Kembali hidup setelah dirinya mati terbunuh. Itulah yang dialami gadis jenius bisnis bernama Galuh Permatasari. Ia bertransmigrasi ke era kolonial menjadi seorang gundik dari menheer tua bernama Edwin De Groot. Di era ini Galuh bertubuh gendut dan perangainya buruk jauh dari Galuh yang asli.
Galuh memahami keadaan sekitarnya yang jauh dari kata baik, orang - orang miskin dan banyak anak kelaparan. Untuk itu ia bertekad dengan jiwa bisnisnya yang membludak untuk mengentaskan mereka dari keterpurukan. Memanfaatkan statusnya yang sebagai Gundik.
Disaat karirnya berkembang, datanglah pemuda tampan yang tidak lain adalah anak dari menheer tua bernama Edward De Groot. Kedatangannya yang sekedar berkunjung dan pada akhirnya jatuh cinta dengan gundik sang ayah.
Lantas, bagaimana kisah kelanjutannya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berinteraksi
Edward bangun begitu mendengar pintu kamar diketuk."Ya?" kata Edward dengan suara yang masih berat karena baru bangun.
"Tuan Edward, saya Kamini. Nyonya Wilda meminta Anda untuk makan malam di ruang makan," kata Kamini dari balik pintu.
Edward menggosokkan tangan ke wajahnya, mencoba untuk menghilangkan kantuk. "Baik, Kamini. Tolong katakan pada Mami bahwa saya akan segera turun," jawab Edward. Kamini mengangguk dan pergi meninggalkan kamar. Edward menarik napas dalam-dalam dan mulai bersiap untuk menghadapi makan malam dengan keluarga.
Edward De Groot menuju ruang makan, terlihat jelas di sana ada Gundik sang ayah.
Merry membuka mata lebar-lebar, "Kak Edward! Kamu sudah pulang!" seru Merry dengan gembira. Dia langsung berlari menghampiri kakaknya dan memeluknya erat. "Aku merindukanmu, Kak!" kata Merry dengan suara ceria.
Edward tersenyum dan membalas pelukan adiknya. "Aku juga merindukanmu, Merry. Bagaimana kabarmu?" tanya Edward sambil membelai rambut adiknya. Merry mengangguk senang dan mulai bercerita tentang kesehariannya.
Edward tidak bisa menyembunyikan rasa tidak sukanya saat melihat Nyai Galuh yang berdiri di samping ayahnya. Dia merasa tidak nyaman dengan keberadaan wanita itu, apalagi karena statusnya sebagai gundik ayahnya. Edward menatap Nyai Galuh dengan tatapan dingin, mencoba untuk menunjukkan ketidaksetujuannya. Nyai Galuh menyadari tatapan Edward dan merasa tidak nyaman, tapi dia mencoba untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan perasaannya. "Tuan Edward, selamat datang," kata Nyai Galuh dengan sopan, mencoba untuk mencairkan suasana yang tegang.
"Haruskah aku menjawab pertanyaan Anda, Nyai ?" kata Edward dengan nada sinis, matanya masih terpaku pada Nyai Galuh dengan tatapan tidak suka. "Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan pada situasi seperti ini," tambahnya, suaranya penuh dengan ketidaksetujuan.
Nyai Galuh merasa tersinggung dengan kata-kata Edward, tapi dia mencoba untuk tetap tenang dan tidak menanggapi sinisme Edward.
Edwin, yang memperhatikan percakapan antara Edward dan Nyai Galuh, merasa tidak nyaman dan mencoba untuk mencairkan suasana. "Edward, anakku, mari kita bicara baik-baik," kata Edwin dengan nada menenangkan.
Edwin mencoba untuk mengubah topik pembicaraan dan mengalihkan perhatian dari situasi yang tegang. "Edward, bagaimana perjalananmu ke Jawa? Apakah semuanya lancar?" tanya Edwin dengan nada yang ramah.
Edward menarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk menahan perasaannya. "Ya, Papi. Perjalanan saya lancar," jawab Edward singkat, masih dengan nada yang dingin. Merry, yang memperhatikan suasana yang tegang, mencoba untuk mencairkan suasana dengan berbicara tentang hal-hal yang ringan.
Kamini memasuki ruang makan dengan membawa nampan besar yang berisi hidangan lezat. "Mohon maaf, saya sajikan makanan sekarang," kata Kamini dengan sopan. Semua orang memandang ke arah Kamini dan menyambut hidangan yang disajikan.
"Terima kasih, Kamini," kata nyai Galuh dengan senyum. Kamini membungkuk sedikit dan mulai menyajikan makanan ke piring-piring.
Edward memperhatikan Kamini dengan sekilas, lalu kembali menatap makanan yang disajikan. Bau harum makanan memenuhi ruangan, membuat perutnya lapar.
"Mulai makanlah, anakku," kata Edwin sambil mengambil sendok dan garpu.
