Sebuah novel dengan beragam jenis kisah horor, baik pengalaman pribadi maupun hasil imajinasi. Novel ini terdiri dari beberapa cerita bergenre horor yang akan menemani malam-malam mencekam pembaca
•HOROR MISTIS/GAIB
•HOROR THRILLER
•HOROR ROMANSA
•HOROR KOMEDI
Horor Komedi
Horor Psikopat
Horor Mencekam
Horor Tragis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayam Kampoeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 TEROR LEAK Part 19
Bukanlah hal yang mudah untuk membawa Pak Wayan yang lemah dan trauma melalui hutan. Tubuhnya yang ringkih nyaris tak mampu menopang dirinya sendiri, dan pikirannya juga masih terkunci dalam teror dan trauma yang membekas. Sesekali, Pak Wayan tersentak, berteriak pada bayangan-bayangan yang hanya ada dalam ingatannya. Tatapan matanya kosong, namun penuh ketakutan.
Pak Wayan juga berkali-kali tergagap sambil menunjuk ke satu arah, memohon ampun kepada sosok-sosok yang tidak terlihat ada, seolah-olah dirinya masih berada dalam cengkeraman Balian Rawa.
Setiap langkah mereka terasa berat, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional. Kemenangan mereka terasa pahit, dibayangi oleh pengorbanan Ida Rengganis dan hilangnya sebagian kekuatan Marni yang selama ini menjadi penopang harapan.
Marni dan Bagus berjalan pelan, menyusuri jalur setapak yang dipenuhi akar pohon dan dedaunan basah. Langit mulai cerah, tetapi suasana hati mereka tetap kelabu. Di antara desir angin dan nyanyian burung pagi, ada kesunyian yang menyergap, seolah-olah alam pun turut berduka.
Marni menggenggam tangan Pak Wayan erat-erat, seakan-akan gadis itu takut kehilangan ayahnya lagi. Bagus berjalan di sisi mereka, sesekali berhenti dan menopang tubuh Pak Wayan yang limbung.
Sesampainya di pinggir hutan, dekat dengan pemukiman pertama desa Banjaran, mereka bertemu dengan sekelompok warga yang dipimpin oleh Komang dan Kepala Desa Tulus.
Wajah-wajah itu masih diliputi ketakutan dan kecurigaan, tetapi sekarang bercampur dengan keheranan dan takjub. Mereka melihat Marni dan Bagus yang berlumuran lumpur dan luka, berjalan pelan sambil menopang Pak Wayan yang nyaris tidak bisa berdiri sendiri. Pemandangan itu seperti mimpi yang tak mereka duga akan menjadi kenyataan.
"Wayan...?" Komang melangkah maju, suaranya bergetar, tidak percaya. Matanya membelalak, seolah-olah melihat hantu.
"Dia masih hidup," kata Bagus dengan suara serak, kelelahan dan emosi bercampur menjadi satu. "Tapi dia butuh pertolongan. Segera." ucap Bagus lagi.
Kepala Desa Tulus mendekat, matanya penuh selidik, dan tanda tanya yang belum terjawab.
"Dan Balian Rawa? Leak-leak itu? Apa mereka masih ada?" tanya Tulus.
"Mereka sudah pergi ke alam asalnya," jawab Marni. Suaranya lembut, tapi tegas, seperti embun yang jatuh di atas batu. "Mamak... Dia memilih untuk mengorbankan diri untuk menghentikan semuanya. Dia menutup jalan bagi kegelapan." terang Marni. Ada kesedihan dalam nada bicaranya.
Desas-desus tentang pengorbanan Ida Rengganis menyebar cepat di antara warga desa Banjaran. Bisik-bisik berubah menjadi gumaman haru. Ekspresi ketakutan perlahan berubah menjadi rasa penyesalan yang mendalam. Mereka melihat Marni bukan lagi sebagai ancaman, tetapi sebagai korban yang telah kehilangan ibunya untuk yang kedua kalinya, dan kini menyelamatkan mereka semua dari kehancuran yang tak terbayangkan.
Komang menunduk, malu. "Aku... aku salah, Marni. Aku membiarkan ketakutan dan amarah menguasai akal sehatku. Aku menuduhmu tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi."
"Sudah aku lupakan, Komang," ucap Marni, memaafkannya dengan tulus. Suaranya lembut, tak dibuat-buat. "Kita semua telah diperdaya oleh ketakutan. Tapi sekarang, kita bisa memilih untuk tidak lagi tunduk padanya."
