Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.
Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.
Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Maka, Hilangkan Batas Itu, Benji.
...Warning: 18+...
...•••...
...Benjamin & Hayaning...
...illustration by nonaserenade...
...Benji dan Haya versi nyata...
...Generated by AI...
...•••...
Ben mengembuskan asap cerutunya dengan tenang, matanya menatap tajam ke arah Maheru, sang detektif terlatih.
"Saya ingin semua data lengkap. Kebobrokannya dipemerintahan, Transaksi mencurigakan, proyek ilegal, atau bahkan hal-hal kecil yang bisa menjatuhkannya," tegasnya.
Maheru mengangguk mantap. "Saya mengerti, Tuan. Tapi ini tidak akan mudah. Farel memiliki banyak koneksi dan perlindungan. Jika kita salah langkah, bisa berbahaya."
Ben menyeringai tipis, meletakkan cerutunya di asbak. "Itulah kenapa saya memilih kamu, Maheru. Saya butuh seseorang yang bisa bekerja bersih tanpa meninggalkan jejak."
"Mengerti Tuan, saya akan mulai bergerak," ucap Maheru sebelum berbalik meninggalkan ruangan.
Ben bersandar di kursinya, menatap langit-langit atap dengan tatapan tajam. Farel Danuarta Adhijokso... Putra ketiga Brata itu ternyata bukan hanya sekadar pejabat korup, tetapi juga dalang di balik pemb*nuhan ibu Hayaning.
Dugaan sementara mengarah pada kemungkinan bahwa Farel menyewa pemb*nuh bayaran. Alibinya terlalu rapi—di jam yang sama dengan kejadian, dia tercatat berada di gedung dewan, dikelilingi oleh saksi yang bisa menguatkan keterangannya. Seolah-olah segalanya sudah diatur dengan sempurna.
Pria itu bisa membodohi polisi, menyuap aparat penegak hukum, dan bersembunyi di balik kekuasaan. Tapi dia berhadapan dengan Ben—dan itu tanpa ia sadari.
Hembusan asap cerutu kembali membumbung di udara, membaur dengan pikirannya yang semakin tajam. Ben tahu, ini bukan saatnya untuk gegabah. Hayaning belum boleh tahu. Jika dia sampai mengetahui bahwa kakaknya sendiri adalah dalang di balik kematian ibunya, itu hanya akan membuatnya semakin hancur.
•••
"Kamu bisa sakit Hayaning," panggilnya dengan lebih santai, kali ini ia tak akan memposisikan dirinya sebagai bodyguard lebih dulu.
Hayaning membuka matanya, sedikit terkejut saat mendapati Ben sudah berdiri di belakangnya, memayunginya meski jelas-jelas dirinya sudah basah kuyup.
"Ben, aku dan pakaianku sudah basah. Payungmu itu ngga berguna banget!" serunya dengan jenaka, matanya berbinar seolah menikmati kehadiran pria itu di tengah derasnya hujan.
Ah, sialan. Ben baru menyadari betapa konyolnya dirinya. Apa gunanya memayungi seseorang yang sudah basah dari ujung kepala hingga kaki?
Sebelum ia bisa berkata apa pun, Hayaning malah meraih tangannya, menurunkan payungnya, lalu tersenyum lebar. "Lepaskan saja. Ayo kita main hujan!" serunya, lalu berlari kecil ke tengah halaman, membiarkan dirinya semakin larut dalam derasnya air.
Ben mematung sejenak, lalu menghela napas panjang. "Perempuan gila," gumamnya, tapi tanpa sadar sudut bibirnya ikut terangkat.
Tiga hari Hayaning terkurung dalam kesedihan, membangun dinding yang tak bisa ditembus siapa pun. Namun kini, di tengah hujan deras, ia melihat binar itu kembali di mata perempuan itu.
Ben mengamati bagaimana Hayaning tertawa, tangannya terangkat ke udara, menikmati setiap tetes air yang jatuh ke kulitnya. Seakan semua beban yang selama ini menekannya bisa larut bersama hujan.
Meresahkan. Ben tak pernah sejengkel ini pada dirinya sendiri sebab ia begitu terpaku pada sosok perempuan yang bahkan tak masuk dalam kriterianya.
Hayaning berbalik, menatapnya dengan senyum yang begitu lepas. "Benji, kamu cuma mau berdiri di situ aja?" suaranya hampir tenggelam dalam suara hujan.
Ben menghela napas. Seharusnya dia menarik perempuan itu kembali ke dalam rumah, menyuruhnya mengeringkan diri. Tapi melihat ekspresi itu...
"Tsk, dasar," gerutunya, sebelum akhirnya melangkah mendekati Hayaning yang masih tersenyum sumringah.
