Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran yang Terlarang
Jam dinding menunjuk hampir pukul sepuluh malam. Amara duduk sendirian di ruang kerjanya, menatap kosong ke foto buram dari Fai. Dia membalik lembar foto itu, tertulis : Kayan Mentarang, 4 Desember 1993
“Amara & Fai
Jika suatu hari kau ragu pada dirimu sendiri...ingatlah ini, aku bangga padamu.”
—Ayah, Ardan Malik
Amara menatap kosong catatan itu. “ Ini bukan lelucon kan?!” gumamnya lirih sambil tersenyum sendu.
Pintu ruangannya tiba-tiba diketuk.
“Amara,” suara Letnan Surya, rekan satu divisinya. “Kau masih di sini? Sudah larut.”
Amara buru-buru menyembunyikan foto itu. “Ya, aku sebentar lagi pulang.”
Namun Surya tidak langsung pergi. Ia melangkah masuk dengan wajah cemas. “Kau sudah dengar kabar terbaru?”
Amara menggeleng. “Kabar apa?”
Surya menelan ludah, lalu menatapnya serius. “Riko… dia mati di dalam sel malam ini.”
Mata Amara membulat. “Apa?”
“Ditemukan gantung diri.” Surya menekankan kata-kata itu. “Setidaknya, itulah yang dilaporkan penjaga penjara.”
Amara langsung berdiri. “Itu tidak mungkin. Jelas - jelas dia masih mau hidup. Apalagi…” suaranya tercekat, ingatannya kembali ke interogasi terakhir bersama Riko.
Riko berusaha membayar hutang dengan cara apapun agar dia tidak di bunuh, itu saja sudah menjadi alasan kuat kenapa seharusnya dia tidak mungkin bunuh diri. Bagaimana mungkin setelah semua ini dia justru mengakhiri hidupnya.
Amara menatap Surya dengan sorot penuh curiga. “Dia dibunuh?”
Surya menghela napas. “Ah..aku tidak berani ambil kesimpulan. Tapi sejujurnya..aku juga merasa begitu. Karena.." Surya terdiam beberapa detik, sedikit ragu. "Dari hasil forensik bukan gantung diri, lebih seperti dijerat. Ditambah lagi dia justru bunuh diri setelah isterinya datang menjenguk. Terlalu kebetulan, bukan?”
Dahi Amara berkerut, ”Apa mereka bertengkar?”
Surya menggeleng. ”Tidak.. mereka tampak bahagia ketika bertemu. Setelah tahu suaminya meninggal pun isterinya menangis tersedu-sedu. Mana ada orang yang mau bunuh diri kalau punya semangat hidup begitu.”
Kepala Amara berdenyut. Setiap hal yang menyangkut kasus ini hilang begitu saja, membuat pikirannya semakin kusut.
“Di mana jenazahnya?” tanya Amara cepat.
“Masih di ruang forensik. Tapi jangan harap kau bisa mengaksesnya dengan mudah. Perintah sudah turun, kasus ditutup sebagai bunuh diri.”
Amara mengepalkan tangan. “Itu perintah siapa?”
Surya menunduk, lalu berbisik pelan, “Alfian.”
Amara menahan napas panjang saat mendengar nama itu. Rasanya dunia berputar, jantungnya menghantam dada. Ia berlari ke ruang forensik. Beberapa polisi yang berjaga mencoba menghalangi, tetapi ia menunjukkan kartu identitasnya dengan wajah tegas.
“Aku punya hak memeriksa. Jangan halangi aku.” Amara menerobos penjaga itu.
Pintu ruang dingin itu berderit saat ia dorong. Aroma formalin menusuk hidung. Di atas meja baja, terbaring jenazah Riko dengan wajah dan leher yang berwarna keunguan gelap. Tubuhnya pucat, ujung jari Riko terlihat lebih gelap dibanding bagian lainnya, ada bekas merah di leher seolah tercekik. Tapi Amara bukan orang awam. Ia melihat lebih dekat. Memar pada leher terlihat melingkar penuh, dan lecet serta goresan kuku tanda perlawanan meyakinkan Amara, ini adalah pembunuhan.
