Nayla Marissa berpikir jika pria yang dikenalnya tanpa sengaja adalah orang yang tulus. Pria itu memberikan perhatian dan kasih sayang yang luar biasa sehingga Nayla bersedia menerima ajakan menikah dari pria yang baru berkenalan dengannya beberapa hari.
Setelah mereka menikah, Nayla baru sadar jika dirinya telah dibohongi. Sikap lembut dan penuh kasih yang diberikan suaminya perlahan memudar. Nayla ternyata alat buat membalas dendam.
Mampukah Nayla bertahan dan menyadarkan suaminya jika ia tak harus dilibatkan dalam dendam pribadi suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mami Al, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 15
Una menemui Rio ketika pria itu selesai menikmati makan malam, Una duduk dihadapannya sembari tersenyum manis dan lebar.
"Pasti ada yang kamu inginkan?" Rio menebak.
"Tuan, tahu saja!" kata Una tersenyum.
"Apa yang kamu mau?" tanya Rio.
"Saya mau Tuan temani Nyonya Nayla menemui Bibi Helen," jawab Una mengutarakan keinginannya.
"Buat apa?" tanya Rio lagi.
"Ini demi nasib pekerjaan kita, Tuan." Jawab Una. "Apa Tuan mau kalau Nona Laura menggantikan posisi Nyonya Nayla sebagai ibu negara di rumah ini?" lanjutnya bertanya.
Rio menggelengkan kepalanya, ia tahu bagaimana sifat Laura yang temperamental dan sangat manja. Keinginannya harus dituruti apalagi keluarga Tuan Kavi dan Laura sangat akrab.
"Makanya, bantu kami bertemu dengan Bibi Helen," kata Una.
"Bagaimana jika Tuan Kavi tahu dan malah memarahi kita?" tanya Rio yang bingung seandainya ketahuan.
"Makanya, jangan sampai ketahuan," jawab Una.
"Aku akan berpikir dulu," kata Rio menyentuh keningnya dengan jari telunjuknya.
"Tidak usah berpikir lagi, Tuan. Antar saja kami sekarang ke sana, Tuan Kavi besok sore baru pulang," ucap Una mendesak.
"Hmm, baiklah!" Rio akhirnya bersedia mengantarkan keduanya ke rumah utama tempat Bibi Helen merawat dan mengurusnya.
"Saya akan panggil Nyonya Nayla!" Una beranjak dari tempat duduknya dan melangkah cepat menuju kamarnya Nayla.
Nayla dan Una kini sudah berada di dalam mobil. Una duduk di samping Rio yang sedang menyetir.
Di kegelapan malam, mobil menyusuri jalanan yang sepi. Apalagi jam beberapa menit lagi menunjukkan pukul 9 tepat.
Sejam perjalanan, mobil yang membawa ketiganya tiba di rumah utama milik orang tuanya Kavi. Nayla memandangi bangunan tua tetapi tetap megah dan mewah.
Kedatangan Rio secara tiba-tiba tanpa Kavi membuat para pelayan bingung dan heran. Apalagi kehadirannya di malam hari yang di mana para pelayan seharusnya sudah berada di dalam kamar masing-masing.
"Ada apa gerangan Tuan Rio datang ke sini malam hari?" tanya Helen, biasanya Rio akan memberitahu kunjungannya 1 jam sebelum sampai di tempat agar pelayan dapat bersiap-siap melayani dan menyambut Kavi dan kakaknya.
"Ada yang ingin bertemu dengan Bibi," jawab Rio menggeser tubuhnya agar wanita dihadapannya dapat melihat sosok Nayla.
"Siapa dia, Tuan Rio?" tanya Bibi Helen melihat Nayla yang belum pernah ditemuinya.
"Dia istrinya Tuan Kavi Wardhana," jawab Rio.
"Istri?" Helen kelihatan panik. Ia lalu menundukkan kepalanya dan berkata lagi, "Selamat malam, Nyonya. Terima kasih sudah datang berkunjung di sini!"
Nayla tersenyum lalu menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat kepada wanita yang jauh lebih tua darinya.
"Mengapa Nyonya datang seorang diri? Kenapa bukan Tuan Kavi yang mengajak ke sini?" tanya Helen dengan sopan.
"Ceritanya sangat panjang, saya ke sini juga demi kebaikan rumah tangga kami," jawab Nayla.
Helen melihat ke arah Rio, ia tak mengerti dengan pembicaraan Nayla.
"Begini, Bi. Nyonya Nayla ingin mengetahui kehidupan Tuan Kavi sejak dari kecil, karena dia belum mengenal keluarga Tuan Kavi keseluruhannya," jelas Rio.
Helen manggut-manggut paham.
"Apa Bibi bisa menceritakannya semua?" tanya Rio dengan lembut.
"Saya bisa," jawab Helen.
"Bibi dan Nyonya boleh mengobrol di sini. Biar saya dan Una menunggu di luar," kata Rio mempersilakan keduanya berbicara berdua.
Helen dan Nayla mengangguk mengiyakan.
Rio dan Una kemudian meninggalkan keduanya. Ketika mereka datang, Rio juga memerintahkan para pelayan melanjutkan istirahatnya. Jadi, mereka tidak ada yang mendengar percakapan keempatnya.
Helen dan Nayla duduk bersebelahan karena Nayla tidak mau menjaga jarak dengan pelayan abadi suaminya itu.
"Apa yang ingin Nyonya tanyakan?" tanya Helen dengan lembut.
"Kavi ada berapa saudara, Bi?" kata-kata itu menjadi yang pertama ditanyakan Nayla.