Tanpa disadari oleh Thalia, tampak Raga berbisik ke telinga Seto, “Untuk sementara kita biarkan dulu wanita Jepang itu bernafas lega. Selama Thalia ada disampingnya, kita tidak akan bisa bebas memperlakukannya sesuka kita, bukan ?”
“Aku jadi merasa iba dengan gadis Jepang itu,” ujar Edward.
“Hei, jangan-jangan kau naksir padanya, ya ?” sahut Lino.
“Mungkin, ya ... mungkin tidak,” jawab Edward singkat.
“Dasar, Playboy,” sahut Lino sambil menepuk pundaknya, “Tapi, jika kau benar-benar jatuh cinta padanya... kami akan kehilangan satu-satunya sahabat terbaik,”
“Hei, Michikko ... ini bonekamu. Jangan menangis lagi, malu dilihat orang,” kata Thalia sambil menyodorkan Missukko ke hadapan Michikko yang masih menangis.
“Arigato gosai mass ( Terima kasih banyak ),” ucap Michikko sambil menerima untuk kemudian memeluk erat Missukko lalu meninggalkan tempat itu diikuti dengan Thalia.
“Kalau boleh tahu, apa keistimewaan boneka ini hingga kau begitu memperhatikannya sedemikian rupa ?“
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Michikko. Sekalipun Thalia sudah menjadi sahabatnya semenjak masuk di SMA TIDAR I, baginya, Michikko adalah sosok wanita misterius. Tak bisa memahami isi hatinya. Menyaksikan Michikko menangis, ia sadar bahwa sebenarnya wanita Jepang itu membutuhkan teman untuk diajak bicara. Tapi, ia tak tahu bagaimana harus memulai percakapan yang bisa membuat atau menggerakkan hati wanita itu untuk terus bercerita tentang latar belakangnya. Michikko tetaplah sosok misterius baginya dan membuat penasaran orang yang berada di dekatnya. Boneka yang dibawanya itu, tampaknya juga bukan boneka sembarangan, ada sebuah kekuatan mistis tersimpan di dalamnya. Itu ia rasakan saat membawa dan kekuatan itu hilang saat Michikko menerimanya kembali.
Sekian lamanya mereka berdiam diri, Thalia merasakan bulu kuduknya berdiri. Sebuah hembusan angin tajam nan dingin membuatnya merasa tidak nyaman. Pada saat itu Michikko berkata dengan suara berat dan dalam, “Dia datang,”
Thalia menoleh kesana kemari, “Siapa ?” tanyanya bingung.
“Dia,” kata Michikko sambil menunjuk ke samping kanan Thalia sementara wajahnya tertunduk dan membiarkan rambutnya menutupi wajah.
“Michikko, jangan membuatku takut, di tempat ini hanya kita berdua saja tak ada orang lain lagi,” ujar Thalia sambil perlahan-lahan menoleh ke arah kanan. TIDAK ADA SIAPAPUN, tapi, ada rasa takut menjalar dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. THALIA MERINDING.
`Sate, kiwotsukemasu'
( “Baiklah, aku akan berhati-hati,” ) ujar Michikko tiba-tiba.
“Apa maksudmu, Michikko ? Mengapa aku merasa tak nyaman sekali ?” tanya Thalia sambil menggosok-gosok bahu kanannya. Hawa dingin itu berangsur-angsur hilang dan kembali normal. Thalia baru bisa menarik nafas lega. Itu adalah kejadian yang pertama kali ia alami saat bersama dengan Michikko.
_____
Di salah satu ruangan kecil yang minim cahaya pada SMA I Tidar, 5 sosok bayangan itu berdiri mengelilingi seorang laki – laki paruh baya. Laki – laki itu mengenakan sorban berwarna putih seputih pakaiannya yang putih dan berlengan panjang. Sebagian bajunya pada bagian leher tertutup oleh jenggotnya panjang. Ia memegang sebuah tongkat. Tubuhnya pendek kekar dan mengenakan sebuah sarung sutera dengan corak batik berwarna merah.
“Hmm... di dunia modern seperti sekarang ini, masih saja ada orang kafir. Kalau memang benar perkataan kalian itu, wanita Jepang bernama Michikko itu harus disingkirkan saja, itu salah satu perbuatan baik yang bisa menambah amal ibadah kita pada Yang Maha Kuasa,” kata laki – laki itu. Suaranya begitu kering sehingga terdengar serak.
Salah satu bayangan dari 5 sosok itu maju mendekat dan menyerahkan 1 lembar foto. Foto seorang wanita berambut hitam panjang terurai, mengenakan pakaian hitam dan kedua tangannya memeluk sebuah boneka wanita berambut pirang dikepang dua. Michikko.
Laki – laki itu tersenyum, “Cantik dan sexy, tubuhnya sintal padat berisi. Jika bukan penyihir dia pasti akan kujadikan isteriku yang ke tujuh. Dan, boneka itu... boneka itu seakan memiliki kekuatan hitam yang amat jahat, tak kasat mata... benda ini pastilah sumber kekuatannya. Dengan menyingkirkan boneka itu, maka, kita bisa berbuat apa saja pada gadis manis ini. Baik... kalian memperoleh restu dan berkatku, lakukan saja secepatnya sebelum ada korban yang jatuh. Yang Diatas pasti akan mendukung usaha suci kita. Pergilah dan jangan buat aku kecewa. Bawa dia padaku hidup atau mati,” katanya.
“Baik, guru... kami tidak akan mengecewakan Anda,” sahut mereka berbarengan.
“Jika para dewan Guru turut campur, katakanlah kalian sudah mendapatkan ijin dariku, Ki Kedung Bawuk. Dan, kalaupun ada yang menghalangi kalian, akulah yang bertanggung jawab, tak perlu khawatir. Tujuan kita baik,” tegas pria itu.
5 sosok itu mengangguk hormat dan dengan diikuti tatapan dingin dan licik pria bersorban putih, mereka meninggalkan tempat itu. Sepeninggal mereka, ia berdiri dan menutup serta mengunci pintu. Setelah pintu tertutup dan terkunci rapat, pria itu menyalakan sejumlah lilin yang mengelilingi foto Michikko. Asap lilin bercampur dupa bergoyang perlahan dipermainkan oleh hembusan angin dingin yang masuk melalui celah – celah lubang udara, membentuk siluet – siluet aneh.
