Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.
Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duka
Langit sore tampak mendung, seolah ikut berduka. Udara di pemakaman terasa berat, angin bertiup pelan membawa aroma tanah basah yang baru digali.
Di tepi pusara, Cantika berdiri mematung. Wajahnya pucat, mata sembab, dan tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Ia tak lagi mampu menahan tangis ketika melihat jasad ibunya perlahan diturunkan ke dalam liang lahat.
“Pelan-pelan, ya...” suara salah satu penggali makam terdengar samar.
Namun bagi Cantika, semua suara di sekelilingnya terasa jauh. Yang ia dengar hanya gema kalimat terakhir ibunya sebelum jatuh pingsan di rumah.
"Lebih baik ibu mati daripada harus merasa bersalah pada kamu seumur hidup..."
Deghh...
Kalimat itu menusuk dadanya seperti belati.
“Bu... maafin Tika, Bu...”
Cantika berlutut, tangannya gemetar menabur bunga di atas tanah merah yang masih lembap. Air matanya jatuh membasahi kelopak bunga yang ia genggam.
“Tika cuma pengen ibu sembuh... pengen liat ibu bahagia... tapi malah nyakitin...” suaranya bergetar, penuh sesal.
Beberapa orang tetangga ikut menunduk haru, beberapa lagi mengusap air mata. Seorang ibu-ibu menepuk pelan bahu Cantika, namun gadis itu hanya diam, tatapannya kosong menembus tanah yang kini memisahkannya dengan satu-satunya orang yang ia punya.
Ketika doa tahlil selesai dibacakan, semua orang perlahan meninggalkan area makam. Hanya Cantika yang masih duduk di sana, diam tanpa suara.
Angin sore meniup rambutnya yang terurai, membuat helaian kecil menempel di wajahnya yang basah oleh air mata.
Ibu sekarang udah gak sakit lagi, ya... tapi sekarang Tika yang sakit, Bu... Hiksss... Tika sekarang gak punya teman cerita lagi... Tika sendiri, Bu..."
Suara Cantika bergetar di antara isaknya. Tatapannya berpindah ke dua makam yang berdampingan — makam ayah dan ibu. Air matanya kembali jatuh, seolah tak ada habisnya.
" Hikkss... Bu..."
" Asal ibu tahu, semua yang Tika lakukan selama ini cuma buat ibu. Tika cuma pengin ibu bahagia, Bu... Tika cuma pengin ibu tetap di samping Tika..."
Ia menarik napas panjang, namun yang terasa justru sesak di dada.
" Ibu gak usah ngerasa bersalah, Bu... semua ini Tika ikhlas lakuin, karena itu tanda bakti Tika buat ibu..."
Semuanya terasa seperti mimpi yang terlalu kejam. Dalam sekejap, sosok yang paling berarti baginya pergi tanpa pamit.
Tatapan Cantika mengeras. Tangannya mengepal, bibirnya bergetar menahan amarah saat bayangan wajah Sindi melintas di kepalanya.
" Dia gak pernah puas lihat hidup aku tenang... Semua ini gara-gara dia..." bisiknya parau, penuh dendam.
Namun sebelum amarah itu meluap, sebuah sentuhan lembut menyentuh pundaknya.
" Tika sayang... kamu yang sabar, ya..."
Suara itu membuat Cantika menoleh. Oma Zoya berdiri di sana, diikuti Albert di belakangnya.
Cantika membalas pelukan hangat dari wanita paruh baya itu, pelukan yang begitu menenangkan, seolah memeluk sosok ibunya sendiri.
Di belakang Oma Zoya, Albert berdiri dengan sorot mata sendu. Ia menatap Cantika penuh iba; bagaimanapun, ia tahu betul rasanya kehilangan seorang ibu. Melihat gadis itu kini menanggung kesedihan serupa membuat hatinya ikut teriris.
" Kamu harus kuat, ya, Nak. Ada Oma di sini yang boleh kamu anggap sebagai ibu kandungmu," ucap Oma Zoya lembut sambil mengusap punggung Cantika.
Cantika hanya mengangguk pelan. Air matanya mengalir tanpa bisa dibendung, menetes di bahu Oma Zoya.
" Makasih, Oma..." bisiknya lirih.
Albert mendekat, lalu dengan hati-hati mengusap punggung Cantika.
" Kamu wanita yang hebat, Tika. Aku yakin kamu bisa melewati ujian ini," katanya pelan, suaranya penuh ketulusan.
Mata Cantika perlahan menatap ke arah Albert, laki-laki tampan yang pernah berjasa besar dalam hidupnya. Orang yang menyelamatkan lembar jawaban olimpiadenya, sekaligus... kekasih pura-pura yang entah kenapa laki-laki itu selalu berada di sekeliling Cantika.
**
Di lain tempat, tepatnya di kediaman Pak Pramono, suasana sore itu tampak tenang. Namun di ruang televisi, dua perempuan tengah larut dalam percakapan yang beraroma licik.
