NovelToon NovelToon
SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / Cinta setelah menikah / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:457
Nilai: 5
Nama Author: Efi Lutfiah

Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.

Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

perasaan campur aduk

Malam itu terasa begitu hampa.

Cantika duduk termenung di meja belajarnya, menatap tumpukan buku yang sejak tadi ia pelajari dari semester satu sampai tujuh. Kampusnya sedang mengadakan olimpiade, dan hadiah utamanya adalah beasiswa S2. Sebuah kesempatan emas yang mungkin hanya datang sekali dalam hidupnya.

Ia sadar, semakin tinggi pendidikan, semakin besar juga biaya yang harus dikeluarkan. Sedangkan dirinya bukan dari keluarga berada.

Pekerjaannya sekarang memang menghasilkan uang, tapi Cantika tahu pekerjaan itu tak akan selamanya bisa ia andalkan. Apalagi posisi yang ia jalani sekarang, seorang LC, pekerjaan yang membuatnya terus merasa bersalah setiap kali melihat wajah ibunya.

“Pokoknya aku gak boleh terus-terusan di jalan ini,” ucap Cantika pelan sambil menatap tangannya yang sedikit bergetar. “Aku harus bangkit. Harus punya usaha sendiri. Aku gak mau ibu terus makan uang haram.”

Air mata menetes tanpa ia sadari. Satu tetes jatuh ke atas buku yang terbuka. Ia segera menghapusnya, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan seolah mencoba menenangkan badai di dadanya.

“Cantika, kamu gak boleh lemah, oke?” katanya lagi pada diri sendiri dengan suara serak. “Mulai sekarang, buang jauh-jauh kesedihan. Sekarang bukan waktunya buat nyerah. Kamu harus kuat… demi ibu.”

Kalimat itu selalu jadi pengingatnya setiap kali semangatnya mulai goyah.

Baginya, ibu bukan hanya tempat pulang, tapi juga alasan terbesar kenapa ia harus terus bertahan, meski dunia sering terasa tidak adil.

Tok tok tok…

Suara ketukan di pintu membuat Cantika langsung tersadar dari lamunannya. Ia buru-buru menghapus air mata yang masih menempel di pipi, mencoba menata wajahnya agar tampak tenang. Dengan langkah pelan, ia membuka pintu.

“Ibu…” ucap Cantika, berusaha tersenyum seolah tak terjadi apa-apa.

Bu Hasna menatap wajah anaknya dengan lembut. “Kamu lagi sibuk, Nak?”

“Nggak, Bu. Tika cuma lagi baca-baca materi buat olimpiade besok. Emangnya kenapa, Bu?” jawabnya sambil menutup buku di meja.

“Ini, ada dokter Arkana di depan,” kata Bu Hasna perlahan.

Cantika terdiam. Entah kenapa, setiap kali mendengar nama itu, selalu ada rasa bersalah yang menekan dadanya.

“Nak,” panggil Bu Hasna lembut, menyadarkan Cantika dari lamunannya.

“Ah, iya Bu,” sahutnya cepat.

“Kamu kok malah bengong? Capek ya?” tanya sang ibu dengan wajah khawatir.

Cantika buru-buru tersenyum, berusaha menutupi perasaan yang sebenarnya.

“Nggak kok, Bu. Tika cuma lagi nginget-nginget persyaratan yang belum dikumpulin buat besok,” bohongnya pelan.

Bu Hasna mengangguk pelan. “Ya udah, kamu temui dulu dokter Arkana, kasian dia nungguin lama di depan.”

Cantika menelan ludah, hatinya berdebar. “Iya Bu, Tika ganti baju dulu bentar ya.”

“Iya, Ibu tunggu di depan,” jawab Bu Hasna sebelum beranjak pergi.

Begitu pintu tertutup, Cantika langsung menghela napas panjang.

Ia melangkah ke lemari, membuka pintunya perlahan. Pandangannya tertuju pada deretan pakaian yang tergantung di sana. Saat menatap piyama yang sedang ia kenakan, pakaian tipis sebatas paha, ia menggeleng kecil.

“Gak mungkin aku keluar pakai ini,” gumamnya lirih sambil menarik satu dress sederhana berwarna krem.

Ia menatap bayangan dirinya di cermin, mencoba menenangkan hati yang tiba-tiba berdegup cepat.

Cantika keluar dengan senyum khasnya, berusaha menutupi rasa gugup yang sedari tadi ia tahan. Ia melangkah ke ruang tamu, tempat dokter Arkana sedang duduk bersama ibunya.

“Maaf, aku ganggu ya?” sapa Arkana sambil tersenyum hangat.

“Nggak kok, dok,” jawab Cantika cepat sambil duduk di samping ibunya.

Bu Hasna memandangi mereka berdua dengan tatapan penuh arti, sementara Arkana menatap Cantika dengan lembut.