Mendadak saja di hadapan pria pendek gempal itu berdiri seorang nenek tua bongkok berbaju hitam membuatnya duduk bersimpuh. “He... he... he... he... he..., bagus Kedung Bawuk, aku takkan melupakan jasa – jasamu ini. Kini tinggal menunggu aksi pemuda – pemuda berandal itu. Tapi, ingatlah, jika mereka gagal ... nyawamu adalah taruhannya ! He... he... he.... he....” suara dan tawanya yang parau, mengiring menghilangnya sosok nenek tua bongkok itu.
“Baik, Mak... aku Kedung Bawuk pasti tidak akan mengecewakanmu. Demi membangkitkan Nini Bujana Andrawina, aku akan melakukan apapun. Tunggulah, kabar baik dariku, Mak...” sambil berkata demikian, sepasang matanya menerawang jauh ke langit – langit ruangan yang dihiasi oleh asap – asap tipis tanpa tujuan.
Sesaat kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah foto Michikko, “Cantik, manis dan sexy, dia mirip sekali dengan Bujana Andrawina. Sayang keturunan Djojo Diningrat harus mengalami nasib yang mengenaskan. Jika dari dulu ia berbuat baik padaku, aku takkan merelakan diriku menjadi budak Mak Selo. Tapi, tanpa bantuan Mak Selo, belum tentu aku bisa hidup sampai sekarang. Djojo Diningrat, dendam kakek buyutku ini pasti terbalas. Michikko, kutunggu kau dalam pelukanku, kita akan bersenang – senang, biarlah dia menjadi pelepas rinduku terhadap Bujana Andrawina sementara waktu saja. Kelak jika Bujana Andrawina sudah bangkit kembali, aku akan membuangmu ke dasar neraka seperti yang dilakukan oleh Kakek Buyutmu,”
Setelah berkata demikian, laki – laki itu mematikan api, membalikkan badan, membuka pintu dan saat pintu tertutup dan menelan tubuhnya tinggallah sisa – sisa asap lilin bercampur dupa, terbang melayang – layang dipermainkan oleh angin malam dan lenyap tanpa bekas.
______
Pagi itu, Michikko tengah memain – mainkan Missukko sendirian di halaman belakang SMA I Tidar. Ia tampak senang sekali hingga tidak menyadari adanya 5 sosok bayangan bergerak perlahan semakin lama semakin dekat.
Salah satu sosok bayangan memberi isyarat pada yang lain untuk bersembunyi di balik semak – semak. Anggukan kepala perlahan namun serentak mengiringi gerakan perlahan bayangan pertama mengeluarkan sebuah kantung seukuran manusia.
Jarak antara bayangan itu dengan Michikko tinggal beberapa depa lagi, mendadak saja gadis Jepang itu menoleh dan bertanya,
‘Nandeshou?’
( “Mau apa kau ?” )
Bayangan itu tersentak kaget dan ia sama sekali tak menduga kehadirannya yang sudah sangat berhati – hati itu diketahui oleh Michikko. Tak tahu harus menjawab apa, kantung yang dibawanya diangkat tinggi – tinggi menyusul ia memasukkan tubuh Michikko ke dalamnya.
Michikko terkejut, tentu saja tidak mau menyerah begitu saja, ia berontak. Tapi, hari masih terlalu pagi, SMA Tidar I lokasinya amat terpencil dan belum ada orang yang datang ke sekolah. Tak ada orang yang datang ataupun mendengar teriakan minta tolongnya. Menyusul sebuah pukulan keras mendarat di pelipis kanan yang membuatnya jatuh tak sadarkan diri.
“Bawa dia ke toilet wanita” terdengar seruan lain dari keempat bayangan yang bersembunyi di semak belukar. Orang pertama yang memasukkan tubuh Michikko ke dalam kantong segera melarikannya ke toilet wanita.
Setelah dirasa keadaan aman, keempat bayangan lain keluar dari persembunyiannya, bergegas menuju ke toilet wanita sambil tertawa – tawa penuh kemenangan.
Entah berapa lama Michikko pingsan saat sadar yang dilihatnya pertama kali adalah wajah Seto, Lino, Edward, Pandu dan terakhir adalah Raga.
Wajah Raga merah padam, “Celaka, dia mengetahui siapa kita, bukankah ini melenceng dari rencana,” sahut Raga.
“Masa bodoh,” sahut Lino, “Butakan saja matanya,” sambungnya sambil mengambil sebuah sikat gigi bekas yang tergeletak sembarangan di lantai toilet dan terdengar suara ‘Jleb, Jleb’ diikuti teriakan menyayat hati. Pandangan Michikko gelap, sepasang matanya telah dibutakan, dalam kesakitannya ia mencoba memukul tak tentu arah berharap tangannya bisa memukul atau menyentuh salah seorang atau lebih dari pemuda – pemuda itu, tapi, justru ia merasakan cengkeraman erat pada pergelangan tangan dan kirinya. Tubuhnya seperti didorong keras hingga ambruk.
“BUK !” punggung dan kepala belakang Michikko beradu dengan lantai ubin yang cukup keras, basah dan lembab, tawa – tawa menjijikkan keluar dari para pengeroyoknya diiringi dengan jeritan, kali ini jeritannya terdengar keras sekali diselingi dengan sura seperti daging disayat – sayat diantara tawa.
“Cras ! Cras ! Cras !”
Michikko berteriak – teriak kesakitan bagian kewanitaannya terasa sakit sekali dan seperti ditusuk – tusuk benda tajam. Sekalipun ia tak bisa melihat lagi, namun ia merasakan lantai tempatnya terbaring basah. Ia terluka.
Lebih kurang setengah jam ia Michikko merasakan sakit di sekujur badannya setelah itu suara tawa terbahak – bahak mengiringinya jatuh ke dalam alam bawah sadar. Ia kembali pingsan.