" Kamu tahu, Sin? Ibu-nya Cantika tadi meninggal," ucap Aira santai sambil menatap layar televisi yang menyala tanpa suara.
Sindi spontan menoleh, alisnya terangkat. “Apa? Meninggal? Wah... karna apa?” tanyanya, namun sudut bibirnya justru membentuk senyum miring.
Aira menyandarkan tubuhnya di sofa, terkekeh pelan. “Kata dokter Arkana, beliau kena serangan jantung. Mungkin karena kamu kemarin sudah membongkar rahasia Cantika.”
Sindi terkekeh, matanya berkilat penuh kepuasan. “Haha... makanya jangan cari masalah sama aku. Tuh, tahu rasa kan dia sekarang.”
Aira ikut tertawa, tapi tawa itu mengandung nada iri dan dendam. Ia menatap kosong ke arah jendela, lalu berucap pelan namun penuh tekad, “Sekarang tinggal cari cara supaya Arkana menjauh dari perempuan itu.”
Matanya menatap tajam, suaranya menurun satu oktaf.
**
Di rumah sakit, suasana sore terasa begitu sibuk. Suara langkah kaki petugas, dering telepon, dan aroma obat-obatan bercampur menjadi satu.
Di ruang praktiknya, Arkana duduk dengan wajah gelisah. Sejak pagi, pikirannya tidak tenang. Ia belum sempat datang ke rumah Cantika untuk menyampaikan belasungkawa, padahal kabar kepergian Bu Hasna terus menghantui pikirannya.
“Sus, pasien masih banyak?” tanyanya, menatap sekilas ke arah perawat yang sedang memeriksa berkas.
Perawat itu menoleh, lalu menjawab pelan, “Masih ada sepuluh orang lagi, Dok.”
Arkana terdiam sesaat. Nafasnya terhembus berat.
“Sepuluh orang lagi...” gumamnya lirih, menatap kalender di meja yang seakan menertawakan waktunya yang tak pernah cukup.
Ia memejamkan mata sebentar, lalu bersandar di kursi. Ingin rasanya beranjak dan datang ke rumah Cantika, setidaknya untuk sekadar memberi kekuatan. Tapi tanggung jawabnya terlalu besar; terlalu banyak orang yang bergantung padanya.
“Ya sudah, langsung panggil pasien selanjutnya. Saya ada urusan sebentar lagi.”
Suaranya terdengar datar, namun sorot matanya menyiratkan kelelahan dan penyesalan yang dalam.
Perawat itu mengangguk, lalu keluar untuk memanggil pasien berikutnya, sementara Arkana menatap kosong ke arah pintu, membayangkan wajah Cantika yang kini berduka tanpa ada dirinya di sampingnya.
Pasien demi pasien Arkana tangani dengan penuh kesabaran. Setiap langkahnya menunjukkan profesionalitas yang tak terbantahkan, meski lelah mulai tampak di wajahnya.
Tangannya yang cekatan terus bekerja, memastikan setiap pasien mendapatkan penanganan terbaik.
Sesekali ia menatap jam di dinding, berharap waktu berjalan lebih cepat agar ia bisa segera pergi. Namun rasa tanggung jawab membuatnya tetap bertahan di ruangan itu.
Di balik sikap tenangnya, ada kegelisahan yang tak bisa disembunyikan, bayangan wajah Cantika terus menari di benaknya, membuat dada Arkana terasa sesak.
Setelah hampir tiga jam berlalu, akhirnya pasien terakhir keluar dari ruang periksa. Arkana melepas masker medisnya, lalu menatap ke arah pintu dengan tatapan kosong.
Napasnya berat, bukan karena lelah fisik, tapi karena batin yang terasa sesak.
Tanpa berpikir panjang, ia segera menandatangani beberapa berkas, menyerahkannya pada perawat, lalu berjalan cepat menuju parkiran.
Langkahnya berat namun tergesa, seolah ada sesuatu yang sangat penting menunggunya.
Begitu sampai di mobil, ia menyalakan mesin dan melaju menembus senja yang mulai turun.
“Semoga aku masih sempat,” gumamnya pelan, suara itu tenggelam bersama deru mesin mobil yang semakin menjauh.
Tak butuh waktu lama, ia akhirnya tiba di depan rumah Cantika.
Di depan rumah sederhana milik Cantika, arkana yang masih berada di dalam mobil. matanya menangkap sosok seorang laki-laki tampan yang duduk membelakangi arah datangnya. Bahunya bidang, posturnya tegap, dan dari gesturnya terlihat ia seseorang yang berwibawa.
Namun Arkana tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Di sisi lain, tampak seorang wanita paruh baya sedang berbicara lembut dengan Cantika. Wajah Cantika masih sembab, matanya bengkak karena terlalu lama menangis.
Arkana mematung di tempatnya, hatinya merasa penasaran melihat pemandangan itu.
“Siapa laki-laki itu?” batinnya berbisik lirih, ada nada tak nyaman di suaranya.