“Kata Ibu kamu mau ikut olimpiade besok?” tanyanya.

Cantika mengangguk mantap. “Iya, dok. Doain aja semoga lancar.”

“Wah, bagus dong,” puji Arkana. “Semangat ya, aku yakin kamu bisa dapet beasiswa S2 itu.”

Cantika tersenyum malu, pipinya sedikit memerah. “Amin, makasih, dok. Doanya aja udah bikin semangat.”

“Harus dong,” balas Arkana sambil tersenyum tipis. “Aku tahu kamu orangnya tekun. Jadi jangan ragu sama diri sendiri."

Mereka berdua larut dalam obrolan ringan tentang olimpiade.

Arkana tampak antusias mendengarkan setiap penjelasan Cantika tentang persiapan yang sedang ia lakukan. Sesekali tawa kecil terdengar di antara mereka, membuat suasana ruang tamu terasa hangat dan nyaman.

Hingga akhirnya, Bu Hasna mengeluarkan suaranya.

“Kalian lanjut ngobrol aja, ya. Ibu mau ke kamar dulu, soalnya gak kuat kalau kelamaan duduk,” ucapnya sambil memegangi pinggangnya pelan.

“Iyah, Bu. Apa perlu Tika antar?” tanya Cantika refleks.

“Gak usah, ibu kuat kok,” jawab Bu Hasna terkekeh kecil sebelum beranjak pergi.

Cantika tersenyum, memperhatikan langkah ibunya yang perlahan menuju kamar. Begitu sosok itu menghilang di balik pintu, suasana mendadak menjadi sedikit canggung.

Hanya tersisa Cantika dan Arkana di ruang tamu yang kini terasa begitu hening.

“ Tika, kamu tahu gak? Mamah aku tuh antusias banget waktu aku cerita tentang kamu. Katanya, mamah gak sabar pengen ketemu langsung sama kamu,” ujar Arkana membuka percakapan dengan senyum hangat.

“Oh ya?” Cantika ikut tersenyum, tapi senyum itu terasa dipaksakan. Dalam hatinya, justru ada badai yang tak bisa ia redam.

"Ya Allah… aku harus gimana? Apa aku harus jujur sekarang, kalau aku cuma seorang gadis malam?" batin Cantika.

" Tapi… kalau Arkana tahu, apa dia bakal kecewa? Apa dia bakal menjauh "

Hatinya terasa sesak. Rasa bersalah dan takut bercampur menjadi satu. Bohong kalau ia bilang tak punya perasaan pada Arkana, pria yang baik, perhatian, dan begitu tulus. Lelaki yang banyak diidamkan wanita lain, tapi justru datang padanya.

“Dia senang banget waktu tahu aku dekat sama cewek sebaik kamu, Tika,” lanjut Arkana dengan tulus.

Cantika hanya diam. Tangannya mulai berkeringat dingin, meremas ujung dress yang ia kenakan. Napasnya naik-turun tak beraturan.

"Kayaknya gak ada jalan lain. Aku harus ngomong jujur sekarang juga," batinnya yakin.

“Emm, dok… boleh aku bicara sebentar?” tanyanya dengan suara ragu.

Arkana menatapnya penasaran. “Soal apa?”

“Se… sebenarnya aku…”

Arkana mulai serius. Tatapannya fokus pada Cantika.

“Aku…” bibir Cantika terasa kelu, suaranya bergetar.

“Iya, Cantika? Kenapa?” tanya Arkana lembut.

“Sebenarnya aku a—”

Drrtttt…

Suara getar ponsel tiba-tiba memotong kalimatnya.

“Bentar ya, Tika. Saya angkat dulu.” Arkana mengambil ponselnya.

“Hallo? Apa darurat? Baik, saya segera ke sana.”

Setelah menutup panggilan, Arkana menatap Cantika dengan ekspresi menyesal.

“Cantika, maaf banget. Kayaknya aku harus ke rumah sakit sekarang, ada pasien darurat.”

“I-iyah, dok…” jawab Cantika pelan.

Arkana langsung berdiri, pamit dengan cepat, lalu pergi.

Begitu pintu tertutup, Cantika menatap kosong ke arah yang baru saja ditinggalkan lelaki itu.

Ia menutup matanya, menggigit bibir menahan perasaan yang campur aduk.

“Ahhh… padahal tinggal sebentar lagi…” gumamnya lirih.

Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa, menatap langit-langit rumah sambil menarik napas berat.

Malam itu, rasa lega dan sesak bercampur menjadi satu, karena rahasia yang seharusnya terungkap, kembali tertunda.

1
menderita karena kmu
Ceritanya seru banget, jangan biarkan aku dilema menanti update 😭
evi evi: haha,,, siap kakak😀🤗
total 1 replies
Rukawasfound
Ceritanya keren, teruslah menulis thor!
evi evi: Terimakasih sudah mampir di cerita ku kk🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!