Michikko merasakan tubuhnya ringan sekali, sayup – sayup terdengar suara,
`Me o akete, kawaisōnako yo. Ima no jibun o mitekudasai.'
( “Bukalah matamu, anak yang malang, lihatlah keadaanmu sekarang” ).
Michikko mencoba membuka matanya, yah... sepasang matanya tertuju pada sebuah pemandangan yang menyedihkan. Tampak olehnya 5 orang laki – laki sedang memperkosa seorang wanita yang mirip dengan dirinya beramai – ramai. Bergiliran. Pakaiannya sudah sobek disana – sini, sebagian warna merah membasahi tubuhnya yang kuning langsat. Wanita itu adalah dirinya sendiri, dan 5 orang pemuda itu adalah Raga, Seto, Lino, Edward dan Pandu.
`Sūjitsumae ni watashi no meirei ni shitagaeba, sore o taiken suru hōhō wa arimasen. Naze anata wa mada sono yōna hiretsuna hitobito ni chūi o haratte iru nodesu ka?'
( “Jika kau menuruti perintahku beberapa hari yang lalu, tak mungkin kau mengalaminya. Mengapa kau masih memperhatikan orang – orang rendahan seperti itu ?” )
Sepasang mata Michikko yang tersembunyi di balik rambut hitamnya tampak mencorong tajam, tubuhnya bergetar hebat. Kepalanya menyentak ke kiri berulang – ulang. Tangan kanannya bergetar.
`Michikko, karera no atsukai wa anata no kazoku no atsukai to nanra kawari wa arimasen. Kono kuni ni hikkosu mae ni, anata ga keiken shita koto o oboete imasu ka? Anata o oboete iru? ! '
( “Michikko, perlakuan mereka tidak berbeda dengan perlakuan keluargamu. Ingatkah kau, sebelum pindah ke negeri ini apa yang telah kau alami ? Ingatkah, kau ?! ” )
`Watashi wa sono meinu to issho ni kare o koroshimashita! Karera wa mō watashi o nayama seru koto wa arimasen! Shikashi, naze futari to wa nani no kankei mo nai hitobito ga watashi o dōbutsu no yō ni atsukau nodeshou ka?'
( “Dia sudah kubunuh berikut pelacur itu ! Mereka takkan menggangguku lagi ! Tapi, mengapa orang – orang yang tak ada sangkut pautnya dengan mereka berdua memperlakukanku seperti binatang ?” )
`Sore wa ningen no sekaidesu... Isshun no yokubō no tame ni, karera wa me o kuraku shi, ningensei o ushinaimasu. Sorede, anata wa imanani o suru tsumoridesu ka?'
( “Itulah dunia manusia... karena nafsu sesaat, mereka jadi gelap mata, kehilangan sisi – sisi kemanusiaannya. Nah, apa yang hendak kau lakukan kini ?” )
Michikko diam tak bergeming bak arca batu. Tubuhnya masih bergetar dengan hebat menahan amarah yang selama ini dipendamnya. “Watashi ...” ( aku ).
`Kiitekudasai, watashi wa anata ni ikiru kikai o ataemasu, shikashi sore wa karera no shi to anata no mawari no subete no hitobito ni yotte shiharawa renakereba narimasen. Sate, tsudzukete... Jibun o sukutte kudasai. Karera wa kono sekai de karera no doku o ikite hiromeru ni ataishinai. Yoriyoi nanika no tame ni, gisei o harawanakereba naranai hito mo imasu. Machigaide wa arimasen.'
( “Dengarlah, kuberi kau kesempatan hidup akan tetapi, itu harus ditebus dengan kematian mereka, dan semua orang – orang di sekitarmu. Nah, pergilah ... selamatkan dirimu. Mereka tak layak hidup dan menebarkan racunnya di dunia ini. Beberapa orang harus berkorban, untuk sesuatu yang lebih baik. Itu tidak salah,” )
" Īe! Watashi wa sore o okonau koto wa dekimasen. Haha wa watashi ni yoku ikite, onaji ayamachi o okashi tsudzukenai yō ni tanonda. Tsumidesu..."
( “Tidak ! Aku tidak bisa melakukannya. Ibu memintaku untuk hidup dengan baik dan tidak terus – menerus melakukan kesalahan yang sama. Itu dosa...” )
`Karera to no chigai wa nanidesu ka? Ikinokottara… kitto ōku no hito ga kurushimudeshou! Sore wa sarani tsumibukaidesu! Okonatte, karera ni anata no ikari o sosogi nasai. Orokana anata o mitekudasai!'
( “Apa bedanya dengan mereka. Jika dibiarkan hidup... pastilah banyak orang yang akan menderita ! Itu lebih berdosa ! Pergilah, tumpah ruahkan amarahmu pada mereka. Lihat dirimu yang bodoh !” )
Michikko kini dihadapkan pada 2 pilihan hidup dan mati. Benar dan salah. Sebuah pergolakan batin yang membuatnya tak mampu mengambil keputusan yang tepat. Ia masih mendengar tawa dan umpatan-umpatan yang kurang ajar sementara tubuhnya yang nyaris telanjang itu terus dijadikan pemuas nafsu birahi pemuda - pemuda berandal itu. Dia sudah berulang kali menerima perlakuan seperti itu dimanapun berada. Entah sudah berapa banyak para pemuda yang menjadikannya ajang budak seks. Tak ada yang mau menolongnya, tak ada yang mendengar jeritannya, semuanya seperti tuli.
`Bakana on'nanoko… nani o matteru no? Mō ki ni shinai no? Michikko, sugoi on'nanoko… motte iru purezento o motte. Kako ni modoshite, dō yatte kono sekai no hitobito. Oboete oite kudasai. Sorera no ningen ga anata no kazoku o dono yō ni atsukatte iru ka oboete oite kudasai. Anata wa mada karera o awarende imasu ka? Sā, kōdō shite kudasai. Soredake no kachigāru anata ga shitte iru... Anata ga karera o korosanakereba, anata no shin'yū, taria mo karera no yaban-sa no gisei-sha ni narudeshou.'
