NovelToon NovelToon
40 Hari Sebelum Aku Mati

40 Hari Sebelum Aku Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Fantasi / Reinkarnasi / Teen School/College / Mengubah Takdir / Penyelamat
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Dara

Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.

hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.

selamat membaca....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 19. Ratusan Juta Rupiah

Jakarta, Oktober 2011

 

“Bayarnya pakai uang pas saja ya bu.”

“Iya neng, ini uangnya.”

Nurul menerima dua lembar uang 50 puluhan dan satu lembar uang dua puluhan dari pelanggan warung kelontongnya sore itu. Hujan baru saja berhenti, namun toko kelontong milik Nurul sudah mulai diserbu para pembelinya.

Sejak datang ke Jakarta tiga tahun yang lalu, Nurul mendirikan usaha membuka toko yang menjual berbagai kebutuhan rumah tangga. Dan tidak butuh waktu yang lama, tokonya berhasil berkembang dan memiliki banyak pelanggan. Toko Nurul menjadi salah satu tempat grosir yang dituju oleh para pedagang eceran.

Seperti sore itu, saat ia berjualan dengan dibantu beberapa karyawannya, tokonya ramai pembeli. Dia yang bertugas dibagian kasir cukup kewalahan melayani pembeli.

“Teh, ada yang mencari teteh.”

Seorang pekerja Nurul tergopoh gopoh menemuinya yang sedang menghitung belanjaan seorang pembeli.

“Suruh ngantri aja.”

Jawab Nurul sambil mulutnya komat kamit mengecek belanjaan, tanganya sibuk menekan tuts angka angka dalam mesin hitungnya.

“Bukan orang belanja teh. Itu tamu.”

“Duh siapa sih, kok bertamu ke toko gak kerumah?”

“Kurang tau saya teh.”

“Totalnya jdi dua ratus enam ribu ya bu. Uang pas ya bu. Suruh tunggu. Saya lagi sibuk.”

Nurul berganti gantian melayani pembeli dan menjawab Asep karyawannya, yang akhirnya berlari menjauhinya untuk menemui si tamu menyampaikan pesan dari Nurul untuk menunggunya. Sementara Nurul kembali berkutat dengan kegiatannya.

Lebih dari 30 menit berlalu. Nurul masih belum beranjak dari kursi kasir tokonya. Meskipun ia tahu ada seseorang yang sedang menunggunya. Mungkin sales yang semalam menelpon, pikirnya. 16.48 WIB, ia melirik jam dinding yang terpajang di sisi kanannya, menggantung pada tembok bercat hijau salah satu sisi dinding tokonya. Tanggung, sebentar lagi tokonya tutup. Ia lebih memilih membiarkan tamunya menunggu lebih lama jika memang perlu menemuinya.

Satu persatu antrian di toko mereda. Menyisakan beberapa orang yang masih dilayani. Tampak dari kursinya, seorang lelaki dengan topi coklat lusuh dan tongkat di tangan kirinya jalan sedikit pincang mendekat kearahnya.

“Silahkan bapak, mau cari apa? Kita sudah mah tutup lho ini.”

Nurul menyapa ramah. Laki-laki itu semakin mendekat dan membuka topi saat tepat berada dihadapan Nurul.

“Bisa kita bicara sebentar, Nur?”

Nurul terpaku. Matanya memperhatikan laki-laki dihadapannya dengan seksama, dari ujung kaki hingga ujung kepala. Sampai tak berkedip, ia mencoba mengenali pemilik suara itu. Hingga akhirnya terbelalak kaget mendapati laki laki itu adalah Budiman, suami dari sahabatnya, yang sudah membuat sahabatnya sangat menderita.

“Kalau kau kesini untuk bertanya soal Nurma, pergilah. Aku tak akan pernah bicara apapun denganmu. Pergilah!”

Nurul menghardik Budiman dengan mengibaskan tangan kanannya, meminta Budiman untuk pergi. Namun Budiman justru mengambil kursi di depan meja kasir dan duduk meletakan tangan kanannya di atas meja.

“Aku mohon Nur, ada yang harus diluruskan disini.”

“Aku tidak butuh dengar apapun itu Bud-“

“Aku mohon, 10 menit saja cukup. Aku janji setelah ini aku tidak akan pernah mengganggumu lagi.”

Budiman menatap Nurul penuh harap. Matanya yang sayu menegaskan harapannya untuk bisa diberikan waktu berbicara walau sebentar. Nurma mengamati wajah itu. Sejak kapan suami sahabatnya ini menjadi begini tua dan lusuh. Kulitnya yang menghitam dan badannya kurus. Sangat lusuh tidak terawat. Jalan terpincang dengan tingkat terselip di ketiak kirinya. Jauh berbeda dengan Budiman saat terakhir ia bertemu. Rasa iba muncul dalam benaknya. Ia juga penasaran, apa sebetulnya yang membuatnya mengusir istri dan anaknya sendiri.

“Baiklah. Tunggu dulu di kursi tamu sana. Aku belum selesai bekerja. Tunggu sampai aku selesai. Sekarang pergilah dari hadapanku. Kamu bikin pelangganku jadi takut. Penampilanmu seperti preman.”

Budiman tersenyum lega meskipun ia harus mendapat hinaan terlebih dulu dari sahabat istrinya. Ia beranjak menuju kursi tamu yang Nurul maksut.

Sejenak Nurul tertegun. Sejak kapan Budiman menggunakan tongkat? Kenapa dia jadi pincang begitu? Apa yang sebetulnya terjadi dengannya? Batin Nurul bergejolak. Ada rasa iba yang menyerang walaupun rasa amarah masih menutupi semuanya.