Edward memperhatikan Nyai Galuh yang menggunakan sendok dan garpu dengan cara yang elegan dan sopan, dan untuk sesaat, dia lupa bahwa wanita ini adalah gundik ayahnya. Tatapan Edward terpaku pada Nyai Galuh, dan dia merasa sedikit terkejut dengan dirinya sendiri karena bisa melihat sisi lain dari wanita itu. Namun, dia segera mengalihkan pandangannya, tidak ingin memperlihatkan kelemahannya di depan orang lain. "Tidak seharusnya aku terkesan dengan hal seperti itu," pikir Edward dalam hati, mencoba untuk mengembalikan dirinya ke jalur yang seharusnya.
Setelah makan, Nyai Galuh membantu membersihkan meja dan membereskan sisa makanan bersama Kamini. Awalnya, Edward sedikit kaget melihat Nyai Galuh membantu, tapi dia tidak mengatakan apa-apa dan membiarkannya melakukan tugasnya.
Wilda tersenyum melihat Edward dan merasa lega bahwa putranya bisa menyesuaikan diri dengan baik di rumah itu. Sementara itu, Edwin menikmati suasana yang lebih santai setelah makan malam.
"Edward, bagaimana tugasmu di tanah Jawa ini ?" tanya Edwin memulai percakapan.
"Aku bertugas sebagai asisten residen, Papi."
"Asisten residen ? Itu bagus sekali. Apakah kamu sudah terbiasa dengan pekerjaan administratif dan menjadi penghubung antara residen dan masyarakat?"
"Sudah cukup terbiasa, Papi. Tapi aku masih harus banyak belajar tentang kebijakan pemerintah dan bagaimana menanganinya dengan baik." jawab Edward.
"Itu bagus. Pengalaman ini akan sangat berharga bagimu di masa depan. Papi percaya kamu bisa melakukannya dengan baik."
Nyai Galuh berjalan dengan anggun dan tenang, melintasi ruang tamu di mana keluarga tersebut sedang berbincang. Pandangan mata Edward secara tidak sengaja bertemu dengan Nyai Galuh sejenak, sebelum dia kembali fokus pada percakapan dengan ayahnya.
Edwin tersenyum ramah melihat Nyai Galuh yang tampak sopan dan elegan dalam penampilannya. " Nyai Galuh, apa kamu butuh sesuatu?" tanya Edwin.
"Tidak, Tuan. Saya hanya akan berkunjung ke rumah Sarinah," jawab Nyai Galuh dengan lembut sebelum melanjutkan langkahnya.
"Tapi ini sudah malam, Nyai."
" Tidak apa-apa, Tuan. Saya akan berhati-hati." jawab Nyai Galuh dengan sopan, sambil menunduk sedikit sebagai tanda hormat.
"Kalau begitu biarkan Edward yang akan mengantarmu."
"Tidak perlu, Tuan. Jalan ke rumah Sarinah tidak terlalu jauh, dan saya sudah terbiasa berjalan sendirian di malam hari," kata Nyai Galuh dengan suara yang lembut namun tegas mencoba menolak tawaran tersebut, sambil tersenyum untuk meyakinkan Edward.
"Ya, Papi, aku harus menyiapkan pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini. Tidak bisa ditunda," kata Edward sambil mengalihkan pandangan dari Nyai Galuh ke ayahnya, berharap ayahnya memahami alasannya.
"Baiklah, kalau begitu hati - hati Nyai Galuh. Jangan lupa untuk segera pulang," kata Edwin sambil mengangguk mengizinkan.
"Baik, Tuan," jawab Nyai Galuh dengan sopan sebelum pamit dan meninggalkan rumah.
Edward menatap Nyai Galuh yang berjalan menjauh, ekspresi wajahnya tidak terbaca. Ia tampaknya sedang memikirkan sesuatu, mungkin tentang tugas yang harus diselesaikan atau mungkin tentang Nyai Galuh sendiri. Setelah beberapa saat, Edward mengalihkan pandangannya lalu berjalan meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya.
Di dalam kamar.
Edward tidak bisa tidak memperhatikan penampilan Nyai Galuh yang anggun dan sopan. Rambutnya yang tersanggul terlihat terawat dengan baik. Wajahnya yang cantik dengan senyum lembut menambah kesan elegan pada keseluruhan penampilannya. Kain kebaya yang dikenakannya tampak pas di tubuhnya, menonjolkan kecantikan alaminya. Meskipun penampilannya sederhana dan berisi, Nyai Galuh memancarkan aura kecantikan dan kepercayaan diri yang membuat Edward tidak bisa mengalihkan pandangannya. Ia jadi tidak fokus pada pekerjaannya. "Apa yang sedang aku pikirkan, ingat, wanita itu seorang Gundik." bisik Edward memperingatkan dirinya.
Edward merasa sedikit gelisah, pikirannya terus kembali pada Nyai Galuh. Ia tidak bisa menjelaskan mengapa, tapi ada sesuatu tentang senyum lembut dan tatapan sopan Nyai Galuh yang terus terngiang di pikirannya. Ia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, tapi bayangan Nyai Galuh terus menghantuinya. "Apa yang sedang terjadi padaku?" batin Edward, merasa sedikit bingung dengan perasaannya sendiri.