( "Gadis bodoh... Apa yang kau tunggu ? Apakah kau sudah tidak peduli dengan dirimu sendiri? Michikko, kau adalah seorang gadis yang luar biasa... Dengan anugerah yang kau miliki. Haruskah aku menghantarkanmu kembali ke masa lalu, untuk melihat bagaimana sifat manusia di dunia ini. Ingatlah, bagaimana manusia - manusia itu memperlakukan keluargamu. Masihkah kau menaruh belas kasihan pada mereka ? Ayo, bertindaklah. Itu Missukko, dia tergeletak tak jauh darimu, tunjukkanlah pada mereka, dari mana kau berasal... Dan, patut kau ketahui... Jika kau tidak membunuh mereka, sahabatmu, Thalia pun akan jadi korban kebiadaban mereka, " )
Mendengar nama Thalia disebut - sebut wajah Michikko berubah menjadi merah padam.
`Watashi wa karera ni taria ni warui koto o sa semasen. Kanojo wa watashi ni shinsetsunanode, watashi wa karera o dekirudake tomemasu.'
( "Aku takkan membiarkan mereka berbuat jahat pada Thalia. Dia baik padaku, maka aku akan mencegah mereka semampuku," )
Michikko berseru nyaring, suaranya keras dan lantang seakan mengoyak dan mencerai beraikan barisan awan putih yang mengarak menyembunyikan wajah cahaya sang mentari pagi. Seakan hendak membelah langit dan menumpah ruahkan segala sesuatu yang tersembunyi di dalamnya.
`Watashi wa mō chūcho shimasen. Watashitachi o saisho ni atsukatta hitobito wa hijindōtekideshita. Sorede, watashi mo anata o yurushimasu'
( "Aku tak akan segan-segan lagi. Mereka yang terlebih dahulu memperlakukan kami tidak manusiawi. Maka, akupun tidak akan memberi ampun," ) setelah berkata demikian ia melangkah menuju ke arah tubuhnya yang tergeletak tak berdaya. Tanah, lumut dan kotoran berwarna merah kehitaman adalah sebagai pengganti pakaian dari tubuhnya yang setengah telanjang itu
`Ima, watashitachiha kagirinai chikara o shimesanakereba narimasen. Tatoe kono karada ga tsumi ni yotte yogosa reta to shite mo, sore ga watashitachi no chikara no minamotodesu. Watashitachi wa korera no hikukute onshirazuna ningen ni yotte konagona ni kudaka remasu.'
.( "Kini tiba saatnya, kita harus menunjukkan kekuatan kita yang tanpa batas itu. Sekalipun tubuh ini dinodai oleh dosa... Namun, itulah yang menjadi sumber kekuatan kita... Kita hancur leburkan manusia-manusia rendah dan tak tahu berterima kasih ini," ) katanya seorang diri.
Selanjutnya, ia menggambar sebuah garis vertikal pada lantai toilet yang basah, menyusul sebuah garis horisontal memotong tepat pada bagian tengah garis vertikal tersebut. Kemudian ia menambahkan gambar setengah lingkaran mirip huruf 'U', memotong sedikit bagian ujung garis vertikal dan horisontal Michikko pun menghilang... Ia sudah masuk ke tubuh kasarnya.
_____
Ruangan yang semula temaram mendadak menjadi terang benderang, aku mendapati diriku bersama Cindy dan Maribeth berdiri di dalam sebuah ruangan yang kotor dan kumuh... Yah, aku sengaja melepaskan pegangan tangan Cindy dan Maribeth, membuat 2 wanita itu tersentak.
"Kak Rimbi, jangan lakukan itu lagi kakak bisa merusak portal dimensi kita dengan dimensi alam lain .. itu berbahaya sekali, kak...." Seru Cindy.
"Masa bodoh, aku tak tahan lagi melihat penderitaan yang dialami gadis itu... Aku akan menolongnya. Pemuda-pemuda itu benar-benar biadab," seruku.
"Hanya dengan ini kakak bisa menolongnya. Cepat, kak pegang tangan kami... Kakak tidak menyadari sudah berulang kali pegangan tangan kita terlepas," Maribeth ikut angkat bicara seruannya menyadarkanku dan bersamaan dengan itu, kami mendengar suara berderak seperti tanah retak tapi tak tahu darimana asal suara itu.
Buru-buru aku meraih tangan Cindy dan Maribeth, kembali kami menembus lorong ruang dan waktu menuju saat dimana Michikko masih hidup.
_____
Jari-jemari tangan wanita itu bergerak meraba-raba lantai basah, kotor dan menebarkan bau tidak sedap. Ia tidak peduli dengan rasa sakit pada sekujur badannya, terutama, rasa sakit pada bagian kewanitaannya, ia tak peduli dengan sepasang matanya yang sudah tidak bisa lagi melihat karena terluka parah dan terus-menerus mengeluarkan darah merah kehitaman, iapun tak peduli dengan darah yang membasahi pelipisnya juga rasa pusing pada kepalanya, ia tak peduli dimana ia kini berada dan juga lima orang pemuda yang berdiri sambil menatap dengan tatapan dingin ke arahnya. Sebuah boneka, ia mencari sebuah boneka yang selama ini menemaninya, ia tersenyum manakala benda yang dicari sudah berada di tangan. Dipeluknya benda itu erat-erat bibirnya komat-kamit melantunkan sebuah lagu dengan lirik Jepang.
Setelah selesai bersenandung, ia menyentakkan kepala ke arah lima orang pemuda yang tengah menatapnya. Ia menuding lurus-lurus ke arah mereka dengan telunjuk kanannya. Bibirnya terbuka dan terlontar kata-kata aneh dalam bahasa Jepang.
“ KONO JI NI WA, JIGOKU GA YATTEKITTE, YAKEOCHITA ! “
(“API NERAKA TELAH DATANG, MEMBAKAR SEMUA YANG ADA DI TEMPAT INI !”)
Seketika itu terdengar ledakan keras, membuat tubuh salah seorang dari mereka terpental jauh.