**

Nurul duduk menaikan kaki kanannya keatas kaki kirinya, melipat kedua tangannya di depan dada. Membuat Budiman sedikit merasa canggung. Masih sangat jelas terlihat, amarah diraut wajah perempuan dihadapannya itu. Namun demikian, Budiman memahami. Sudah pasti Nurul akan sangat membencinya, mengingat semua yang terjadi pada Nurma sahabatnya.

“Percayalah aku datang kemari bukan untuk memohon pengampunan darimu. Aku tau apa yang aku lakukan sudah sangat keterlaluan. Aku datang hanya untuk memastikan bahwa istri dan anak-anaku baik-baik saja.”

“Baik-baik saja seperti apa yanh kamu maksutkan? Sedangkan kamu sendiri yang menghancurkan hidup mereka.”

“Setidaknya, mereka aman kan bersamamu?”

“Tau dari mana kalau mereka ada denganku?”

“Nur, aku tau sahabat istriku cuma kamu. Kalau dia ada di Jakarta, mustahil kalau tidak bersamamu.”

Nurul terdiam, wajah kesalnya masih sangat terlihat. Namun benar apa kata Budiman. Nurma memang tidak punya sahabat lain selain dirinya. Akan sangat mudah bagi Budiman melacak keberadaan Nurma jika ia tahu Nurma ada di Jakarta. Tentu Budiman sudah mencari informasi sebelumnya terkait kemana perginya istri dan anak-anaknya.

“Nurma dan anak-anakmu aman bersamaku. Jadi pergilah, jangan lagi kamu ganggu mereka.”

“Apa mereka tinggal bersamamu?”

“Tidak. Mereka tinggal dirumah kosong milik keluargaku. Jangan tanya alamat, aku tidak akan memberitahumu.”

Budiman mengangguk. Dia sedikit lega. Setidaknya, anak dan istrinya tidak terlantar atau terlunta-lunta. Meskipun ia tak bisa membayangkan bagaimana sulitnya hidup seorang perempuan tanpa penghasilan yang masih memiliki seorang bayi. Pasti sangat berat. Dan ini membuatnya dirundung rasa berdosa yang sangat menyiksa.

“Apalagi yang mau kamu dengar Budiman?”

Budiman terhenyak dari lamunannya membayangkan betapa bencinya Nurma kepada laki-laki pengecut seperti dirinya. Ia membuka tas kecil yang menggantung dibahunya. Mengeluarkan amplop coklat tebal dari dalam tasnya.

“Ini, aku titipkan kepadamu.”

Budiman meletakan amplop itu kemeja.

“Apa ini?”

“Itu ada uang tunai. Tidka banyak. Hanya 10 juta. Dan juga, buku tabungan.”

Nurul terdiam, ia tak segera mengambil amplop itu. Hanya berganti gantian melihat amplop itu dan wajah Budiman. Untuk apa ia memberikan uang ini padanya.

“Di dalam ada dua buku tabunganku. Semua atas namaku. Tapi sudah kusisipkan surat kuasa didalamnya. Agar kamu bisa mengambil semuanya. Berikan pada Nurma. Ini adalah haknya dan anak-anakku.”

Masih menatap Budiman dengan tajam, Nurul tak bergeming. Mengapa tak ia habiskan sendiri saja uang itu? Bukankah Nurma berkata jika Budiman sudah punya istri baru?

“Tidak perlu kamu katakan pada Nurma bahwa uang ini adalah pemberianku. Terserah bagaimana caramu, apapun alasanmu, aku percaya kamu bisa melakukannya.”

“Lalu kamu mau apa setelah ini?”

“Aku akan menjauh dari mereka. Aku tidak akan mengganggu mereka. Tapi aku tetap akan menunggu, sampai mereka sendiri yang datang mencariku.”

Budiman beranjak dari duduknya, meraih tongkat untuk membantunya berjalan menuju pintu keluar toko Nurul. Sebelum sampai di depan pintu, ia berhenti dan berbalik arah, menatap Nurul yang masih terdiam duduk bersandar dengan kaki kanan yang masih melipat di atas kaki kirinya.

“Satu hal lagi Nur. Selama ini, aku tidak pernah selingkuh. Aku tidak menikah lagi. Nurma adalah satu-satunya perempuan dalam hidupku, hingga saat ini.”

Budiman berlalu. Benar-benar meninggalkan Nurma yang bingung tak mengerti apa yang ia bicarakan. Nurma menghela nafas berat, lalu diraihnya amplop coklat yang sedari tadi tergeletak di atas meja. Dibukanya amplop itu dengan hati-hati. Ya, ada tumpukan uang ratusan ribu dengan kertas melingkar menyatukan tumpukan lembaran merah dengan nominal tercatat di sana 10 juta rupiah. Lalu dengan hati-hati ia membuka 2 buku tabungan dan memeriksanya dengan seksama.

Dua buku tabungan yang mampu membuatnya mendelik dan sedikit menjerit kaget.

“Hah! 230 juta!”

Ia dekatkan buku tabungan ke depan matanya seolah takut angka-angka itu hanya fatamorgana. Beralih ke buku yang lain, dan jeritnya makin keras.

“460 juta!!”

Nurma melongo menatap angka-angka itu tak percaya. Mulutnya menganga, antara shock dan bahagia.

"Nurma, kamu gak akan kesusahan lagi sekarang."

Bisiknya lirih dengan senyum yang pelan-pelan menyungging di bibirnya.

***

1
Soraya
apa mungkin Pak bewok penjualan es itu budiman
Soraya
mampir thor
🔥_Akane_Uchiha-_🔥
Sangat kreatif
mamak
keren mb Dy,
Tiga Dara: hey... sapa nih??
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!