Menginjak usia 20 tahun Arabella zivana Edward telah melalui satu malam yang kelam bersama pria asing yang tidak di kenal nya,semua itu terjadi akibat jebakan yang di buat saudara tiri dan ibu tirinya, namun siapa sangka pria asing yang menghabiskan malam dengan nya adalah seorang CEO paling kaya di kota tempat tinggal mereka. Akibat dari kesalahan itu, secara diam-diam Arabella melahirkan tiga orang anak kembar dari CEO tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda wistia fitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Siang itu langit San Francisco tampak berat dan kelabu.
Gedung Opulent Holding berdiri megah, tapi suasana di dalamnya jauh dari kata stabil.
Ruang rapat utama sunyi.
Para petinggi duduk dengan wajah tegang di hadapan Julian Edward yang menatap layar besar grafik saham merah merosot tajam hingga 37% dalam dua hari.
“Semua investor menarik diri"
ucap salah satu direktur dengan suara gemetar.
“Kerja sama dengan Alexander Corporation juga dibatalkan tanpa pemberitahuan lebih dulu.”
Julian membanting pena di tangannya, wajahnya merah padam.
“Sialan! Mereka pikir bisa menekan aku seenaknya?!”
Catherine yang duduk di sisi kanan menatapnya kesal tapi juga ketakutan.
“Aku sudah pernah bilang, jangan biarkan Arabella buka mulut. Sekarang lihat hasilnya, Julian.Semua orang tahu dia korban!”
Julian berbalik cepat, menatapnya dengan sorot mata tajam.
“Kau pikir aku mau ini terjadi?! Aku sudah membayar semua media untuk menutupi kasus itu! Tapi sialnya, dia punya bukti. Video, rekam medis, semuanya!”
Catherine bangkit dari kursinya.
“Kau seharusnya menghabisinya waktu kau punya kesempatan!”
Suara itu tajam seperti cambuk.
Beberapa direktur menunduk, pura-pura sibuk membuka berkas.
Julian mendekat, nada suaranya dingin.
“Jangan berpura-pura tak terlibat, Cath. Waktu aku mengurungnya di ruang bawah tanah, kau yang menyuruh orang-orang menjaga pintu. Kau yang berbisik di telingaku kalau kematian gadis itu akan menyelesaikan segalanya.”
Catherine membeku.
Tapi kemudian ia tertawa kecil pahit dan getir.
“Ya, aku yang mengatakannya. Karena aku tahu dia ancaman bagi kita semua. Lihat sekarang, aku salah... dia lebih berbahaya hidup daripada mati.”
Julian menatapnya lama.
“Dia bukan gadis lemah yang bisa kita buang seperti dulu. Dia kembali, dan dia membawa api.”
Catherine menatap layar di hadapan mereka gambar Arabella di konferensi pers dengan setelan merah maroon, penuh keberanian dan kebencian yang tidak padam.
Wajah Catherine mengeras.
“Kau mau tahu apa yang paling menyakitkan, Julian?” katanya lirih.
“Aku yang menyarankan agar dia dikurung, tapi ternyata aku sendiri yang membuka jalan untuk kehancuran kita.”
Julian menunduk, rahangnya mengeras.
“Kau pikir aku tidak tahu itu?”
Ia berjalan ke arah jendela besar, menatap kota di bawah yang penuh gemerlap, tapi baginya semua tampak gelap.
"Damian Alexander menarik semua sahamnya. Proyek Autumn Tower berhenti total. Kita kehilangan miliaran dolar.”
Catherine berdiri diam beberapa langkah di belakangnya.
“Apa yang akan kau lakukan sekarang?”
“Apa pun yang diperlukan,” jawab Julian pelan, tapi penuh tekanan.
“Kalau Arabella ingin perang… maka perang yang akan dia dapat.”
Hening sejenak.
Catherine menatap punggung pria itu,pria yang dulu begitu ia kagumi, kini terjebak dalam ambisi dan kesalahan masa lalu.
Tapi ia tahu, Julian tidak akan berhenti di sini.
“Kalau begitu,” katanya dengan nada dingin, “biarkan aku yang urus media. Sekali ini saja, biarkan aku bersih-bersih kekacauan yang kita buat.”
Julian menatapnya dari pantulan kaca, mata mereka bertemu dalam bayangan.
“Lakukan apa yang harus kau lakukan, Cath. Tapi kali ini... jangan gagal lagi.”
Malamnya, di Alexander Corporation, Nicholas menatap berita terbaru yang terpampang di layar besar ruang kerjanya.
Judul utama berbunyi:
“Opulent Holding Terancam Bangkrut Alexander Group Resmi Menarik Investasi.”
Darren yang berdiri di sampingnya menepuk pundaknya ringan.