“BBRRUUAAKK !!” seketika ruangan menjadi terang benderang, menyinari tubuh keempat pemuda yang berdiri terperangah, mereka adalah : Edward, Seto, Lino dan Raga sementara yang terpelanting keluar adalah Pandu. Belum habis rasa heran mereka, bunga-bunga api memercik dari tempat dimana wanita yang tak lain adalah Michikko duduk. TOILET WANITA.
Api segera menjalar keluar dan membakar semua gedung yang ada di sekitar tempat itu. Semua yang ada di sekitar tempat itu berteriak-teriak ketakutan, sebagian berlarian keluar hendak menyelamatkan diri dengan tubuh yang terpanggang api. Pintu gerbang sekolah menutup dan terkunci dengan sendirinya, membuat semua yang ada di dalam tak bisa keluar. Termasuk Thalia yang saat itu sedang kebingungan mencari dimana Michikko berada. Ia memeriksa ke setiap sudut ruangan, tempat dimana biasanya gadis Jepang itu duduk menyendiri tapi tak ditemukan. Ia terjebak diantara bangunan-bangunan yang terbakar juga mayat-mayat hangus dan tergeletak tak tentu arah sementara api masih membakar tubuh hangus tersebut. Dalam keadaan bingung, mendadak tubuhnya seperti diseret oleh kekuatan tak kasat mata. Ia berteriak-teriak ketakutan, meronta hendak melepaskan diri, tapi, kekuatan itu tak mampu dilawan, ia pasrah, hingga akhirnya merasakan tubuhnya dimasukkan ke sebuah tempat yang gelap dan dingin. Sebelum kehilangan kesadarannya, ia merasakan sekujur tubuhnya basah kuyub dan telinganya mendengar suara percikan air.
Perlahan-lahan, suara hiruk pikuk sirna digantikan oleh gemerantak kayu-kayu terbakar. Tak ada lagi teriakan minta tolong, tak ada lagi teriakan menyayat, tak ada lagi jerit kesakitan. Sunyi sepi. Mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah bercampur dengan timbunan puing-puing bangunan dan bahan material lain yang menghitam. Bau tidak sedap segera menyebar mengikuti kemana angin berhembus. Di sudut ruangan yang gelap, sebuah boneka wanita berambut acak-acakan duduk, ia tampak tersenyum melihat keadaan sekitar. Sebuah tangan putih pucat mendadak muncul dan perlahan-lahan mengangkat boneka itu. Terdengar senandung lirih “Nina Bobo” dalam bahasa Jepang.
Sebuah bayangan wanita mendadak muncul dari permukaan tanah, ia berambut hitam, panjang terurai lagi kusut menutupi wajahnya, sesekali kepalanya menyentak ke kiri. Pakaian yang ia kenakan adalah pakaian pelajar SMA khas Jepang, berwarna merah darah. Ia berdiri membelakangi tiga orang gadis yang tengah bergandengan tangan. Salah seorang dari mereka yang berdiri di tengah menatapnya dengan tatapan iba. Bayangan itu seperti mengetahui bahwa ada orang lain yang memandang, ia membalikkan badan. Kini mereka berhadap-hadapan dalam jarak lebih kurang tiga meter. Bayangan itu mengangkat telunjuk kanannya, “Kita akan bertemu 7 hari lagi,” katanya dengan suara berat, setelah itu membalikkan badan, melangkah meninggalkan tempat itu diiringi dengan tawa mengerikan.
_____
Di Negara Matahari Terbit ( Jepang ), seorang wanita cantik terbangun dari tidurnya. Tatap mata yang penuh kekhawatiran, memandang ke segala penjuru ruangan yang hanya diterangi sebuah lentera. Di ujung sana, tampak sebuah meja altar dengan panjang satu setengah meter terbaring bagaikan raksasa yang sedang tidur berselimutkan sebuah kain usang berwarna coklat. Di atasnya, ada sebuah nampan berisikan berbagai macam makanan dan buah-buahan diletakkan tepat di bawah dupa yang masih menyala. Asap mengepul menyelimuti sebuah foto gadis cantik yang tergantung pada dinding. Saat asap yang menebarkan bau harum di ruangan itu melayang-layang dibawa angin, barulah terlihat dengan jelas wajah di dalam foto itu.
Wanita berambut panjang terurai dengan kimono berwarna merah jambu, berjalan dan berhenti tepat di hadapan meja altar. Pandangan matanya terpaku pada foto tersebut. Bibirnya terbuka, sebuah kata-kata dalam bahasa Jepang terlontar :
“Michikko, apa yang terjadi padamu ? Roh jahat yang bersemayam dalam tubuhmu, tampaknya sudah menemukan wadah yang baru ... Aku harus mencegahnya agar roh jahat itu tidak terlahir lagi di dunia ini. Kalau terlambat, dunia berada dalam kehancuran,” setelah itu ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela, “Sebelum itu terjadi, aku harus mencegahnya, jangan sampai roh itu mendapatkan wadahnya,”
Ia memejamkan matanya, mulutnya komat-kamit tak jelas. Sesaat kemudian matanya terbuka, ia mengepalkan tangannya keras-keras, sebuah asap tipis keluar perlahan dari punggung tangannya. Saat membuka kepalan tangannya, tampak gumpalan abu dan tanah lalu ia menebarkannya ke lantai tak jauh dari meja altar itu ditempatkan.
“Yami kara hikari e.
Hikari ga sonzai suru subete no kurayami o terasu yō ni shite kudasai...
Ushinawareta tamashī o tsurete…
Hisu rappu ni modoru
Shizen no itsutsu no yōso ga ketsugō sa re, tsuyo-sa ga kumiawasari,
Sekai no subete wa zen'nō-sha ni yotte sōzō sa remasu
Kare ni modoru
Michikko no tasuke o karite kare no kigen ni modorimashou
Kyōryokuna”
Yang artinya :
“Dari kegelapan kembali ke cahaya ...
Biarlah cahaya menerangi semua kegelapan yang ada ...
Membawa jiwa-jiwa yang tersesat ...
Kembali ke pangkuan-NYA ...
