Maura seorang asisten pribadi, mendapati dirinya terperangkap dalam hubungan rumit dengan atasannya, Marvel-seorang CEO muda yang ambisius dan obsesif. Ketika Marvel menunjukkan obsesi terhadap dirinya, Maura terperangkap dalam hubungan terlarang yang membuatnya dihadapkan pada dilema besar.
Masalah semakin pelik ketika Marvel, yang berencana bertunangan dengan kekasihnya, tetap enggan melepaskan Maura dari hidupnya. Di tengah tekanan ini, Maura harus berjuang mempertahankan batas antara pekerjaan dan perasaan, sekaligus meyakinkan keluarganya bahwa hubungannya dengan Marvel hanyalah sebatas atasan dan bawahan.
Namun, seberapa lama Maura mampu bertahan di tengah hasrat, penyesalan, dan rahasia yang membayangi hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oveleaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Setelah membantu ayahnya membereskan barang-barangnya yang akan dibawa besok, Maura pergi ke kamarnya untuk tidur. Beruntung tidak banyak pakaian yang sebelumnya ia tinggalkan di rumah kontrakan itu. Jadi, ia hanya membutuhkan satu koper kecil untuk membawanya.
Karena kelelahan ia terlelap sangat nyenyak hingga tidak menyadari seseorang menyelinap ke kamarnya pada tengah malam. Orang itu berbaring di ranjang dan memeluk Maura dari belakang. Tangan besarnya dengan perlahan menyusup ke bawah baju tidur wanita itu, mengusap pelan permukaan kulitnya yang lembut.
"Jalang kecil, apa yang sebenarnya sedang kamu lakukan, hem?" Ia mengendus ceruk leher Maura dan memberikan sapuan basah di sana.
"Berusaha memprovokasiku? Menentangku? Kamu benar-benar tahu cara membuatku marah. Apa sebenarnya ini yang kamu inginkan? Membuatku marah agar dihukum olehku? Kamu benar-benar licik," lanjutnya, bertanya tanpa henti. Tidak peduli napas beratnya akan mengganggu ketenangan wanita itu.
Benar saja, Maura melenguh tidak nyaman dalam tidurnya sebab sapuan hangat dari tangan yang sudah bergerak menari-nari di atas dadanya.
"Bangunlah. Saya harus membawamu kembali ke apartemen sebelum membuat keributan karena diabaikan," bisiknya di telinga Maura.
Wanita itu melenguh sebelum akhirnya membuka sedikit matanya. "Marvel?" gumamnya tidak yakin, tetapi tidak ada pria lain yang bisa memperlakukannya seperti ini selain pria itu. Oleh karena itu, ia membuka matanya lebih lebar untuk memastikan.
"Bukankah seharusnya kamu bertingkah baik dan mendengarkan kata Rio untuk pulang ke apartemen. Tapi kenapa kamu menolak, mengancam, dan berakhir di sini? Mengharapkan hukuman, hem?"
Melihat wajah dan suara itu dengan sangat jelas, Maura melebarkan matanya dan menoleh cepat, tetapi pergerakannya tertahan karena cengkeraman Marvel di pinggangnya. Ia diam beberapa saat.
"Kenapa bisa masuk?" tanyanya kemudian. Ia ingat sekali sudah memastikan semua jendela dan pintu terkunci. Bahkan ia ingat kunci itu masih menggantung di daun pintu setelah ia memutarnya.
Marvel terkekeh, mengetahui Maura sengaja tidak menjawab pertanyaannya dan malah melontarkan pertanyaan lain untuk mengalihkan perhatian.
"Kenapa terkejut? Bahkan aku bisa menarik nyawamu keluar hanya dengan satu jentikan jari kalau mau." Marvel terkekeh samar, lalu tersenyum seolah tidak ada emosi di sana, berbeda dengan sorot mata tajamnya yang membuat Maura menelan ludah susah payah.
"Kenapa Pak Marvel ke sini?" Maura kembali bertanya dengan kalimat yang berbeda, tetapi dengan tempo yang sama.
"Syut .... Berapa kali harus saya katakan, jangan berbicara seolah kita memiliki jarak yang sangat jauh, Maura. Panggil namaku tanpa embel-embel, jangan terlalu kaku, bersikaplah santai. Sudah enam tahun, tidak perlu sekaku ini."
Saliva kembali meluncur di tenggorokan wanita itu dengan susah payah. Ia merendahkan pandangan untuk menghindari tatapan Marvel. "Kenapa bisa masuk, dan kenapa ke sini?" Ia kembali bertanya dengan nada lebih lembut.
"Jalang kecilku tidak mau pulang. Jadi, saya harus menjemputnya walau sudah lewat tengah malam. Perasaan saya tidak enak, takut, dia melarikan diri lagi kalau terlalu lama menghilang dari pandanganku," jawabnya penuh arti.