Begitu Ben berdiri di hadapannya, Hayaning menyeringai jahil. "Akhirnya, Tuan Bodyguard ikut basah-basahan," godanya, menepuk bahu Ben yang kini kuyup.
Ben hanya mendengus sebal. "Main basah-basahan? Bukan seperti ini cara saya bermain basah-basahan, Hayaning."
"Hah?" Hayaning mengernyit, tidak memahami maksudnya.
"Tidak, kamu tidak usah tahu." Balasnya cepat.
Bahwa pikirannya itu mulai dipenuhi sesuatu yang seharusnya tidak ia pikirkan. Apalagi melihat penampilan perempuan itu—ah Meresahkan.
Ben buru-buru mengalihkan pandangan, menekan dorongan dalam dirinya agar tidak semakin kacau.
Perlu diakui, sudah delapan bulan ia membatasi dirinya. Tapi entah kenapa, sejak terakhir kali bersama Hayaning, ia tidak pernah sekalipun merasa ingin mencari pelampiasan lain.
For f*ck sake!
Ia mengakui bahwa tanpa sadar, pikirannya lebih sering mengarah pada satu nama—seseorang yang kini berdiri di depannya dengan wajah cerah, tertawa lepas di tengah derasnya hujan.
"Ben! Hujannya semakin deras!" seru Hayaning, berputar-putar tanpa peduli bahwa tubuhnya semakin basah kuyup.
Ben mengepalkan rahangnya. Sial. Ia tidak boleh terus-terusan seperti ini. Tapi bagaimana bisa? Hayaning yang basah oleh hujan di sore itu, rambutnya yang lepek, kulitnya yang bercahaya di bawah lampu taman—semuanya adalah jebakan berbahaya bagi seseorang yang sedang menahan diri seperti dirinya.
"Ben!" Hayaning memanggil lagi, melambaikan tangan ke arahnya dengan senyum yang begitu cerah.
Ben menutup matanya sejenak, mengembuskan napas panjang. "Sudah, Haya. Masuk sebelum kamu benar-benar masuk angin," katanya, suaranya terdengar lebih serak dari biasanya.
"Tapi aku belum puas!" protes Hayaning, menatapnya dengan mata berbinar.
Ben menelan ludah. "Kalau kamu terus di situ, saya bisa kelepasan."
"Hah? Apa maksudmu?"
"Sudah, jangan banyak tanya. Masuk sekarang juga, atau saya seret kamu," ancamnya dengan nada rendah.
"Ayolah, Ben, hanya lima menit lagi—"
Batas kesabaran Ben retak, lalu hancur dalam satu gerakan cepat. Ia menarik Hayaning ke dalam dekapannya.
"Ngga ada lima menit lagi," suaranya rendah, bergemuruh seperti badai di antara hujan. "Sekarang juga." Tak ada ruang untuk sanggahan.
Hayaning membatu dalam pelukannya. Jantungnya berdegup tak beraturan, menumbuk dadanya seperti ombak yang menghantam karang. "B-Ben..."
"Terlalu dingin di luar," dalih Ben, meski di lubuk hatinya sendiri, ia tahu dingin itu bukan yang ingin ia hindari.
"Aaa—" Hayaning tercekat ketika tubuhnya melayang. Ben mengangkatnya dengan mudah, seolah ia hanyalah selembar daun yang diterbangkan angin. Namun, justru dengan itu, gravitasi di antara mereka semakin menarik, semakin membelenggu.
"Perempuan n4kal," gumam Ben, langkahnya mantap menuju teras, tetapi matanya memberi peringatan yang tak terbaca.
Begitu sampai, ia bermaksud menurunkan Haya, tetapi nasib berkata lain. Keseimbangannya goyah, membuat tubuh mereka terdorong ke depan, nyaris jatuh.
"Ben!" Hayaning mencicit kaget, tangannya mencengkeram bahu pria itu seakan ia adalah satu-satunya jangkar yang bisa menahannya tetap berdiri.
Ben mengumpat pelan, tangannya yang masih melingkari pinggang Haya menahan mereka agar tidak benar-benar terjerembap. Tapi, bukannya melepaskan, matanya justru terkunci pada wajah perempuan itu—terlalu dekat, terlalu mengusik.
Ia bisa merasakan napas Hayaning menyapu kulitnya, membawa aroma lembut vanilla yang bercampur dengan sisa hujan. Napasnya tertahan. Dada sesak oleh sesuatu yang mengusik pikiran nya.
"Ben..." Hayaning berbisik, wajahnya memanas oleh kesadaran yang mendadak menghantam.
Ben mengepalkan rahangnya, lalu dengan enggan, ia melonggarkan genggamannya dan melangkah mundur. "Masuk," perintahnya, suaranya lebih rendah, hampir serak.