5 unsur alam bersatu padu, kekuatanpun berpadu,
Segala yang ada di dunia diciptakan Yang Maha Kuasa
Kembali kepada-NYA
Ijinkanlah aku mengembalikan Michikko ke asalnya dengan bantuan
YANG MAHA KUASA”
Begitu wanita itu menyelesaikan perkataannya, di halaman rumah yang tertutup salju, mendadak menyembul keluar beberapa sosok wanita berpakaian coklat tua, berambut panjang terurai menutupi wajahnya. Sosok wanita yang berjumlah lebih kurang 10 orang itu memiliki perawakan dan penampilan sama dengan Michikko. Lalu dengan gerakan aneh mereka membalikkan tubuhnya dan berjalan meninggalkan tempat itu sambil berteriak-teriak dalam bahasa Jepang :
“Modotte kite ne”
“BAWA DIA KEMBALI !”
berulang kali mereka meneriakkan itu hingga hilang dalam kegelapan malam.
_____
Aku, Maribeth dan Cindy jatuh terduduk, aku merasakan ada cairan kental mengalir dari hidung sebelah kananku. Ini sudah biasa, tiap kali selesai membiarkan diri ini berkelana menembus dimensi ruang dan waktu. Kuseka darah itu dengan punggung tanganku, “Tujuh hari lagi ?” desahku. Yah, jika masker yang menutupi wajahku terbuka, maka, semua yang tak bisa dilihat orang awam, terlihat olehku. Dan, aku ikut merasakan semua derita yang mereka alami.`
“Tenanglah, kak... kita tidak sendirian,” tiba-tiba terdengar seruan dari samping kananku, seorang bocah berumur 13 tahunan mengenakan kacamata memandangiku di sisi lainnya kulihat seorang bocah wanita berpakaian putih, berambut sebatas bahu, sepasang matanya dihiasi cekungan hitam. Di sisi lainnya lagi ada 2 orang bocah dan salah satu dari mereka memeluk skeetch book. Aku mengenal mereka ... mereka adalah Jen-Shen, Intan, Timmy dan Tobby, sahabat-sahabat hantunya Cindy.
Cindy dan Maribeth membimbingku berdiri. Yah, mungkin kejadian yang baru saja kami lihat adalah sebagian dari masa lalu sosok wanita yang hadir dalam mimpi-mimpiku dan mengikutiku kemana pun aku pergi. “Apa yang harus kita lakukan sekarang, teman-teman ?” aku meminta pendapat.
Cindy dan Maribeth terdiam.
“Kalian tak perlu khawatir,” tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang, seorang wanita berambut hitam berombak mendadak muncul. Ia jelas bukan asli penduduk pribumi di lihat dari logat bicara yang bagi kami terdengar lucu, juga gerak-geriknya yang mirip Michikko. “Siapa kau ? Bagaimana kau bisa muncul di tempat ini ?” tanyaku.
“Aku bernama, MIWAKO. Kakak kandung Michikko,” jawabnya singkat, ia tampak kesulitan untuk berbicara bahasa Indonesia.
Jen-Shen yang memang paham bahasa Jepang segera berjalan menghampiri, “Dia kurang fasih berbahasa Indonesia, Cindy ... Biarkan aku yang mengajaknya bicara, aku tahu dia memiliki kemampuan yang sama denganmu, Maribeth juga Arimbi. Dia bisa melihat kami yang tak kasat mata,”
Cindy menganggukkan kepala, “Kalau begitu ajaklah dia berbicara,”
Jen-Shen berjalan menghampiri gadis yang bernama Miwako itu, dan memang, Miwako bisa melihat Jen-Shen juga yang lainnya. Begitu Jen-Shen mengajaknya berbicara dalam bahasa Jepang, ia tampak girang sekali dan begitu pula Jen-Shen. Selama ini ia tidak pernah bertemu dengan orang yang berasal dari satu negara dengannya. Bagi Jen-Shen, ini adalah hari yang membahagiakan. Dalam waktu singkat, mereka sudah menjadi sahabat karib. Sahabat karib kedua setelah Cindy Permatasari. Saat matahari sudah tepat berada di atas kepala, kami meninggalkan tempat itu.
_____
Michikko sebenarnya adalah adik kandung Miwako. Mereka mewarisi bakat ibunya Ukkonawa yang mampu berkomunikasi dengan alam gaib. Kemampuan ini membuat Hiroshi, sang Ayah merasa tidak nyaman apabila berada di dekat 3 orang wanita itu, padahal mereka semua sangat menyayangi dan memperhatikannya. Justru perhatian dan kasih sayang itu, membuat Hiroshi makin tak nyaman. Sebagai pelampiasan rasa tidak nyamannya, Hiroshi pergi dari rumah dan tak pulang hingga berhari-hari. Hal itu membuat Ukkonawa harus pergi mencarinya kemana-mana, hingga pada suatu hari, dengan mata kepala sendiri melihat sang suami tidur bersama wanita lain dalam keadaan telanjang.
Melihat pemandangan itu Ukkonawa marah besar dan mengajukan cerai. Keputusan ini disambut Hiroshi dengan sebuah syarat, yakni : salah satu dari kedua putri mereka, Miwako dan Michikko, harus tinggal bersamanya. Sebuah syarat yang cukup berat bagi seorang ibu. Saat Ukkonawa membicarakan persyaratan ini pada Miwako dan Michikko, Michikko memutuskan untuk tinggal bersama Sang Ayah dengan harapan bisa mengarahkan Ayahnya untuk kembali ke jalan yang benar, harapan yang terbesar adalah mempersatukan kembali Ayah-Ibunya.
Tapi, setelah tinggal bersama Ayahnya, justru Michikko menderita tekanan batin. Sang Ayah bukanlah sosok yang selama ini dikenalnya.