Amara melangkah masuk ke ruang kerja Alfian. Lampu gantung redup, hanya ada cahaya meja yang menerangi wajah lelaki itu. Ia tampak tenang, sedang menulis laporan.
“Komandan, ada yang ingin aku bicarakan.” Suara Amara terdengar dingin, menahan amarah.
Alfian berhenti menulis, lalu mengangkat pandangan. “Kau datang, beberapa hari ini aku terus mencari mu. Sepertinya kau sibuk dengan hal lain di luar kantor?”
Amara tak basa-basi, tak juga menjawab Alfian. “Mengapa kau menutup kematian Riko sebagai bunuh diri? Aku baru saja dari ruang forensik. Luka-luka itu jelas pembunuhan.”
Alfian meletakkan pulpen, bersandar di kursi. “Kau tidak akan suka jawabannya.”
“Coba saja.”
Tatapan Alfian menusuk, suaranya datar tapi dalam.
“Karena kalau aku buka sebagai pembunuhan, itu artinya aku harus membuka siapa yang bisa membunuh seorang tahanan di dalam sel polisi. Dan kalau kau jujur pada dirimu, kau sudah tahu jawabannya.”
Amara tertegun.
Alfian melanjutkan, lebih pelan. “Orang luar tidak bisa semudah itu masuk ke sel tahanan. Itu artinya… ada orang dalam. Polisi. Mungkin bukan satu, tapi lebih dari satu. Kalau aku bongkar ini, artinya aku menuduh rekan kita sendiri. Apa kau siap melihat kantor kita hancur dari dalam? Skandal sebesar itu akan merobek kepercayaan publik, menghancurkan divisi, dan mungkin menutup semua operasi kita yang lain.”
Amara menegang. Ia tahu logika itu masuk akal, tapi rasanya seperti menelan racun.
“Apa maksud komandan… lebih baik membiarkan pembunuh berkeliaran… hanya demi menjaga nama baik?”
Alfian menatapnya lurus. “Bukan sekadar nama baik. Ini soal stabilitas. Sekali publik tahu masalah ini, siapa yang akan percaya pada kita lagi? Semua misi kita akan gagal, bahkan sebelum dimulai.”
Amara mengepalkan tangan. "Bukankah itu cara yang pengecut?”
Alfian berdiri, mendekat, menatapnya lebih dekat hingga hanya satu langkah memisahkan mereka. “Tidak. Itu realita. Kadang, demi menyelamatkan ratusan, kita harus mengorbankan satu kebenaran. Kau pikir aku suka ini? Tidak. Tapi jika aku biarkan, seluruh jaringan besar yang kita buru akan lolos, hanya karena publik sibuk mencaci polisi yang korup. Apa kau mau itu terjadi?”
Ruangan seakan membeku. Amara tak bisa menjawab. Kata-kata Alfian memang kejam, tapi ia tak bisa menyangkalnya.
Alfian menepuk bahunya pelan, suaranya melembut. “Percayalah, Amara. Ada saatnya kebenaran harus menunggu… demi sesuatu yang lebih besar.”
Amara menundukkan kepala sejenak, mengumpulkan keberanian.
“Kalau begitu… aku akan cari cara sendiri,” gumamnya pelan.
Alfian diam, matanya menatap tajam ke arah Amara.
Ia lalu mengangguk pelan, tidak lagi memaksa. “Baik. Tapi jangan lupa… dalam perang ini, kepercayaan adalah senjata yang paling berbahaya. Sebaiknya kau memilih siapa yang bisa kau percayai, Amara. Karena kalau kau salah langkah..” Alfian berhenti sejenak, " Taruhanmu kali ini bukan hanya nyawamu.”
sungguh polisi masa gthu sih....
semangat.....