"Pakaianku basah," tolak Haya cepat. "Aku nggak mau masuk."
"Tak apa, nanti dikeringkan Mbak."
"Ngga mau..."
ZRASH!
Petir membelah langit dengan dentuman yang menggema, mengguncang bumi. Hayaning terlonjak, dan sebelum otaknya bisa memproses, tubuhnya sudah mencari perlindungan. Dalam refleks, ia memeluk Ben.
Lalu, ia membeku.
Ada sesuatu. Sesuatu yang tak seharusnya ia rasakan.
"B-Ben..."
"Jangan lihat ke bawah, Hayaning," suara Ben terdengar lebih berat.
Namun, terlambat.
Mata Hayaning sudah menurun, lalu dalam sekejap, wajahnya seketika merona panas. Otot-ototnya menegang, otaknya menangkap realitas yang baru saja ia sadari.
Milik Benjamin tampak menyembul dari balik kain celananya.
"B-Ben..."
Ben memejamkan mata sejenak, menahan diri dari godaan yang mulai menggerogoti kewarasannya. "Saya bilang, jangan lihat ke bawah!" geramnya, frustrasi.
Hayaning buru-buru mengangkat wajah, tapi sialnya, tatapan mereka justru bertemu. Ben bisa melihat kebingungan, keterkejutan, dan sesuatu yang lain di mata perempuan itu—sesuatu yang berbahaya.
Napas Ben bergetar. Ia harus pergi. Sekarang juga.
"Saya butuh mandi air dingin," gumamnya, mencoba menarik diri.
Namun, sebelum ia sempat melangkah, Hayaning justru mempererat pelukannya. Tangan mungil itu menahannya tetap di tempat, sementara sepasang mata bening itu menatapnya, mencari sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
"Kenapa menahan diri?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari bisikan hujan.
Ben terdiam. Ia bisa saja memberi seribu alasan, tapi nyatanya, tak satu pun masuk akal.
"Haya, jangan mulai..."
"Aku tidak mulai apa-apa."
Sial.
"Masuk sekarang," perintah Ben akhirnya, suaranya nyaris bergetar. "Atau saya—"
Hayaning tetap diam di tempat, masih menatapnya tanpa berkedip.
"Atau apa, Ben?" bisiknya, penuh tantangan.
Ben mengepalkan tangannya, napasnya semakin tak beraturan.
"Atau saya benar-benar akan menghancurkan batas ini, Hayaning."
Hening.
Hayaning menatapnya lebih lama, lalu tiba-tiba tersenyum kecil.
"Kalau begitu..." bisiknya. "Jangan berhenti, hancurkan saja batas diantara kita."
Damn!
Sebelum Ben sempat berpikir lebih jauh, Hayaning lebih dulu mengambil langkah. Jemarinya melayang ke belakang kepala pria itu, menariknya lebih dekat. Bibirnya menyentuh daging kenyal Ben, lembut, seperti helai bulu angsa yang jatuh ke permukaan air.
Tapi itu cukup untuk menyalakan api.
Ben menyerah.
Dalam satu tarikan napas, tangannya sudah mencengkeram pinggang Hayaning, menariknya lebih erat hingga tak ada lagi ruang tersisa. Bibirnya membalas sentuhan itu, lebih dalam, lebih menuntut.
"Hmphhh..."
Hayaning terkejut sejenak, tapi ia tidak mundur. Jemarinya menyelinap ke rambut Ben, merasakan helai cokelat basah yang menyentuh kulitnya tangannya.
Ben menggeram, membiarkan tangannya bergerak, menjelajah setiap lekukan Hayaning yang telah lama ingin ia jejaki. Ia hampir kehilangan akal.
"Haya..."
Suara mereka bertaut di antara napas yang memburu, di udara yang masih dipenuhi aroma hujan dan tanah basah.
Namun, ketika ia hendak melangkah lebih jauh, kesadaran menamparnya keras.
"Sial."
Ben menarik diri, napasnya kasar, perang batin tercetak jelas di matanya.
Hayaning kebingungan dalam efek sentuhan tadi, wajahnya merah padam.
"Ben..." suaranya nyaris tak terdengar.
Ben memejamkan mata sejenak, mencoba mengembalikan akal sehat yang hampir terhempas.
"Saya tidak bisa," gumamnya, suaranya serak. "Kalau kita lanjutkan ini... saya tidak akan bisa berhenti, Haya."
Keheningan menyelimuti mereka.
Hayaning menatapnya lama, lalu bibirnya melengkung kecil.
"Kalau begitu..." bisiknya. "Jangan berhenti."
Sesuatu dalam diri Ben meledak.
"Oh, damn!"
Kali ini, dialah yang menarik Hayaning lebih dekat. Melenyapkan batas di antara mereka.