Sang Ayah menjadi sosok yang berbeda : kasar, pemarah, berfoya-foya, main pukul dan main wanita. Bagi anak yang baru berusia 10 tahun, ia harus dihadapkan oleh perlakuan tak pantas dari Hiroshi. Lebih parah lagi, saat menginjak usia 12 tahun, Michikko harus menjadi objek pemuas nafsu birahi sang Ayah yang tak terkendali. Jika menolak, maka, lecutan cemeti Sang Ayah senantiasa mendarat di tubuhnya. Hingga suatu malam, Michikko berjalan menuju ke kamar Ayahnya. Sayup-sayup telinganya mendengar desahan nafas dan jeritan tertahan dari dalam. Sebuah suasana yang tidak asing bagi Michikko, di dalam sana Ayahnya tengah bercinta dengan seorang pelacur.
Mendadak sepasang mata Michikko seperti berkilat-kilat, tanpa ragu tangannya membuka daun pintu kamar lebar-lebar. Begitu pintu terbuka lebar-lebar, cahaya lampu menerangi 2 sosok tubuh tanpa busana, laki-laki dan perempuan. Michikko mengenal laki-laki itu yang kini tampak terkejut bercampur gusar, “Anak kurang ajar, berani benar menerobos masuk ke kamarku ! Apa kau sudah bosan hidup ?!” serunya. Baru saja menutup mulutnya, Hiroshi merasakan lehernya seperti dicekik oleh jari-jari tangan raksasa, tak ada kata-kata kasar lagi yang keluar dari mulutnya saat mendadak tubuhnya terangkat tinggi-tinggi di udara.
Cekikan itu makin kencang, membuat Hiroshi kesakitan dan susah bernafas. Mata laki-laki itu terbelalak lebar, Michikko hanya menatap tajam ke arah Hiroshi, saat menggerakkan kepalanya ke kiri terdengar bunyi seperti tulang patah, “Krek !” itu adalah bunyi tulang leher Hiroshi yang patah. Tubuhnya mengejang sesaat sebelum akhirnya tak bergerak-gerak lagi.
Wanita yang berada di ruangan tersebut menjerit ketakutan dan hendak keluar, tapi, rambutnya seperti ditarik oleh sebuah kekuatan tak kasat mata. Wanita itu berteriak-teriak kesakitan, tubuhnya mendadak melayang ke udara dan dihempaskan keras-keras ke dinding. “Bruk!” punggung wanita itu beradu dengan tembok sementara sepasang matanya menatap Michikko yang hanya berdiri sambil menatapnya lekat-lekat. Wanita itu berteriak-teriak ketakutan, wajahnya pucat pasi. Ia minta dikasihani.
Jambakan pada rambut wanita itu semakin kencang, jeritan kesakitan wanita itu semakin keras, memenuhi ruangan yang remang-remang. “Breth !!” terdengar suara keras diiringi dengan percikan darah berhamburan hampir ke seluruh ruangan.
Rambut wanita itu tercabut dari kepalanya, tak terdengar lagi jeritan kesakitan. Wanita itu mungkin pingsan, mungkin pula sudah tak bernyawa dengan kepala yang gundul bersimbah darah, tak terhitung berapa urat-urat dan pembuluh darah di kepalanya yang tercabut.
Michikko berjalan mengamati 2 sosok yang tergeletak di tempat tidur. Jari-jemarinya bergerak meraih sebuah boneka yang diletakkan di sebelah kanan tempat tidur.
Sebuah boneka wanita berambut panjang terurai. Sekilas boneka itu tampak lucu, tapi, sepasang matanya seperti hidup bergerak naik turun saat Michikko menggendong dan melangkah meninggalkan ruangan itu. Detik berikut dari tempat dimana boneka itu berada, memercik bunga-bunga api yang kemudian mendadak saja lidah-lidah api muncul dan menjilat-jilat membakar seluruh perabotan yang ada di ruangan itu. Nyala api terus membesar, menyambar dan membakar semua yang ada. Saat rumah dimana Hiroshi habis terbakar, tubuh Michikko menghilang ditelan kegelapan malam.
_____
Beberapa hari kemudian, Michikko datang menemui Ukkonawa dan Miwako, ia menceritakan kejadian yang dialaminya selama 2 – 3 tahun ini. Trauma yang dialami Michikko benar-benar membuatnya berubah. Jika dulu ia adalah gadis periang, suka senyum, mudah bergaul dengan siapa saja berubah menjadi gadis pendiam, pemurung dan tak banyak bicara. Ia lebih suka menghabiskan waktu bersama bonekanya. Baik Ukkonawa dan Miwako memaklumi keadaan Michikko. Butuh waktu yang cukup lamauntuk mengembalikan wanita itu menjadi seperti dulu sewaktu masih bersama-sama.
Sayangnya, tidak semua orang bisa menerima keadaan Michikko. Saat usianya menginjak 13 tahun, Michikko tumbuh menjadi seorang gadis yang jelita. Bersamaan dengan itu kemampuan yang ada pada dirinya menjadi tak terkendali. Saat emosinya tidak stabil, orang-orang di dekatnya mendapat celaka.
Ukkonawa mengajarkan bagaimana Michikko harus bisa mengendalikan kekuatannya, tak jarang ia menyalahkan diri sendiri karena memiliki kemampuan gaib dan menurun pada anak-anaknya. Di pihak Michikko, kekuatan yang ia punya adalah sebuah kutukan, bukan anugerah.
Hingga suatu malam, Michikko mendapati dirinya tengah berada di tanah lapang yang cukup luas. Hidungnya mencium bau hangus, telinganya sayup-sayup mendengar jeritan minta tolong dari arah yang cukup jauh. Di sekelilingnya tampak mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah dalam keadaan menghitam dengan asap mengepul disana-sini. Sebagian dari tubuh itu masih terbungkus oleh bara api. Diantara mayat-mayat yang hangus terbakar itu, ia juga mendapati mayat Ibu dan kakaknya. Tanah tempatnya berpijak mendadak bergetar hebat, diantara jeritan-jeritan itu terdengar pula ledakan dahsyat disusul batu-batu api sebesar gunung turun dari langit. Tapi, hujan batu itu sama sekali tidak mengenai tubuhnya. Menghancur leburkan segala yang ada di tempat itu. Rumah-rumah terbakar sebagian sudah menjadi puing-puing berserakan tak beraturan.