Jantung Maura berdegup kencang, seperti akan lepas dari tempatnya. Ia tidak bisa berpikir jernih dan dalam benaknya bertanya-tanya, apakah Marvel mengatakan kalimat itu karena tahu rencananya atau memang spontan mengatakannya.
"Apa yang kamu pikirkan?" Marvel mengeluarkan tangannya dari baju tidur Maura untuk mengusap keningnya yang mengerut.
"Tidak ada," jawab Maura cepat sebelum pria itu menuntut jawaban lebih jauh. Ia sedikit menggeser kepalanya untuk menghindari sentuhan pria itu.
"Saya melihat tiga koper di depan dan ada satu di kamarmu. Apa itu akan menjadi sebuah rencana besar untuk memberontak lagi?" tanya Marvel to the point.
Sejak Awal ia sudah curiga ada yang tidak beres dengan wanita itu. Kemarin bertingkah seperti kucing peliharaan yang sangat patuh dan menurut, tetapi sorot matanya seolah sedang mengumpulkan rencana untuk menggigit tuannya saat lengah. Dan apa yang ia takutkan terjawab melalui koper-koper yang ia lihat di ruang tamu.
"Ti-tidak! Ayah mau pulang kampung sebentar, ada acara!" Maura membantah.
"Hanya sebentar, tapi kalian memutuskan untuk resign dengan waktu hampir bersamaan. Menurutmu itu kebetulan atau memang sudah direncanakan?"
"Resign?" Kening Maura mengerut. Ia benar-benar tidak tahu kalau ayahnya resign.
"Jangan pura-pura tidak tahu. Saya bisa membaca isi kepalamu sampai ke rongga-rongga." Marvel kembali
menjatuhkan kepalanya ke ceruk leher Maura.
"Aku benar-benar tidak tahu." Maura menggeser tubuhnya hendak duduk, tetapi Marvel dengan sigap menarik pinggangnya kembali tanpa bisa menghindar.
"Hentikan. Tolong jangan seperti ini," rengek Maura saat Marvel bermain-main di lehernya. "Mari bicara baik-baik dan meluruskan semua ini." Maura berusaha untuk duduk, tetapi Marvel masih bisa menahannya.
Akhirnya Marvel menyerah. Ia mengangkat kepalanya, menyangganya dengan satu tangan dan menatap lurus ke wajah Maura. "Apa yang harus diluruskan? Soal rencanamu untuk melarikan diri lagi?" Sebelah alisnya terangkat.
Maura menggeleng cepat. "Tidak ada yang ingin melarikan diri! Aku hanya ingin menemuinya sebelum dia pergi pulang kampung." Ia mendengus disertai helaan napas kasar, menyembunyikan jantungnya yang berdebar cepat.
"Benarkah? Untuk apa dia pergi dan kenapa kamu harus mengemasi bajumu?" Marvel berkata tenang dengan intonasi datar, tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
"A-aku ...." Maura gelagapan. "Sebenarnya, bolehkah aku—"
Maura belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tetapi Marvel sudah menyela, "Jangan berbohong. Sudah saya katakan, saya bisa membaca isi kepalamu hingga ke rongga-rongga, dan tebakanku tidak pernah meleset."
"Kamu tidak akan mengijinkanku kalau aku mengatakannya!"
"Itu karena kamu memiliki rencana licik dan tidak pernah jujur."
"Kamu egois!"
Marvel tergelak, dan Maura ingin menyumpal mulut lancang itu dengan tangannya karena takut ayahnya terbangun. Namun, tidak ada yang bisa ia lakukan selain mengepalkan tangan di bawah selimut.
"Tidak ingin menanyakan kabarku hari ini?" Marvel tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Ia beringsut duduk, menopang tubuhnya dengan telapak tangan dan kepalanya sedikit menunduk tepat di atas wajah Maura.
Wanita itu menggeleng tak acuh. Namun, Marvel tidak peduli, ia tetap berbicara tanpa diminta. "Hari ini Jesica sangat menggoda saat saya sedang menginginkanmu. Kamu tahu, bermain dengannya sama saja dengan bermain dengan jalang-jalang di luar sana. Sangat berisik."
"Lalu?" Maura melirik tangan Marvel yang berak lincah membuka kancing bajunya dengan satu tanga. Ia tahu ke mana arah pembicaraan itu, tetapi tidak ingin menunjukan secara langsung.
"Lalu?" Marvel menghentikan gerakan tangannya, sebelah alisnya terangkat. "Apa harus saya jelaskan lagi kalau saya sangat menginginkan—"
Kalimatnya terputus oleh suara ketukan pintu. Sontak, dua orang itu menoleh. Maura mendorong dengan kuat dada Marvel untuk menjauh darinya, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka. Kepalanya menyembul keluar, memperhatikan pintu yang kembali diketuk.
"Maura!" Suara ayahnya terdengar dari luar.
Maura hanya diam saja dengan mata terpejam saat gagang pintu ditekan.
"Saya sudah menguncinya," bisik suara di belakangnya.