Warga desa yang hadir mulai membantu membawa Pak Wayan ke rumahnya. Sentuhan tangan-tangan yang dulu mengepalkan tinju kini penuh dengan uluran bantuan dan penyesalan. Mereka bergantian menopang tubuh Pak Wayan, membersihkan luka-luka kecil di tubuh Marni dan Bagus, dan menawarkan air serta makanan.
Sesampainya di rumah, mereka menidurkan Pak Wayan di kamarnya. Mang Dirga dan Gede Raka, yang telah pulang lebih dulu dan dirawat oleh warga desa, sudah menunggu di sana. Pertemuan itu penuh dengan emosi yang tak bisa dibendung. Mang Dirga memeluk Marni erat-erat, air matanya mengalir untuk saudara sepupunya, Ida Rengganis, dan untuk penebusan yang akhirnya terjadi setelah bertahun-tahun penyesalan.
"Kau telah melakukan apa yang tidak bisa kulakukan, Anakku," bisik Mang Dirga, suaranya gemetar. "Kau telah membawa perdamaian yang selama ini hanya bisa kuimpikan. Kau telah menebus dosa kami semua."
Tapi perdamaian itu terasa rapuh. Saat malam tiba, dan desa Banjaran perlahan-lahan kembali tenang, Marni duduk sendirian di beranda rumah. Dia memandang bulan purnama yang mulai mengecil, merasakan kekuatannya sebagai Penyeimbang benar-benar memudar.
Cahaya keperakan yang dulu menyala di matanya kini hanya tinggal bayangan. Dia bisa merasakan penghuni alam gaib masih ada di sekitarnya, tetapi sekarang tampak samar. Dia kembali menjadi Marni, gadis desa biasa, tanpa warisan gaib, tanpa beban kutukan.
Bagus menemukannya di sana. Dia duduk di samping Marni, menyentuh tangan gadis itu dengan lembut.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Bagus pelan.
"Aku merasa... hampa," bisik Marni. "Selama ini, aku berjuang melawan warisanku. Aku membenci darahku, membenci takdirku. Sekarang, ketika warisan itu benar-benar pergi, aku merasa kehilangan sebagian dari diriku sendiri."
Bagus paham maksud Marni. Dia menatap Marni dengan penuh kasih. "Kau adalah Marni. Gadis kuat yang menyelamatkan desa Banjaran. Kekuatan tidak membuatmu hebat, tapi tindakanmu yang melakukannya. Kau lebih dari sekedar warisan gaib. Kau adalah harapan yang nyata."
Marni tersenyum lemah, matanya berkaca-kaca. "Dan kau? Setelah mengetahui tentang ayahmu... tentang takdir kita yang terikat? Apa kau tidak merasa kehilangan juga?"
Bagus menarik nafas dalam. "Aku merasa ini semua sudah berakhir. Seperti sebuah lingkaran yang telah lengkap. Ayahku mungkin gagal, tapi aku... kita... berhasil. Aku tidak melihatnya sebagai kutukan lagi, tapi sebagai warisan untuk dilindungi. Warisan untuk memastikan keseimbangan tetap terjaga, bahkan tanpa kekuatan gaib. Kita bisa menjaga dunia ini dengan keberanian dan kebaikan, bukan hanya dengan sihir."
Percakapan mereka terputus oleh teriakan dari dalam rumah. Mereka bergegas masuk dan menemukan Pak Wayan duduk tegak di tempat tidurnya. Matanya sudah jernih, tidak lagi penuh ketakutan. Ada ketenangan baru, yang terpancar di sana.
"Marni," panggilnya, suaranya parau tapi penuh kasih. "Aku... aku melihat ibumu. Di akhir... dia tersenyum. Dia sudah damai."
Keluarga yang telah tercerai-berai itu akhirnya bersatu kembali, meski dengan satu kursi yang kosong. Namun, penyatuan itu menandakan hal baru. Di mana mereka harus membangun kembali bukan hanya rumah mereka, tetapi juga kehidupan mereka, setelah diterpa badai teror yang hampir menghancurkan segalanya. Mereka harus belajar hidup dengan kehilangan, dengan kenangan, dan dengan harapan yang baru.
Tapi seperti kata Mang Dirga, memenangkan pertarungan adalah satu hal, menghadapi konsekuensi kemenangan itu adalah hal lain. Luka-luka batin tidak sembuh dalam semalam. Dosa-dosa masa lalu tidak hilang begitu saja. Tapi mereka telah memilih jalan yang benar. Jalan menuju Dharma dan keberanian untuk melindungi desa Banjaran.
*
Sebelum ikut-ikutan nge-bully, coba deh tanya ke diri sendiri. Apa yang akan aku rasakan jika ini terjadi padaku atau adik/keluargaku?
☺️🥰