Mendadak, mayat-mayat yang bergelimpangan itu bergerak-gerak, merayap mengarah pada sebuah lubang menganga lebar dan di dalam lubang itu kawah api siap menelan apa saja yang masuk ke dalamnya.
Tak terkecuali tubuh Michikko sendiri ikut terseret masuk ke dalam kawah itu. Michikko berteriak, ia tak mau mati begitu saja, setidaknya ia harus bisa bertahan agar tidak masuk ke dalam. Ia meraih apa saja untuk dijadikan pegangan. Tapi, jari-jemarinya serasa melemah dan akhirnya diiringi dengan jeritan menyayat, tubuh Michikko melayang-layang ke udara sejenak untuk selanjutnya dicampakkan ke dalam kawah api tersebut.
Jeritan Michikko berakhir saat merasakan bahunya dicengkeram kuat-kuat oleh jari-jemari lentik milik Miwako. Ia baru saja bermimpi. Udara malam itu memang panas tidak biasa, tak biasanya terjaga dalam keadaan tubuh basah kuyub oleh keringat. Saat Michikko bercerita tentang mimpinya, bagi Ukkonawa dan kakaknya yang ternyata mengalami mimpi yang sama, itu adalah sebuah peringatan ... dalam beberapa hari ke depan bencana itu pasti akan datang.
Malam itu juga keluarga Ukkonawa memberitakan apa yang didapat dari mimpi mereka kepada penduduk yang lain. Sebagian penduduk mempercayainya, tapi, sebagian lagi mencemoohnya malah mengusirnya. Bagi penduduk yang percaya dengan penglihatan Keluarga Ukkonawa, segera berkemas dan mengungsi ke tempat yang dirasa aman sementara yang lain hanya tertawa mengejek. Dan, 1 minggu setelah keluarga Ukkonawa pergi, bencana itu terjadi, tak ada seorang penduduk pun yang selamat.
Sebagai balas jasa para penduduk yang diselamatkan oleh Keluarga Ukkonawa, mereka menjamin kehidupan keluarga itu sepenuhnya. Keluarga Ukkonawa menjalani hidupnya sebagaimana mestinya, tidak lagi dikucilkan oleh orang dan Michikko harus melanjutkan sekolah. Untuk sesaat Keluarga itu hidup tenang dan damai, tapi, seiring dengan bertambahnya usia, 15 tahun, kecantikan Michikko makin membuat kaum Adam tergila-gila. Tapi, Michikko lebih memilih menutup diri, beberapa pemuda yang sakit hati gara-gara cinta ditolak, memilih jalan nekad. Mereka harus menyadari bahwa, Michikko bukanlah gadis biasa, ia memiliki kemampuan yang tidak biasa, dan harus rela kehilangan nyawanya secara mengenaskan.
Banyaknya pemuda yang menghilang dari desa tempat tinggal keluarga Ukkonawa yang baru, menimbulkan kecurigaan para penduduk terhadap keluarga Ukkonawa. Harap dimaklumi, Nyonya Ukkonawa memiliki dua anak gadis yang sama-sama cantik jelita, tak terhitung berapa banyak lamaran yang disodorkan orang terhadap Miwako dan Michikko, tapi, harus pulang dengan tangan hampa mungkin juga kecewa.
Selain itu Nyonya Ukkonawa, sekalipun usianya berangkat senja, namun, sama sekali tak terlihat garis-garis ketuaan di wajahnya. Ia malah semakin cantik. Untuk kesekian kalinya, Ukkonawa harus menghadapi kemelut. Puncaknya, saat ada seorang pemuda berkunjung ke rumah Nyonya Ukkonawa untuk meminang Michikko.
Michikko menolak, dalam perjalanan pulang pemuda itu menghilang. Beberapa hari kemudian ia ditemukan oleh beberapa penduduk dalam keadaan sudah menjadi mayat. Hal itu juga menimpa pemuda-pemuda yang lain. Mau tak mau kecurigaan penduduk makin menjadi dan bersepakat untuk mengusir Keluarga Ukkonawa bilamana perlu dihakimi massa.
Demi masa depan anak-anaknya, Nyonya Ukkonawa harus rela meninggalkan tempat itu. Berpindah ke suatu tempat ke tempat lain, demikian pula sekolah Miwako dan Michikko.
Dimanapun mereka berada, kejadian yang sama terulang dan terus terulang, hingga akhirnya tibalah di Indonesia. SMA Tidar I. Di sekolah itu, Michikko mendapat perlakuan yang tidak manusiawi oleh teman-temannya karena dianggap sebagai orang aneh. Amarah Michikko mencapai puncaknya, membakar seluruh bangunan sekolah beserta isinya.
Dikarenakan adanya suatu hal, Miwako tak melanjutkan sekolah, akan tetapi, memilih menemani ibunya sehingga Michikko harus merantau seorang diri di negeri orang. Tapi, belakangan baik Ukkonawa dan Miwako tidak lagi mendengar kabar tentang keberadaan Michikko.
Pada suatu malam, lewat mimpi, Miwako bertemu dengan Michikko. Tubuh Michikko basah kuyub, wajahnya terlihat lebih murung dari biasanya. Saat menyampaikan berita ini kepada ibunya, Miwako diminta untuk segera menemukan Michikko, hidup atau mati.
Perasaan Nyonya Ukkonawa mengatakan bahwa, Michikko sudah meninggal dan jiwanya terjebak di sebuah tempat. Ia membutuhkan wadah / raga baru untuk... kemungkinan membalas dendam pada orang-orang yang mencelakainya. Dan, tubuh yang diinginkannya adalah tubuh Arimbi karena memiliki kemampuan sama dengan Michikko. Itulah alasan mengapa Miwako datang ke Indonesia dan menemui Arimbi.
Dengan bantuan Arimbi dan teman-temannya, harapan untuk menemukan jasad Michikko akan lebih besar dan Arimbi tidak harus dihantui oleh Michikko. Batas waktu sudah ditentukan, 7 hari lagi. Jika dalam waktu tersebut mereka belum menemukan jasad Michikko, maka, sesuatu yang buruk akan menimpa Arimbi ... bisa jadi, Cindy dan Maribeth juga terkena getahnya.
_____