“Julian pasti lagi lempar barang di kantornya sekarang.”
Xavier menyilangkan tangan di dada, menatap layar yang sama.
"Mereka panik. Tapi Arabella juga perlu dijaga. Catherine bukan tipe yang duduk diam setelah disudutkan.”
Nicholas mengangguk pelan.
Matanya menatap lurus ke layar, namun pikirannya jauh terarah pada sosok wanita yang kini berdiri sendirian melawan badai besar.
“Biar mereka mencoba nya” gumamnya rendah.
“Selama aku masih bernapas, tak seorang pun bisa menyentuh Arabella lagi.”
Cahaya dari layar memantul di wajahnya dingin, tegas, dan penuh tekad.
Perang keluarga baru saja dimulai.
***
Keesokan harinya, Nicholas berdiri di depan rumah bergaya klasik modern milik Arabella.
Rumah itu tampak megah namun tenang, dengan pilar-pilar putih dan taman kecil di depannya.
Dari balik pagar besi, terdengar tawa anak-anak tawa yang baru belakangan ini ia tahu berasal dari darah dagingnya sendiri.
Tangannya sedikit gemetar saat membawa beberapa kotak besar berisi mainan.
Leo sudah memberinya alamat itu pagi tadi, bersama pesan singkat “Hati-hati bicara. Dia masih belajar memaafkan.”
Begitu pintu terbuka, sosok Arabella muncul.
Rambutnya tergerai lembut, wajahnya dingin seperti biasa, tapi ada bayangan lelah di matanya.
Tatapan mereka bertemu hening sesaat terasa begitu panjang.
“Untuk apa kau datang, Nicholas?” suaranya datar, tanpa senyum.
“Aku hanya ingin… melihat mereka,” jawab Nicholas pelan.
Ia menunduk sebentar, lalu menambahkan, “Hari ini Minggu. Mereka libur sekolah, bukan?”
Arabella tidak menjawab, hanya bergeser memberi jalan.
Begitu Nicholas melangkah masuk, tawa kecil terdengar dari arah ruang keluarga.
Tiga anak kecil tengah bermain balok kayu di karpet besar.
Dimitry menatapnya tajam sama seperti tatapan Arabella dulu setiap kali tersakiti.
Michael berdiri di samping adiknya, wajahnya kaku dan waspada.
Namun Michelle... gadis kecil itu langsung berlari.
“Papa!” serunya ceria, tanpa ragu melompat ke pelukan Nicholas.
Ia melingkarkan tangan mungilnya di leher ayahnya, mencium pipinya berulang-ulang.
Nicholas tertegun. Dunia di sekitarnya seakan berhenti berputar.
Hati yang selama ini dingin dan penuh rasa bersalah, tiba-tiba terasa hangat.
Suara tawa Michelle menggema lembut, menembus dinding luka di dadanya.
Sementara itu, Arabella hanya berdiri di ambang pintu diam, namun matanya menatap setiap gerakan mereka dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
Sebagian dari dirinya ingin mengusir Nicholas pergi. Tapi sebagian lain, yang lebih lembut, hanya diam melihat bagaimana Michelle tersenyum untuk pertama kalinya begitu tulus.
Nicholas menatap Arabella.
“Aku tidak datang untuk memaksamu,” katanya perlahan.
“Tapi aku ingin meminta satu hal... biarkan mereka datang bersamaku, bertemu kakek buyut mereka. kakek Damian ingin melihat cucu-cucunya, Bella.”
Tatapan Arabella menajam. “Kau pikir aku akan percaya semudah itu? Setelah semua yang terjadi?”
Nicholas menunduk sejenak, menahan nada suaranya agar tidak bergetar.
“Untuk kali ini saja... percayalah padaku, Bella. Biar bagaimanapun, mereka anak-anakku juga. Ada darah keluarga Alexander yang mengalir di tubuh mereka.”
Keheningan menyelimuti ruang tamu.
Michelle memegang tangan Nicholas erat-erat, sementara Dimitry dan Michael hanya saling pandang, seolah menunggu keputusan ibunya.
Akhirnya Arabella menarik napas panjang.
Wajahnya masih keras, tapi suaranya melembut.
“Baiklah. Tapi hanya kali ini, Nicholas. Kalau ada satu hal saja yang membuat anak-anak ku terluka... aku sendiri yang akan menghapus nama Alexander dari hidup mereka.”
Nicholas mengangguk perlahan. “Aku janji.”
Untuk pertama kalinya, senyum tipis muncul di wajah Arabella samar, namun nyata.
Mungkin itu bukan maaf, tapi setidaknya... awal dari sesuatu yang bisa disebut kesempatan kedua
bella terima nicholas ya